![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„Setiap kali saya mengomong saya berdoa, setiap kali saya berada dalam critical point selalu ada orang-orang baik yang dikirim Tuhan untuk membantu, kasih cara pandang yang baru, kasih ilmu, bahkan kekuatan untuk hari ini saya tidak hancur saja, bisa duduk bercerita seperti ini, itu juga murni kekuatan dari Tuhan. Bukan dari saya. Bayangkan seorang perempuan, ibu rumah tangga, suami tiba-tiba udah nggak ada, masuk ke dunia politik yang kejam ini, ke birokrasi yang saya tidak mengerti ini, tapi saya bisa survive seperti ini, itu murni karna Tuhan.“ — Sherly Laos Tjoanda(43), Podcast Curhat Bang Denny Sumargo.
Podcast Curhat Bang Denny Sumargo(44) edisi 19 November 2025 menghadirkan Sherly Laos Tjoanda, Gubernur Perempuan Pertama Maluku Utara, yang memasuki setahun kepemimpinannya.
Tayangan ini telah ditonton jutaan netizen, menjadi ruang refleksi publik atas figur seorang perempuan yang menempati posisi tertinggi dalam pemerintahan daerah.
Percakapan antara Denny dan Sherly tidak sekadar obrolan ringan, melainkan membuka lapisan spiritual dan eksistensial tentang bagaimana seorang perempuan menafsirkan kepemimpinan di tengah kompleksitas politik, budaya, dan sosial.
Dalam diskusi itu, Sherly tampil bukan hanya sebagai pejabat publik, tetapi sebagai sosok yang membawa energi arketipal.
Merujuk pada Erich Neumann(1905-1960), psikolog analitik murid Carl Gustav Jung, dalam Arketipe Bunda Agung (1963; edisi Indonesia IRCiSoD 2023) menegaskan bahwa figur perempuan pemimpin sering kali memanggil kembali citra arketipe keibuan: pelindung, pengasuh, sekaligus pemberi kehidupan.
Dalam The Great Mother: An Analysis of the Archetype (1955; edisi revisi 1963), Neumann menulis: “Ibu Agung bersifat uroborik: mengerikan dan melahap, dermawan dan kreatif; seorang penolong, tetapi juga memikat dan merusak; seorang penyihir yang menjengkelkan, namun pembawa kebijaksanaan.”
Demikian halnya, kepemimpinan Sherly sebagai simbol arketipe bunda agung versi Neumann, sebagaimana tercermin dalam refleksinya di podcast, mengandung dimensi arketipal itu—ia hadir bukan sekadar mengatur birokrasi, tetapi merawat masyarakat dengan energi keibuan yang transenden.
Menyimak lagi dari perspektif Jean Shinoda Bolen(89), dalam Goddesses in Every Woman (1984; edisi Indonesia IRCiSoD 2021) menekankan bahwa setiap perempuan membawa potensi arketipe dewi dalam dirinya: Athena yang bijak, Artemis yang mandiri, Demeter yang pengasuh, atau Hera yang berdaulat. Kepemimpinan Sherly dapat dibaca sebagai perwujudan sintesis arketipe itu.
Dikutip Bolen, aktif sebagai psikiater, analis Jungian, baru saja menerima C.G. Jung Award 2025 atas kontribusinya dalam menjadikan psikologi analitik lebih mudah diakses publik, mengatakan: “Ketika mengenali berbagai arketipe, kita dapat melihat lebih jelas apa yang terjadi dalam diri kita dan orang lain.”
Bolen menekankan bahwa perempuan yang membawa dan mengenali arketipe ini, perempuan yang dapat memahami kekuatan batin yang membentuk gaya kepemimpinan mereka.
Demikian pula, Sherly, kelahiran Ambon Maluku, telah tampil merepresentasikan sebagai pemimpin yang tegas sekaligus penuh empati, rasional sekaligus intuitif.
Hal ini juga memperlihatkan bahwa kepemimpinan perempuan tidak harus terjebak dalam dikotomi maskulin-feminin, melainkan mampu menghadirkan keseimbangan yang lebih utuh.
Bertholt Brecht(1898-1956) dalam dramanya Der Gute Mensch von Sezuan — dipentaskan oleh Teater Populer pimpinan Teguh Karya alias Steve Liem Tjoan Hok(1937-2001), di Jakarta pada tahun 1974, dengan naskah terjemahabn Indonesia oleh Toeti Indra Malaon berjudul Perempuan Pilihan Dewa — menyingkap paradoks seorang perempuan yang dipilih oleh dewa untuk menjadi “baik” di tengah dunia yang keras dan penuh kompromi.
Kutipan Brecht, “Bagaimana mungkin seseorang tetap baik bila dunia menuntutnya untuk bertahan hidup?” menjadi refleksi kritis atas kepemimpinan Sherly.
Sebagai gubernur, ia menghadapi realitas politik yang sarat interes dan konsesi, namun publik menuntutnya tetap menjadi “baik,” tetap jernih, tetap tulus.
Paradoks ini adalah ujian spiritual seorang pemimpin perempuan: bagaimana menjaga integritas di tengah sistem yang sering kali menekan.
Melalui Podcast Denny Sumargo terungkap sisi manusiawi Sherly: keraguannya, keyakinannya, dan keberaniannya.
Di sana, ia bukan sekadar gubernur, melainkan perempuan yang dipanggil untuk menjalankan misi kepemimpinan sebagai “pilihan dewa.”
Refleksi ini mengingatkan bahwa kepemimpinan perempuan tidak hanya soal representasi gender, tetapi soal menghadirkan energi arketipal yang mampu menyeimbangkan kekuasaan dengan kasih, rasionalitas dengan intuisi, dan politik dengan spiritualitas.
Jelang setahun kepemimpinan Sherly Laos Tjoanda(SLT) di Maluku Utara menjadi cermin bahwa perempuan pilihan dewa bukanlah mitos, melainkan realitas yang hadir dalam tiap fase sejarah.
Dengan kata lain, representasi diri SLT menegaskan bahwa kepemimpinan sejati adalah keberanian untuk tetap “baik” di tengah dunia yang keras.
Juga, keberanian untuk merawat „keadilan dan kesejahteraan publik“ di tengah tuntutan kuasa, dan keberanian untuk menghadirkan arketipe dewi dalam ruang politik yang sering kali kering dari spiritualitas.
Dalam dirinya, kita melihat bahwa perempuan pilihan dewa adalah simbol harapan: bahwa politik bisa dijalankan dengan hati, dan kekuasaan bisa ditransformasikan menjadi pelayanan.
SLT menukas: Kepemimpinan itu harus didasarkan pada ketulusan, kebersihan hati dan pertolongan Tuhan akan menjadi legasi otentiknya sebagai „proses dirinya keluar dari grieving terdalam kehidupan yang dialami dan terus dijalani.“
#coverlagu: Lagu „Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan“(Ciptaan: Mohammad Istiqamah Djamad alias Is, vokalis Payung Teduh) yang dirilis oleh Payung Teduh pada 16 Desember 2010, dan kemudian populer kembali sekitar tahun 2014.
Dimaknai kekaguman sederhana seorang pria terhadap perempuan yang dicintainya, diungkapkan lewat suasana malam yang intim dan penuh keindahan.

