Type Here to Get Search Results !

Ziarah Sunyi di Hutan Pinus Pengger

Begitu naik ke Hutan Pinus Pengger, saya mendaki pelan-pelan, seolah takut mengusik keheningan yang sudah lama bertapa di tempat itu. Tanah masih basah oleh sisa hujan. Aroma getah pinus menguar—tajam, hangat, seperti parfum purba yang tak pernah berubah sejak bumi pertama kali bernafas. Ketika melangkah, sebuah ranting patah di bawah telapak sepatu saya. Suaranya kecil, tapi cukup untuk membuat seekor burung meloncat dari dahan rendah dan terbang memecah kabut tipis. Adegan sederhana itu seperti salam penyambutan dari hutan, seolah berkata: selamat datang, peziarah yang terlambat pulang. 

Hutan Pinus Pengger merupakan salah satu dari beberapa hutan pinus yang berada di Kapanewon Dlingo, bersama Hutan Pinus Mangunan, Becici, dan Pinus Asri yang terletak di Kalurahan Muntuk, Yogyakarta. Kawasan ini dipenuhi pinus yang tinggi dan lebat, menciptakan teduh yang nyaris total dan udara yang sejuk menenangkan. Untuk mencapai puncak area wisata, pengunjung harus menapaki sejumlah anak tangga tanah yang berliku, seolah sedang mendaki altar alam tempat manusia belajar merundukkan hati di hadapan ciptaan Tuhan.

Dari punggung hutan itu, Yogyakarta terhampar seperti kota yang sedang tidur siang. Sinar matahari menembus sela-sela pinus, membentuk garis-garis cahaya seperti halaman kitab kuno yang sedang dibuka. Di tengah keteduhan itu, saya merasa seperti memasuki ruang suci yang tak membutuhkan dinding atau kubah—cukup udara, cahaya, dan keheningan.

Hutan ini sunyi. Sunyi yang bukan kosong. Ada suara burung yang menggantung di udara. Pengunjung sedikit karena hutan ini hanya ramai kala libur. 

Di hutan yang sunyi inilah, ingatan saya melayang kepada seorang ekonom yang menulis dengan hati: E.F. Schumacher. Bukunya, Small Is Beautiful, adalah sebuah manifesto kecil yang menantang modernitas yang serba besar dan rakus. Schumacher percaya bahwa manusia baru bisa menemukan kebahagiaan sejati jika ia kembali pada skala yang manusiawi: desa, komunitas kecil, dan irama alam.

Menurutnya, desa bukan nostalgia, desa adalah hikmah yang kita abaikan. Ia menegaskan bahwa teknologi dan ekonomi seharusnya berserah pada yang organik, yang lembut, yang selaras dengan kehidupan.

“Wisdom demands a new orientation of science and technology toward the organic, the gentle, the non-violent, the elegant and beautiful.”

Di tengah barisan pinus Pengger yang tegak dan sabar itu, pesan pesan indah Schumacher terasa hidup. Seolah pepohonan itu sedang mengulangi pesan yang sama: bahwa hidup yang baik bukanlah hidup yang penuh penaklukan, tetapi hidup yang penuh keseimbangan.

Kenangan yang Mengalir dari Muara Labuh

Angin sepoi yang bertiup di puncang Hutan Pinus membawa saya kembali ke dunia kecil yang membesarkan saya: Muara Labuh, Sumatra Barat. Dulu, dunia saya adalah sawah yang membentang luas, sungai yang jernih, dan bukit hijau yang memeluk kampung. Saya bisa melihat diri saya kecil, bersama kawan-kawan, berlari menuju Sungai Batang Suliti setiap sore.

Airnya jernih seperti kaca; batu-batunya bulat, dingin, dan licin seperti potongan waktu yang membeku. Kami melompat, berenang, tertawa. Di kejauhan, suara emak memanggil pulang memantul dari dinding bukit, berpadu dengan aroma kayu bakar yang naik dari dapur rumah-rumah kampung.

Muara Labuh adalah puisi alam yang tumbuh bersama masa kecil saya. Namun puisi itu kini banyak yang hilang. Hutan-hutan yang dulu rimbun kini gundul. Sungai yang dulu jernih kini keruh oleh lumpur. Bukit yang dulu hijau kini botak, penuh luka seperti tubuh yang kehilangan kulitnya.

