![]() |
Hijrah bukan sekadar berpindah tempat, tetapi berpindah nilai dan orientasi hidup. Ia adalah transformasi dari kezaliman menuju keadilan, dari kebodohan menuju pencerahan, dan dari individualisme menuju empati sosial. Dalam sejarah Islam, peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah menandai lahirnya masyarakat berbasis tawhid, keadilan, dan keberagaman yang rukun.
Dalil Al-Qur’an:“Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di muka bumi tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.”
(QS. An-Nisa: 100)
1. Hijrah dan Esensi Kemanusiaan Universal
Hijrah Nabi adalah tonggak pembentukan masyarakat multi agama dan multikultur. Melalui Piagam Madinah, Rasulullah menyatukan kaum Muhajirin, Anshar, Yahudi, dan kelompok lain sebagai umat yang hidup berdampingan dalam perdamaian.
Dalil Sunnah: Orang Muslim adalah yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya; dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah.”(HR. Bukhari, no. 6484)
Fatwa MUI: Komisi Fatwa MUI menyatakan dalam Fatwa No. 3 Tahun 2005 bahwa hijrah spiritual adalah komitmen untuk meninggalkan maksiat dan perbuatan zalim menuju amal salih dan etika sosial yang luhur.
2. Hijrah Sebagai Gerakan Sosial dan Keadilan
Dalam konteks kekinian, hijrah adalah gerakan moral dan sosial melawan ketimpangan, radikalisme, kekerasan, dan diskriminasi. Hijrah mengandung makna keberpihakan pada yang lemah, sebagaimana Nabi berpihak pada kaum tertindas (mustadh’afin) di Makkah.>QS. Al-Baqarah: 177“... tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah... dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, orang yang meminta-minta, dan (untuk) memerdekakan hamba sahaya...”
Kajian Ilmiah:Menurut Dr. Syamsul Yakin (2021), hijrah adalah transformasi etiko-spiritual yang menghasilkan kepekaan sosial dalam sistem Islam, bukan sekadar perubahan status moral, tetapi aksi praksis membela hak-hak dasar manusia.
3. Kritik terhadap Dunia Zalim: Hijrah sebagai Alternatif Peradaban
Dunia hari ini menyaksikan dominasi kekuatan zalim: perang, penindasan ekonomi, eksploitasi manusia dan lingkungan. Hijrah menjadi kritik peradaban atas kondisi ini. QS. Al-Nahl: 90 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan...” Fatwa DSN-MUI: Dalam fatwa ekonomi syariah, hijrah ke sistem keuangan Islam adalah bentuk perubahan menuju keadilan ekonomi dan menjauhi sistem riba yang menindas. Ini bagian dari hijrah struktural dalam ekonomi umat.
4. Hijrah Zaman Modern: Dari Egoisme ke Empati Sosial
Hijrah hari ini bukan berpindah kota, tetapi berpindah dari keserakahan menuju empati; dari pasif terhadap kemiskinan menuju solidaritas aktif; dari eksklusivisme menuju inklusivitas sosial. QS. Al-Hujurat: 13
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.”
Kajian Sosiologis: Menurut Prof. Azyumardi Azra (2004), Islam Indonesia memiliki peluang besar menjadi model Islam kosmopolitan dan toleran, dan semangat hijrah bisa menjadi penggerak bagi tumbuhnya “Islam yang berkemajuan dan ramah terhadap pluralitas.”
5. Menuju Islam yang Membebaskan dan Mencerahkan
Hijrah adalah jalan keluar dari kesempitan nilai menuju keluasan kasih sayang. Ia memerdekakan manusia dari sistem yang menindas dan membawanya pada cahaya peradaban yang berkeadaban.> “Mereka yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Baqarah: 218)
Mari berhijrah: dari gelap menuju terang, dari kekakuan menuju hikmah, dari kebencian menuju cinta kasih. Hijrah adalah panggilan kemanusiaan dalam wajah Islam yang universal, membumi, dan mencerahkan.
Hijrah sebagai Jalan Perubahan Sosial dan Spiritualitas.
