![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„Manusia tidak bisa selamanya tetap anak-anak; pada akhirnya mereka harus terjun ke dalam kehidupan yang penuh permusuhan. Kita bisa menyebutnya 'pendidikan menuju realitas'. Kebutuhan mengajarkannya kepada mereka.“ — Sigmund Freud(1856-1939), The Future of an Illusion(1927; Circa 2019).
Sepanjang sejarah peradaban manusia, kecemasan, ketakutan, bahkan histeria terhadap tindakan berpikir bebas(freethinker) selalu menjadi tema laten yang menimbulkan konflik, kekerasan, dan kontroversi.
Kebebasan berpikir, yang dalam tradisi filsafat disebut sebagai free will atau kehendak bebas, sering kali dipandang sebagai ancaman oleh sistem sosial, politik, maupun religius.
Sigmund Freud menjadi salah satu figur yang menandai abad ke-20 dengan keberanian menembus tabu, menantang dogma, dan membuka ruang bagi manusia untuk memahami dirinya secara lebih jujur.
Dalam biografi lengkap Freud, The Life and Work of Sigmund Freud(1953-57, tiga edisi), Ernest Jones(1879-1958), psikoanalis berbahasa Inggris pertama, menekankan bahwa “kebesaran Freud bukan hanya pada penemuan teorinya, melainkan pada keberanian berpikir bebas yang menolak tunduk pada otoritas tradisional.”
Jones, presiden pertama British Psychoanalytical Society dan juga International Psychoanalytical Association, juga menekankan bahwa “kebesaran Freud bukan hanya pada penemuan teorinya, melainkan pada keberanian berpikir bebas yang menolak tunduk pada otoritas tradisional.
Dari Studies on Hysteria(1895) hingga Moses and Monotheism (1939), Freud tidak hanya membentuk psikoanalisis sebagai disiplin baru, tetapi juga mengguncang fondasi cara manusia memahami kecemasan, histeria, dan dorongan tak sadar yang membentuk kepribadian.
Freud menunjukkan bahwa kecemasan bukan sekadar gejala klinis, melainkan ekspresi dari benturan antara dorongan naluriah dan tuntutan sosial.
Dalam The Interpretation of Dreams;1899), ia membuka pintu menuju dunia tak sadar, wilayah yang sebelumnya dianggap gelap dan tidak layak disentuh oleh ilmu pengetahuan.
Dengan Three Essays on the Theory of Sexuality(1905), ia menyingkap bahwa seksualitas adalah energi psikis yang membentuk kepribadian, bukan sekadar moralitas.
Kritik Freud terhadap peradaban dalam Civilization and Its Discontents(1930) memperlihatkan bahwa institusi sosial dan religius sering kali menjadi benteng kekuasaan yang mengekang kebebasan berpikir, menimbulkan kecemasan kolektif, dan menciptakan histeria terhadap gagasan baru. Namun, keberanian Freud tidak pernah lepas dari resistensi.
Todd Dufresne(61), profesor filsafat di Lakehead University, Ontario, Kanada, dalam Killing Freud: 20th Century Culture and the Death of Psychoanalysis(2003: Kanisius 2010) ) menekankan bahwa abad ke-20 juga menyaksikan kritik keras terhadap psikoanalisis, bahkan ada yang menyebutnya sebagai “kematian” dalam budaya modern.
Dufresne mengimritik pengetahuan “industri Freud” yang dianggap lebih banyak berperan sebagai mitologi budaya daripada disiplin ilmiah.
Is juga menyebut psikoanalisis sebagai “kematian” dalam budaya modern, bukan karena tidak relevan, tetapi karena pengaruhnya begitu besar hingga memicu resistensi dan kritik luas.
Kritik ini justru memperlihatkan betapa besar pengaruh Freud: ia tidak bisa diabaikan, bahkan ketika ditolak.
Freud menjadi simbol seorang free thinker hingga abad 21 ini, pemikir bebas yang tidak tunduk pada ketakutan kekuasaan, dan yang memahami bahwa kebebasan berpikir adalah kodrat manusia untuk cerdas secara rasional sekaligus spiritual.