Kini, Sumatra—Aceh, Sumatera Utara, Sumatra Barat—banjir besar datang seperti tamu tak diundang. Dalam dua dekade terakhir, puluhan juta hektare hutan Sumatra hilang. Angka itu bukan statistik dingin; itu adalah hilangnya paru-paru bumi, hilangnya pelindung kampung, hilangnya rumah bagi ribuan spesies.

Ketika hujan turun, tanah yang kehilangan akar tidak mampu lagi menyimpan air. Ia menyerah. Ia membuang semuanya ke lembah: lumpur, batu, kayu raksasa. Rumah-rumah hancur. Sawah hilang. Nyawa melayang.

Di titik itu, manusia seperti anak kecil yang tertangkap basah merusak rumah ibunya sendiri. Kita ingin menyalahkan alam, padahal yang kita rusak adalah sumber kehidupan kita sendiri.

Duduk di bawah pucuk-pucuk pinus yang tinggi itu, saya merasa diawasi oleh sesuatu yang lebih tua dari usia manusia. Pohon-pohon itu berdiri seperti para penjaga zaman, tenang, tegak, sabar, seakan menguji apakah kita masih mampu mendengar bisikan alam.

Di Puncak Pinus, saya duduk cukup lama. Mendengar tanpa mendengar.

Melihat tanpa melihat. Hingga saya merasa alam sesungguhnya tidak marah. Ia hanya mengajukan pertanyaan: “Sampai kapan manusia ingin begini?”

Saya bertanya pada diri sendiri. Mengapa manusia merusak sesuatu yang membuatnya hidup? Mengapa kita takluk pada ambisi, padahal hanya butuh kedamaian? Apakah kerinduan kita pada kampung halaman sebenarnya adalah kerinduan pada diri kita yang lebih jujur, lebih polos, lebih cukup?

Mungkin yang hilang dari kita bukan hutan. Mungkin yang hilang adalah kemampuan untuk merasa cukup. Kita terus menaklukkan dunia, padahal kita belum mampu menaklukkan diri sendiri.

Di antara pohon pohon pinus yang berdiri seperti tiang-tiang doa itu, tumbuh keinginan kecil dalam hati saya: andai alam bisa kembali pulih, meski sedikit saja. Saya ingin sungai-sungai kembali jernih. Saya ingin bukit-bukit kembali hijau. Saya ingin anak-anak di Muara Labuh kembali mandi di Batang Suliti sambil tertawa.

Schumacher percaya bahwa perubahan tidak datang dari negara besar atau korporasi raksasa. Perubahan datang dari orang kecil yang menanam satu pohon, komunitas kecil yang menjaga satu bukit, dan keluarga kecil yang hidup dengan sederhana. Dan keyakinan itu terasa benar di hutan ini.

Janji kepada Bumi

Saat hendak meninggalkan hutan, cahaya matahari sore turun di sela-sela pohon, menjatuhkan bayangan panjang seperti doa yang ditulis di tanah. Angin kembali berembus, pelan tapi pasti. Daun-daun pinus berguguran satu per satu, seperti salam perpisahan dari bumi yang sabar meski sering dikhianati. Di situ saya membuat janji kecil kepada diri sendiri: menulis untuk alam. Karena menulis adalah cara saya menjaga apa yang tak mampu membela dirinya sendiri.

Karena alam adalah ibu yang diam-diam terluka, tetapi tetap memberi makan anak-anaknya. Dan bila ia marah, itu bukan karena benci; itu karena ia kehabisan cara untuk mengingatkan.

Saya percaya, selagi ada satu pohon yang berdiri, harapan belum mati.

Selagi ada satu suara burung yang berkicau, dunia belum sepenuhnya sunyi.

Selagi ada satu manusia yang mau memelihara alam, bumi belum menyerah.

Di Hutan Pinus Pengger, saya menemukan bukan hanya pemandangan. Saya menemukan cermin. Cermin yang mengingatkan bahwa masa depan bukan ditentukan oleh teknologi besar, tetapi oleh kerendahan hati manusia untuk hidup selaras dengan bumi yang memeliharanya.

Hutan Pinus Pengger Desember 2025

Elza Peldi Taher

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.