Buku karya Armaidi Tanjung, sebagai kado intelektual yang terasa unik, tak terbiasa bagi banyak orang dalam merayakan ulang tahun anaknya. (ist) |
"Buya, buya, jagolai. Pak Armaidi tibo," begitu anak gadis saya membangunkan saya yang sedang tidur pagi Ahad 12 November 2023.
Saya memang sengaja tidur pagi itu. Karena baru sampai di rumah pukul 06.00, dan semalaman nyaris tak bobok, menempuh perjalanan dari Pekanbaru ke Padang Pariaman.
Armaidi tiba membawa buku. Bukunya warna kuning, berjudul "Katakan dengan Buku, Putri!". Setelah bercerita, Armaidi yang wartawan utama ini menyebut, kalau dalam buku ini ada tulisan saya.
Buku itu baru. Masih baru cetakannya. Hangat sekali. Masih bersampul plastik. Armaidi memang seorang penulis buku.
Sebagai penulis, Armaidi dipercaya sebagai Sekretaris DPD SatuPena Sumatera Barat. Banyak buku yang sudah ditulis Armaidi. Saya tahu itu.
Tapi sekali ini saya terkejut. Dia langsung ke rumah saya mengantar buku itu. Keterkejutan saya, sampai lupa minta tandatangan dia di buku itu.
Lupa, karena Armaidi yang Wakil Ketua PWNU Sumbar ini langsung menyodorkan, kalau tulisan saya ada di dalamnya.
Hebatnya, tulisan itu dijadikan testimoni. Dan tulisan saya adalah tulisan biasa yang lahir tanpa permintaan dari Armaidi.
Tulisan saya itu menceritakan seorang Armaidi, sang penulis buku produktif. Tulisan itu sebenarnya bisa dan mantap diulas lagi, dijadikan biografi.
Bahasanya saya tulis secara bertutur. Pendek-pendek, dan menghimpun setidaknya semua tentang seorang Armaidi Tanjung.
Ya, Armaidi Tanjung yang saya kenal dari wartawan, aktivis organisasi, dosen, dan penulis buku.
Sebagai wartawan, Armaidi Tanjung telah melampaui karir. Pemred sudah, dan seluruh jabatan penting di sebuah media mainstream sudah pernah digandrunginya.
Di organisasi wartawan, Armaidi Tanjung diamanahi sebagai Bendahara PWI Padang Pariaman.
Buku itu saya pandangi. Setelah Armaidi pergi, saya buka sampulnya, sambil bicara sendiri dalam hati, bahwa sekali ini buku Armaidi rancak bana desain covernya.
Lalu saya buka, dan saya cari sampai dapat tentang tulisan saya. Kenapa? Ya, kepuasan batin saja, bahwa tulisan saya diterbitkan jadi buku atau bagian dari isi buku yang setebal hampir 300 halaman itu.
Setelah melihat tulisan itu, dan rupanya nama saya ditulisnya seperti yang sering menghiasi blog saya di Kompasiana, Damanhuri Ahmad.
Terima kasih Pak Med, bukunya mantap. Saya yakin, pembaca akan tertantang untuk membaca buku ini. Kenapa? Ada banyak sisi penting dan berkesan.
Buku yang dihadiahkan kepada kedua putra dan putri penulisnya, Armaidi Tanjung, sangat menekankan kepada sang anak, betapa penting dan perlu menulis dalam hidup dan kehidupan.
Sehingga dalam buku itu, diceritakan kisah penulisnya berkecimpung di dunia jurnalis dan dunia pengembangan diri lewat karya tulis.
Kisah suka duka, proses awal Armaidi jadi wartawan, dunia yang bergelut dengan kata-kata.
Kedua putra dan putri Armaidi pun sudah pintar menulis. Tulisan anak Armaidi juga ikut menghiasi media.
Sepertinya, Armaidi ingin mengajarkan kepada anaknya dan kepada kita semua, bahwa dari menulis, kita bisa berkembang di mana dan kapan saja.
Sebuah nilai intelektual dan bernilai tentunya. Lebih dari itu, menulis bikin awet muda, menjadikan berekspresi, mengembangkan potensi. Ya potensi diri, potensi lingkungan.
Dan dia sendiri yang dari wartawan yang penulis, mampu berorganisasi dengan baik. Mampu jadi mentor dan instruktur yang handal.
Meskipun sibuk di organisasi, sibuk di dunia motivasi, Armaidi tetap menulis. Inilah salah satu keunggulan ilmu menulis ini bagi Armaidi Tanjung. (ad/red)