Type Here to Get Search Results !

Dipecat Langitan dari Hotel

oleh ReO Fiksiwan

„Peradaban Islam masa kini sudah lama kehilangan daya dan vitalitasnya. Meskipun Islam melekat sebagai identitas sekian banyak pemeluknya, sebagian orang Muslim merupakan golongan masyarakat kurang maju.” — Ali A. Allawi(78), Krisis Peradaban Islam(2009; Mizan 2015).

Langit di atas hotel Aston Jakarta kembali meredup. Bukan karena polusi dari industri di kawasan Jakarta Utara.

Akan tetapi, Keputusan “Kiyai Langitan” Rapat Harian Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Kamis, 20 November 2025 di Hotel Aston City Jakarta menjadi tonggak yang mengejutkan sekaligus mengguncang jagat organisasi Islam terbesar di Indonesia. 

Dalam forum yang dihadiri 37 dari 53 pengurus harian Syuriyah, dipimpin KH. Miftachul Akhyar, lahir diktum yang meminta KH. Yahya Cholil Staquf(56) mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PBNU dalam waktu tiga hari. Jika tidak, maka rapat memutuskan memberhentikan beliau secara resmi. 

Keputusan ini bukan sekadar administratif, melainkan refleksi atas krisis kepemimpinan yang dianggap melanggar nilai dasar organisasi.

Tiga pelanggaran yang dituduhkan pada Ketum NU menjadi alasan pemecatan:

Pertama, dugaan pelanggaran nilai dasar NU yang selama ini menjadi fondasi gerakan ahlusunah wal jamaah. 

Kedua, isu kontroversial terkait undangan kepada tokoh internasional yang dianggap dekat dengan jaringan Zionisme, Peter Belwokitz, dalam program Komite Nasional NU. 

Ketiga, indikasi masalah tata kelola keuangan PBNU yang menimbulkan keresahan di kalangan pengurus. 

Ketiganya membentuk gambaran bahwa kepemimpinan Yahya Staquf, yang terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar ke-34 NU di Lampung, tanggal 24 Desember 2021 silam, tidak lagi sejalan dengan marwah organisasi yang didirikan untuk menjaga tradisi, moralitas, dan integritas umat.

Sejarah Islam mencatat bahwa perpecahan dalam tubuh ahlusunah wal jamaah bukanlah hal baru. 

Thaha Husein(1889-1973) dalam Fitnah al-Kubra(1948), menulis bagaimana krisis kepemimpinan di masa awal Islam melahirkan luka panjang dalam peradaban. 

Empat faktor utama pemicu krisis dan perpecahan umat Islam versi Husein dalam Fitnah Al-Kubra(Keira Publishing 2015), masing-masing:

Perbunhunan Khalifah Utsman bin Affan pada 656). Menyusul pertentangan politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan hingga Perang Jamal dan Perang Shiffin sebagai simbol perpecahan umat.

Sementara, warisan sejarah dan dampak jangka panjang berupa lahirnya Khawarij, Syiah, dan awal dinasti Umayyah. Luasnya lagi bisa dirujuk pada Leslie Hazleton(1945-2024), After the Prophet: The Epic Story of the Shia-Sunni Split in Islam(2009; IRCiSoD 2018).

Meski buta sejak kecil, Husein menjadi tokoh besar sastra Arab modern kelahiran Magagha, Mesir, dijuluki Amid al-Adab al-‘Arabi(Dekan Sastra Arab) dan Qahir az-Zulm(Penakluk Kegelapan).

Al Alawi dalam Krisis Peradaban Islam menegaskan bahwa setiap perpecahan selalu berakar pada benturan antara nilai ideal dan kepentingan praktis. 

Dalam konteks NU, Greg Barton(65), sebagai Research Professor and Chair of Global Islamic Politics di Alfred Deakin Institute for Citizenship and Globalisation, Deakin University, Australia, dalam Biografi Gus Dur(2003), menunjukkan bahwa organisasi ini pernah mengalami turbulensi serupa, ketika kepemimpinan Gus Dur menghadapi resistensi internal namun tetap berusaha menjaga NU sebagai rumah besar yang inklusif.

Namun, Barton menulis: „Kepemimpinan Nahdliyin bukan sekadar soal struktur organisasi, melainkan kemampuan merawat tradisi sambil membuka ruang bagi modernitas.”

Ia juga menegaskan bahwa kepemimpinan di NU selalu berakar pada tradisi ahlusunah wal jamaah, tetapi dituntut untuk mampu berdialog dengan perubahan zaman. 

Gus Dur, menurut Barton, menjadi contoh nyata bagaimana seorang pemimpin NU bisa menjaga akar tradisi sekaligus membawa NU ke panggung nasional dan internasional.

Pemecatan Yahya Staquf dari Hotel Aston seakan menjadi simbol bahwa ruang-ruang modern pun kini menjadi arena perdebatan klasik tentang legitimasi, otoritas, dan marwah organisasi. 

Di level lokal, fenomena serupa tampak pada ICMI Sulawesi Utara yang juga bermusyawarah di hotel Aston dengan agenda organisasi yang selama enam tahun tidak aktif. 

Namun, isu yang beredar akan memilih kembali secara aklamasi Prof. Dr. Ir. Sangkertadi DEA(64) — meski dengan agenda organisasi yang miskin sejak terbentuk di hotel Whiz satu periode lalu lebih — yang juga mantan Wakil Rektor IV Unsrat.

Kritik Emha Ainun Najib(73) terhadap ICMI sebagai organisasi yang kehilangan peran intelektualnya relevan untuk dibaca ulang.

Dalam buku ICMI dan Peran Intelektual(1995), Emha menekankan bahwa intelektual tidak boleh sekadar menjadi elit yang berjarak dari masyarakat, melainkan harus hadir sebagai bagian dari denyut kehidupan umat. 

Salah satu ungkapan yang sering dikutip: 

“Peran intelektual di masyarakat bukan hanya memberi wacana, tetapi ikut menanggung beban rakyat.”

Dengan demikian, hal ini mencerminkan pandangan Emha bahwa intelektual sejati harus berfungsi sebagai penghubung antara ilmu pengetahuan dan realitas sosial, bukan sekadar pengamat atau penulis di menara gading.

Kritik terhadap Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang menurut Emha cenderung kehilangan marwah intelektualnya, lebih sibuk dengan politik praktis ketimbang mengembangkan ilmu dan keadilan sosial.

Dengan kata lain, Intelektual harus kembali ke akar: utlu ilm wal darajat bil qisthi atau menuntut ilmu agar organisasi Islam tidak sekadar menjadi wadah formal, melainkan pusat pengembangan ilmu dan keadilan.

Kembali ke refleksi kritis atas pemecatan ini menegaskan bahwa NU sedang menghadapi ujian besar. 

Apakah ia mampu merawat jagat dan membangun peradaban sebagaimana semboyannya, atau justru terjebak dalam pusaran konflik internal yang menggerus kepercayaan umat. 

Sejarah mengajarkan bahwa setiap perpecahan bisa menjadi awal kehancuran, tetapi juga bisa menjadi momentum pembaruan. 

Dari Hotel Aston, Jakarta dan Manado, suara Syuriyah bergema: menjaga marwah organisasi lebih penting daripada mempertahankan kursi kepemimpinan.

#coverlagu: Maher Zain(44) merilis lagu Rahmatun Lil'Alameen pada 19 April 2022. Lagu ini bermakna pujian dan cinta kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam.

#credittotheownerofthisphoto: ReO Fiksiwan, Oelama langit-langitan dari atap ReO Bibliothek Kokima Hill.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.