1. Transformasi Hijrah: Dari Historis ke Etis-Sosial.
Makna hijrah dalam tulisan ini diperluas dari sekadar peristiwa sejarah menuju dimensi etis dan sosial-transformatif. Hijrah bukan hanya pelarian dari penindasan, melainkan pernyataan sikap melawan ketidakadilan dan menuju peradaban yang menjunjung nilai tawhid, keadilan, dan kemanusiaan universal.
Hijrah dalam konteks ini adalah metafora perjuangan moral: mengubah struktur batin, membebaskan diri dari belenggu egoisme, dan mengorientasikan hidup pada nilai-nilai kemaslahatan publik (al-mashalih al-‘ammah).
2. Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Semangat Hijrah.
Melalui rujukan kepada Piagam Madinah dan QS. An-Nisa: 100, artikel ini menegaskan bahwa hijrah bukan eksklusif milik umat Islam, tapi mengandung nilai universal: penghormatan terhadap martabat manusia, kehidupan damai dalam perbedaan, serta solidaritas lintas komunitas.
Kajiannya sejalan dengan teori Humanitarian Islam yang diperkenalkan oleh Nahdlatul Ulama, bahwa Islam memiliki panggilan etik untuk terlibat aktif dalam membela kemanusiaan secara global dan inklusif.
3. Kritik terhadap Dunia Zalim:
Peran Hijrah sebagai Resistensi Kultural.
Poin ketiga dari artikel ini mengangkat semangat hijrah sebagai alternatif peradaban atas dominasi sistem global yang menindas: perang, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan lingkungan.
Ini senada dengan teori Islamic Liberation Theology—seperti dikembangkan oleh Farid Esack—yang melihat Islam sebagai kekuatan pembebas yang berpihak kepada kaum mustadh’afin (yang dilemahkan).
4. Islam Inklusif dn Toleran: Refleksi Hijrah di Era Multikultural.
Referensi kepada Prof. Azyumardi Azra memperkuat narasi hijrah sebagai agenda inklusivitas dan empati sosial. Artikel ini mengajak umat Islam untuk tidak terjebak dalam eksklusivisme identitas, tetapi membangun ukhuwah insaniyah, yakni persaudaraan kemanusiaan.
Pandangan ini didukung oleh fatwa MUI tentang toleransi dan kerukunan (Fatwa MUI No. 36 Tahun 2016), yang menekankan pentingnya membangun harmoni antarumat beragama dengan landasan Islam yang damai.
Himbauan Moral:
Seruan Hijrah Kemanusiaan bagi Umat Islam.
Berdasarkan nilai dan analisis tersebut, maka refleksi hijrah hari ini bukan hanya menjadi narasi spiritual tetapi panggilan aksi moral dan sosial, dengan beberapa poin himbauan sebagai berikut:
1. Berhijrah dari sikap apatis menuju empati sosial. Hidupkan semangat ukhuwah dengan menolong yang tertindas, mengadvokasi keadilan sosial, dan mengulurkan tangan pada yang terpinggirkan.
2. Berhijrah dari eksklusivisme menuju keterbukaan dan toleransi. Jadilah Muslim yang ramah, bukan marah; merangkul, bukan menyingkirkan; berdialog, bukan membenci.
3. Berhijrah dari konsumsi egoistik menuju kontribusi kolektif.
Wujudkan amal jama’i dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan yang membebaskan umat dari ketergantungan struktural.
4. Berhijrah dari budaya pasif menjadi agen perubahan. Jangan hanya menonton ketidakadilan. Islam memanggil kita untuk amar ma’ruf nahi munkar dengan cara bijak dan konstruktif.
5. Berhijrah dari ketakutan menuju harapan. Hijrah adalah langkah berani untuk masa depan. Jangan takut berbuat baik walau kecil, karena setiap langkah menuju kebaikan adalah bentuk hijrah hakiki.
Penutup:
Membumikan Hijrah sebagai Agenda Peradaban
Semangat hijrah bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah warisan nilai yang harus dibumikan dalam tindakan nyata: menghapus kemiskinan, menolak kekerasan, merawat bumi, dan memuliakan setiap manusia. Hijrah bukan hanya peristiwa sejarah Nabi, tapi proyek bersama menuju masyarakat yang adil, damai, dan bermartabat. ds.29062025,01011447h
*Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang