![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„Sastra Indonesia tidak boleh hanya menjadi milik bangsa sendiri, tetapi harus tampil sebagai warga sastra dunia, ikut memperkaya kebudayaan universal.” — DR(HC) Hans Bague Jassin(1917-2000), Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia(Idayu, 1981).
Puisi esai adalah suara yang lahir dari luka, dari sejarah yang tak pernah selesai, dari pergulatan bangsa yang terus mencari dirinya.
Dengan kata lain, seperti judul pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Indonesia, 14 Juni 1975 di aula Universitas Indonesia yang kelak dibukukan oleh Pamusuk Eneste(67), Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia dan Karangan-Karangan Lain(Gramedia 1983).
Demikian halnya, puisi esai kini berdiri sebagai pidato baru: pidato warga dunia. Ia bukan sekadar teks, melainkan peristiwa budaya.
Festival Puisi Esai Jakarta 2025 menjadi tonggak sejarah. Denny JA bersama perkumpulan penulis Satupena menghadirkan 63 penulis dengan karya yang diterjemahkan ke dalam enam bahasa: Inggris, Perancis, Spanyol, Mandarin, Arab, dan Rusia.
Dari bahasa ke bahasa, dari aksara ke aksara, luka Indonesia menjelma bahasa dunia. Bak kredo puisi Bang Tarji:
#Luka(Wound)
Ha ha ha ha ha …..
Puisi esai pun bertransformasi menjadi komodifikasi sastra: sebuah produk yang bergerak lintas batas, lintas pasar, lintas budaya.
Namun komodifikasi resepsi estetik ini bukan sekadar jual beli makna. Ia adalah strategi literer yang meneguhkan posisi puisi esai sebagai teks global.
Mengacu pada kritik sastra strukturalisme dan posstrukturalisme memberi kita alat untuk membacanya.
Strukturalisme Jean Piaget mengajarkan bahwa teks adalah sistem dengan tiga elemen utama: totalitas, transformasi, dan pengaturan diri.
Pertama, totalitas puisi esai tampak ketika pengalaman lokal — luka sejarah, tragedi sosial, cinta yang patah — dijalin menjadi kesatuan universal.
Kedua, transformasi hadir ketika bahasa puisi bergeser dari lirisisme ke argumentasi, dari metafora ke refleksi, dari emosi ke analisis.
Ketiga, pengaturan diri(otoregulasi) tampak dalam kemampuan puisi esai menjaga keseimbangan antara estetika dan kritik, antara lirisisme dan logika.
Sementara, kritik posstrukturalisme kemudian menantang kita untuk melihat bahwa makna tidak pernah tunggal.
James R. Williams(61), Profesor filsafat di University of Dundee dan Honorary Professor di Deakin University, dalam Understanding Poststructuralism(2005), menekankan bahwa posstrukturalisme selalu menolak makna tunggal dan menyoroti ketidakstabilan teks.
Ia mengulas: Poststrukturalisme menegaskan bahwa teks tidak pernah menjadi sistem yang tertutup; makna selalu tertunda, tidak stabil, dan terbuka untuk ditafsirkan ulang..
Dengan demikian, untuk puisi esai ke perluasan translasi multikultur/bahasa, karena genre tersebut menggabungkan lirisisme dan argumentasi, sehingga membuka ruang tafsir yang berlapis.
Kritik posstrukturalisme terhadap puisi esai dapat dirumuskan sebagai berikut: “Puisi esai tidak bisa dipahami hanya sebagai struktur utuh(seperti dalam strukturalisme Piaget), melainkan sebagai teks yang selalu terbuka terhadap pembacaan ulang.
Penerjemahan puisi esai ke enam bahasa dunia (Inggris, Perancis, Spanyol, Mandarin, Arab, Rusia) memperlihatkan bagaimana makna bergeser dan berubah sesuai konteks budaya pembaca.
Dengan demikian, posstrukturalisme mengingatkan bahwa puisi esai sebagai warga dunia adalah teks yang cair, tidak pernah final, dan selalu dalam proses dekonstruksi.
Penerjemahan ke enam bahasa membuka ruang bagi perbedaan tafsir, bagi dekonstruksi atas teks.
Luka Indonesia yang ditulis dalam bahasa Inggris mungkin terbaca sebagai tragedi politik; dalam bahasa Arab mungkin terbaca sebagai jeritan spiritual; dalam bahasa Mandarin mungkin terbaca sebagai narasi kolektif.
Inilah kekayaan sekaligus kerentanan puisi esai sebagai teks dunia dalam wawasan Weltliteratur.
Puisi esai adalah warga dunia karena ia tidak lagi terikat pada satu bahasa, satu bangsa, satu ruang.
Ia hidup dalam jaringan global, dalam pasar sastra internasional, dalam ruang kritik akademik.
Ia adalah pidato yang terus bergema, dari aula UI pada 1975 hingga panggung Festival Puisi Esai Jakarta 2025.
Tak terasa, sejak sadar literasi dari pidato anugrah doktor honoris causs pada Paus Sastra, HB. Jassin sebagai warga sastra dunia, kini menggemakan ulang dalam festival puisi esai pas mencapai 50 tahun(1975-2025).
Ketika luka Indonesia — Inggris(wound), Cina(伤口), Arab(جرح), Perancis(Blesser), Spanyol(Herida) dan Rusia(Ранить) — menjadi bahasa dunia, puisi esai menegaskan dirinya sebagai genre yang bukan hanya cestetika, melainkan juga etika.
Ia mengingatkan kita bahwa sastra adalah cara bangsa berbicara kepada dunia, dan dunia mendengar melalui terjemahan, melalui struktur, melalui dekonstruksi.
Puisi esai adalah puisi warga dunia. Ia lahir dari luka, tumbuh dalam kritik, dan bertransformasi menjadi bahasa universal.
Ia adalah pidato yang tak pernah selesai, pidato yang terus bergema, pidato yang kini menjadi milik dunia.
Dan Denny JA bersama Satupena dan organ-organ sastrawi lainnya telah mendonasikan „ghanimah“ aktivitas sastranya hingga 50 mendatang.
„Kami tinggal tulang belulang diliputi debu/tidak bisa teriak…“(Chairil Anwar)
„Kecuali aksara-aksara kami
kini meliputi dunia
hingga entah“(ReO Fiksiwan).
#coverlagu: Lagu “Luka (Uhh)” dari Angkasa Band pertama kali dirilis pada 2008 dalam album debut mereka Jangan Pernah Selingkuh, kemudian video klipnya dipublikasikan ulang oleh Warner Music Indonesia pada 2012.
Lagu ini kembali viral setelah di-cover Angga Candra bersama vokalis Angkasa. Makna lagu “Luka” adalah tentang rasa sakit, penyesalan, dan luka hati mendalam akibat kehilangan serta perpisahan