Kritik mutakhir terhadap gagasan kebebasan berpikir dapat dirujuk pada Erich Fromm(1900-1980), khususnya Escape from Freedom (1941;Pustaka Pelajar 1997).
Fromm menekankan bahwa kebebasan modern membawa paradoks: manusia terbebas dari ikatan tradisional, tetapi sekaligus merasa kesepian dan tidak berdaya. Dalam kondisi ini, banyak orang memilih lari dari kebebasan.
Selain itu, Fromm menyoroti paradoks modernitas: manusia yang memperoleh kebebasan dari struktur tradisional justru mengalami kecemasan eksistensial, sehingga melarikan diri ke dalam otoritarianisme atau konformitas.
Bagi Fromm, kebebasan bukan hanya soal melepaskan diri dari belenggu eksternal, tetapi juga soal keberanian menghadapi kesepian dan tanggung jawab atas pilihan.
Di sini, kecemasan menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman kebebasan itu sendiri.
Dengan demikian, karakter manusia yang “lari dari kebebasan” adalah mereka yang takut menghadapi konsekuensi berpikir bebas, sehingga memilih jalan aman: tunduk pada otoritas, larut dalam konformitas, atau melampiaskan kecemasan melalui destruktivitas.
Sikap ini menunjukkan bahwa kebebasan berpikir bukan hanya hakikat manusia, tetapi juga beban yang sering kali menimbulkan kecemasan eksistensial.
Sementara itu, Sam Harris(56) dalam Free Will (2012; Globalindo 2019) menawarkan kritik radikal terhadap gagasan kehendak bebas.
Harris berargumen bahwa free will adalah ilusi; setiap pikiran dan tindakan manusia ditentukan oleh faktor biologis dan lingkungan yang berada di luar kendali individu.
Perspektif ini menantang tradisi filosofis yang menempatkan kebebasan berpikir sebagai inti kemanusiaan.
Jika kehendak bebas hanyalah ilusi, maka kecemasan terhadap kebebasan berpikir dapat dipahami sebagai kecemasan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ada.
Harris menulis bahwa ide kehendak bebas “tidak dapat dipetakan ke realitas yang dapat dibayangkan” dan bahwa pikiran serta niat seseorang “muncul dari penyebab latar belakang yang tidak kita sadari dan atas yang kita tidak memiliki kontrol sadar”
Namun, kritik Harris juga menimbulkan kontroversi, karena menyinggung fondasi moralitas, tanggung jawab, dan hukum yang selama ini bertumpu pada asumsi adanya kehendak bebas.
Dengan demikian, dari Freud hingga Fromm dan Harris, kita melihat bahwa kecemasan, ketakutan, dan histeria terhadap kebebasan berpikir bukan sekadar fenomena psikologis, melainkan juga problem filosofis yang terus menantang peradaban.
Freud menekankan keberanian melawan tabu dan dogma, Fromm menyoroti paradoks kebebasan yang menimbulkan pelarian, sementara Harris menggugat eksistensi free will itu sendiri.
Ketiganya memperlihatkan bahwa kebebasan berpikir selalu berada dalam pusaran konflik antara dorongan individu, struktur sosial, dan determinasi biologis.
Sejarah peradaban manusia, dengan segala kecemasan dan kontroversinya, menunjukkan bahwa berpikir bebas adalah hakikat sekaligus beban yang tak pernah selesai diperdebatkan.
#credit foto: sebagian koleksi buku-buku Freud, Inggris, Jerman dan terjemahan Indonesia.
#coversongs: Theme from "Frankenstein" oleh Orlando Pops Orchestra dengan konduktor Andrew Lane dirilis sekitar 2002 dalam album Essential Orchestral Film Themes.
Andrew Lane(70) adalah konduktor asal Amerika, masih aktif sebagai konduktor pops dan orkestra di Florida.
Musik ini adalah menghadirkan kembali nuansa klasik horor dari film Frankenstein, dengan orkestrasi dramatis yang menekankan rasa misteri, ketegangan, dan atmosfer gotik khas kisah monster ciptaan Mary Shelley(1797-1851), novel klasik Frankenstein; or, The Modern Prometheus, yang pertama kali diterbitkan pada 1818 ketika ia masih berusia 20 tahun.

