Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Prof. Duski Samad: Pertautan Islam dan Budaya di Minangkabau Melahirkan Makna Kehidupan yang Tinggi

Prof. Duski Samad ketika dialog dengan kru Media Islam Center Syekh Burhanuddin TV, tentang akulturasi Islam dan budaya Minangkabau.

Pariaman,- Dalam halaqah yang digelar oleh Media Islam Center Syekh Burhanuddin TV, Prof. Dr. Duski Samad menegaskan, bahwa pertautan antara ajaran Islam dan budaya Minangkabau melahirkan makna kehidupan yang sangat tinggi serta menjadi fondasi kuat dalam proses Islamisasi di wilayah Sumatera Barat, khususnya Minangkabau.

Dalam dialog yang berlangsung, Selasa siang itu, Prof. Duski mengulas secara mendalam peran strategis Pariaman-atau secara kultural disebut Piaman - sebagai pintu masuk penyebaran Islam di Minangkabau. Ia menegaskan bahwa kawasan Pesisir Barat Sumatera, khususnya Pariaman, merupakan titik awal penyebaran Islam yang sistemik melalui pelabuhan yang telah aktif sejak abad ke-15.

“Nama besar Syekh Burhanuddin bukan hanya sebagai pelopor pendidikan Islam melalui surau, tetapi juga sebagai tokoh yang berhasil mempertemukan Islam dengan adat Minangkabau, sehingga lahir falsafah besar: adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah,” ujar Prof. Duski.

Menurutnya, proses akulturasi yang terjadi antara ajaran Islam dan budaya lokal berlangsung secara damai dan terstruktur, tanpa gejolak berarti. Syekh Burhanuddin memainkan peran penting dalam penyebaran Islam melalui pendekatan budaya dan pendidikan. Tradisi surau yang beliau kembangkan tidak hanya menjadi pusat pendidikan keagamaan, tetapi juga memicu terbentuknya identitas keislaman yang khas di Minangkabau.

Prof. Duski juga menyinggung dinamika tarekat yang tumbuh setelah era Syekh Burhanuddin. Tarekat Syattariyah yang berkembang di kawasan pantai mulai menunjukkan stagnasi pada abad ke-18, sementara tarekat Naqsyabandiyah yang berkembang di wilayah darek (pedalaman) justru tumbuh dengan semangat ibadah dan syariat yang lebih agresif.

“Ada semacam dialektika dalam sejarah. Islam di pesisir dengan warna tarekat Syattariyah lebih filosofis dan cenderung pasrah, sementara Naqsyabandiyah lebih aktif dan ketat dalam syariat. Ini bukan pertentangan, tetapi dinamika yang memperkaya tradisi keislaman kita,” jelasnya.

Lebih jauh, beliau menyoroti pentingnya generasi hari ini untuk kembali menyatukan semangat Syekh Burhanuddin dalam merajut relasi harmonis antara Islam dan budaya. Menurut Prof. Duski, tradisi lokal seperti indang, randai, silek, hingga peringatan Maulid Nabi adalah bentuk integrasi yang memperlihatkan nilai-nilai Islam dalam balutan budaya Minangkabau yang luhur.

“Islam dan budaya bukan dua kutub yang harus dipertentangkan. Dalam konteks Minangkabau, keduanya saling mengisi dan memperkaya. Ini adalah warisan besar yang harus dijaga,” tegasnya.

Dialog tersebut ditutup dengan seruan agar masyarakat, khususnya generasi muda, kembali menggali dan memperkuat nilai-nilai keislaman yang moderat, inklusif, dan ramah budaya sebagaimana telah diwariskan oleh Syekh Burhanuddin melalui institusi surau dan tradisi keilmuan yang membumi. 

Dibuat oleh: Roni Faslah 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies