![]() |
Oleh Ririe Aiko
(Puisi esai diangkat dari kasus nyata Auliya, siswi MTs di Donggala, Sulteng, korban perundungan dan penelanjangan oleh teman sekelasnya.) (1)
---000---
Nenek itu selalu bangun paling pagi,
menyiapkan air hangat, menanak nasi,
lalu mengetuk perlahan pintu kamar kecil,
tempat cucu kesayangannya masih terlelap
dengan mimpi-mimpi yang ia rajut
dalam hening yang terisolasi.
Sejak ayahnya meninggal pada 2023,
rumah itu kehilangan suara lelaki.
Ibunya merantau ke kota,
menyekap rindu demi sebuah penghidupan
agar kelak anaknya tak perlu menderita.
Dari jauh,
ia membayangkan anaknya bermain lompat tali,
bersenda gurau ceria dengan teman sebaya
di ruang belajar, tempat menampung harapan.
Tetapi siapa bisa meramal duka?
Sebuah video mampir di beranda,
memenuhi linimasa. (2)
Para influencer mulai berbicara,
satu per satu menjelma penegak hukum,
menuntut keadilan bagi Auliya.
Hati sang ibu bergetar bukan main.
Emosinya mendidih, sulit membendung air mata
melihat anaknya disiksa oleh para algojo kecil.
Mereka menyerang tanpa ampun:
memukul kepala,
menjambak rambut,
merobek harga diri buah hati kesayangannya.
Tubuh yang selalu ibu peluk dengan penuh kasih
dipukuli seperti pencuri.
“Aku tak rela!”
“Aku besarkan dia dengan penuh cinta!”
“Kalian perlakukan dia dengan hina!”
"Auliya… anakku…
mengapa setelah menjadi yatim
nasib berlaku sekejam ini padamu?"
Ia tak pernah membayangkan
bahwa kepala yang ia elus penuh cinta
Dipukuli dengan sekuat tenaga
Tubuh mungil yang tertidur di atas pangkuannya,
Dibuka auratnya menjadi bahan tawa
Ibu mana di dunia ini yang hatinya tidak hancur
melihat anak ditelanjangi paksa
oleh tangan-tangan yang tak punya rasa iba?
Mereka bukan manusia!
Mereka tunas yang tumbuh
dari kegagalan orang tua!
----000---
Ibu menangis di sudut duka,
mengusap dadanya yang sesak.
Air mata yang keluar bukan lagi kesedihan,
melainkan darah yang mendidih,
terlalu sakit untuk memaafkan,
terlalu ringan untuk memaklumi
sebuah ungkapan tentang kenakalan remaja.
Ibu berdiri dengan berani.
Tak ada kompromi
untuk luka yang akan teringat sampai mati.
Donggala patah hati.
Indonesia mulai bersuara dalam jemari.
Tak ada lagi kebijakan jika hukum medsos ditegakkan.
Sudah terlalu banyak
anak-anak remaja yang melampaui batas,
Bukan hanya memukul, menendang, menelanjangi, dan belajar menjadi kriminal.
Bullying bukan kasus dalam data. (3)
Semakin dianggap biasa,
semakin membabi buta.
Aksi nyata tak butuh banyak bicara
Tak perlu menunggu kenaikan angka
Negara ini krisis empati
Generasi bangsa mengunyah ilmu
seperti permen karet
dikunyah lalu dibuang,
tak pernah ditelan,
tak pernah direnungkan,
hingga tak membekas menjadi sikap.
Haruskah terus ada Auliya,
sebelum kita mulai merefleksi,
bahwa ada yang salah dengan pendidikan
bangsa ini?
Empati tak lahir dari ujian nasional.
Ia tumbuh dari hati
yang mau disentuh nurani.
Namun bagaimana orang dewasa bisa mengajarkan simpati
ketika kita sendiri hidup di dalam cermin
yang memantulkan kosong?
----CATATAN----
(1)https://nasional.kompas.com/read/2025/09/21/09285491/siswi-korban-perundungan-di-donggala-dapat-pendampingan-psikologis-dan?
(2)"Viral Video Bullying Siswi MTs di Donggala, Tiga Pelaku Dikeluarkan dari Sekolah" https://regional.kompas.com/read/2025/09/15/141714678/viral-video-bullying-siswi-mts-di-donggala-tiga-pelaku-dikeluarkan-dari
(3) "Kasus Perundungan Meningkat Tajam, BPHN Dorong Sinergi Lintas Sektor Jadi Kunci Pencegahan"https://bphn.go.id/berita-utama/kasus-perundungan-meningkat-tajam-bphn-dorong-sinergi-lintas-sektor-jadi-kunci-pencegahan

