![]() |
Oleh : Ririe Aiko
Beberapa waktu lalu, linimasa Instagram saya dipenuhi sebuah unggahan yang mencuri perhatian: seorang pengemudi ojek online mengenakan jaket kerja yang dicetak khusus dengan isi curhatannya, tentang laporan polisi yang ia ajukan sejak 2024, yang hingga hari ini tidak kunjung menemukan titik terang. Alih-alih menyampaikan kegelisahannya lewat media konvensional, ia memilih jalan yang tidak biasa: mencetak keluhan itu di punggungnya, membiarkannya dibaca siapa saja di jalanan.
Tindakan sederhana namun penuh tekanan batin seperti itu terasa begitu dekat dengan realitas yang dialami banyak orang. Sebab kita hidup dalam sistem yang kerap kali lebih pandai menata aturan ketimbang menyelesaikan masalah. Kita semua paham bahwa sistem dibuat agar rapi, tertib, dan tidak ada celah. Namun kenyataannya, di banyak titik, sistem justru berubah menjadi pagar tinggi yang sulit dilompati oleh mereka yang hanya ingin berurusan dengan adil dan cepat.
Di titik inilah timbul pertanyaan yang begitu mendasar namun jarang benar-benar dijawab: mengapa sebuah sistem harus dipersulit untuk mereka yang hidupnya saja sudah jauh lebih sulit? Kita bicara kehidupan rakyat kecil yang seringkali bahkan belum tersentuh rasa nyaman, tetapi justru terus dibebani oleh aturan yang muter-muter, prosedur yang menyita waktu, dan birokrasi yang setiap langkahnya terasa seperti rintangan tambahan. Seolah hidup yang sudah berat masih harus ditambah lagi dengan proses administratif yang menyita banyak waktu dan emosi.
Tidak hanya dalam ranah hukum. Di dunia kesehatan, misalnya, administrasi yang seharusnya mempermudah justru menjadi tembok yang menekan. Saya pernah menyaksikan sendiri seorang nenek yang mengantar suaminya berobat. Keduanya sudah lanjut usia, tidak akrab dengan teknologi, dan tentu tidak terbiasa berhadapan dengan sistem rujukan berbasis digital yang kini menjadi standar. Untuk sekadar membuka aplikasi saja mereka kebingungan, apalagi mengisi syarat pengajuan rujukan yang tampak rumit. Alih-alih dibantu, ada saja petugas yang justru kaku, berpegang teguh pada SOP tanpa sedikit pun ruang kelonggaran.
Sejujurnya, bukan hanya dalam sistem negara saya menyaksikan hal itu. Di lingkungan kerja yang lebih kecil sekalipun, yang seharusnya lebih fleksibel dan lebih memahami dinamika manusia, aturan yang muter-muter tetap saja muncul. Prosedur dibuat berlapis-lapis, alur diperpanjang, pencairan anggaran diperlambat, persetujuan ditahan. Entahlah, kadang saya merasa sebagian orang yang memiliki kewenangan seolah punya hobi mempersulit orang lain, seakan kerumitan adalah pembuktian bahwa mereka menjalankan tugas dengan baik.
Saya tidak menolak aturan. Administrasi itu penting, sistem itu perlu. Tetapi bukankah yang membedakan manusia dan mesin adalah kemampuan kita untuk mempertimbangkan konteks, empati, dan situasi?
Nyatanya, bukan satu-dua kasus seperti ini yang terjadi. Pengajuan bantuan, pencairan honor, penerimaan berkas, birokrasi pendidikan, hingga hal sederhana seperti perubahan data pribadi, semuanya kadang dirasakan sebagai urusan yang dibuat rumit. Terlalu banyak proses, terlalu banyak berkas, terlalu banyak ketakutan akan “penyalahgunaan,” hingga sistem pun bergerak dari logika pelayanan menjadi logika kecurigaan.
Seolah-olah, jika tidak sulit, maka dianggap tidak teliti. Jika tidak berbelit, maka dianggap tidak profesional.
Padahal, pertanyaan dasarnya sederhana: untuk apa kita mempersulit urusan orang? Bukankah mempermudah adalah bagian dari naluri kebaikan yang bahkan dalam banyak ajaran budaya dan agama dianggap sebagai amal? Mengapa sebuah sistem yang dibuat oleh manusia justru gagal menyentuh sisi paling manusiawi dari dirinya sendiri?
Entahlah. Sampai hari ini, saya masih sering tidak memahami pola pikir pembuat kebijakan yang seakan hobi merancang aturan berlapis-lapis. Namun satu hal yang saya tahu: sistem, sebaik apa pun, tidak akan pernah benar-benar menyentuh sisi kemanusiaan jika orang-orang yang menjalankannya menutup mata dari nilai paling dasar itu, bahwa setiap manusia yang datang membawa berkas, keluhan, atau permohonan, sesungguhnya hanya ingin satu hal: *dipermudah, bukan dipersulit.*
Barangkali, di balik jaket seorang pengemudi ojek online itu, ada pesan yang jauh lebih dalam: ketika ruang-ruang formal tidak lagi mendengar, manusia akan mencari cara lain untuk didengar. Sebab yang mereka inginkan bukan sekadar keadilan administratif, tetapi rasa dihargai sebagai manusia.

