Type Here to Get Search Results !

Etika Bantuan dan Mitigasi Bencana

Oleh: Duski Samad 

Memberi bantuan terhadap korban bencana adalah kewajiban kemanusiaan. Beberapa postingan terkait pemberian bantuan patut rasanya diingatkan untuk memuliakan saudara kita yang menghadapi ujian ini. 

Menyimak dan mencermati prilaku elit (baca pejabat dan donatur) dalam memberi bantuan bencana ada beberapa yang tidak pantas dan menciderai perasaan korban, patut rasanya diingatkan bahwa memberi bantuan dan melakukan mitigasi bencana wajib hukum memenuhi standar etika.

Sebab memberi bantuan atau donasi pada korban bencana adalah kewajiban bagi yang berkuasa dan berpunya, sedangkan bagi korban itu haknya. Menerima tak boleh risih dan mesti dengan kepala tegak.

1. Menjaga Martabat Manusia (Ḥifẓ al-Karāmah al-Insāniyyah)

Esensi pertama dan utama etika bencana adalah:

Korban bukan objek belas kasihan, melainkan subjek bermartabat.

Dalam Islam, manusia dimuliakan bahkan dalam kondisi paling lemah: “Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam.”(QS. Al-Isrā’: 70)

Implikasi etiknya:

Dilarang mengekspos penderitaan korban untuk pencitraan. Bantuan tidak boleh disertai syarat, tekanan, atau propaganda.

Korban berhak atas privasi, rasa aman, dan penghormatan.

Bantuan yang merendahkan martabat kehilangan nilai kemanusiaannya.

2. Amanah dan Tanggung Jawab Moral (Mas’ūliyyah)

Mitigasi dan bantuan bukan kemurahan hati, melainkan amanah publik. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak.”

(QS. An-Nisā’: 58)

Esensinya:

Dana bencana adalah titipan, bukan alat politik.

Jabatan adalah tanggung jawab, bukan panggung empati semu. Kegagalan mitigasi bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi cacat etika.

Setiap keputusan salah yang berdampak pada korban adalah hutang moral.

3. Keadilan dan Keberpihakan pada yang Paling Rentan (ʿAdālah wa Inṣāf)

Etika bencana berpihak pada yang paling lemah, bukan yang paling terlihat.> “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil.”

(QS. Al-Māidah: 8)

Esensinya:

Bantuan harus berbasis kebutuhan, bukan akses atau relasi. Daerah terpencil harus diprioritaskan, bukan dilupakan. Anak-anak, lansia, difabel, dan perempuan adalah prioritas etik.

Ketidakadilan dalam bantuan adalah bencana lanjutan.

4. Kejujuran dan Transparansi (Ṣidq wa Shafāfiyyah)

Tanpa kejujuran, mitigasi hanyalah ilusi. “Celakalah orang-orang yang curang.”

(QS. Al-Muṭaffifīn: 1)

Esensi etiknya:

Data korban, kerusakan, dan bantuan harus apa adanya. Tidak boleh ada manipulasi demi citra atau anggaran. Publik berhak tahu ke mana bantuan mengalir.

Ketertutupan melahirkan ketidakpercayaan dan konflik sosial.

5. Niat Ikhlas dan Bebas Riya’ (Ikhlāṣ wa Tajrīd al-Niyyah)

Bantuan yang benar lahir dari niat melayani, bukan ingin dipuji.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Esensinya:

Membantu tanpa kamera lebih utama. Nama pemberi tidak boleh lebih besar dari kebutuhan korban. Semakin sunyi kebaikan, semakin tinggi nilainya.

 Riya’ mengubah bantuan menjadi eksploitasi emosional.

6.Tanggung Jawab Jangka Panjang (Istidāmah wa Wiqāyah)

Etika bencana tidak berhenti saat air surut.

> “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah diperbaiki.”

(QS. Al-A‘rāf: 56)

Esensinya:

Mitigasi adalah mencegah sebelum terjadi. Rehabilitasi harus memperbaiki akar masalah.

Membangun kembali tanpa memperbaiki sistem adalah kelalaian etis.

Bantuan tanpa pencegahan adalah kepedulian yang setengah hati.

7. Solidaritas Kemanusiaan (Ta‘āwun Insānī)

Bencana menyatukan manusia di atas sekat identitas.

> “Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa.”

(QS. Al-Māidah: 2)

Esensinya:

Bantuan tidak boleh diskriminatif agama, etnis, atau pilihan politik.

Kemanusiaan didahulukan dari afiliasi. Negara hadir sebagai pelindung, masyarakat sebagai penguat.

Solidaritas adalah vaksin sosial melawan fragmentasi pascabencana.

Etika mitigasi dan bantuan bencana adalah menjaga martabat korban, menunaikan amanah dengan adil dan jujur, serta mencegah penderitaan berulang melalui tanggung jawab moral dan keberlanjutan.

Jika etika diabaikan:

Bantuan berubah jadi alat pencitraan. Mitigasi menjadi proyek tanpa nurani. Korban menderita dua kali: oleh bencana dan oleh sistem

Namun jika etika ditegakkan: Bencana menjadi pelajaran kolektif. Kekuasaan kembali bermakna. Kemanusiaan menemukan wajah sejatinya

Dari Pencitraan ke Tanggung Jawab: Mitigasi Bencana Berbasis Etik

Bencana bukan hanya peristiwa alam, tetapi peristiwa moral. Ia memperlihatkan bukan sekadar rapuhnya alam, melainkan rapuhnya etika pengelolaan kekuasaan. Karena itu, mitigasi bencana tidak cukup dimaknai sebagai urusan teknis—tanggul, alat berat, logistik—tetapi harus dibangun di atas fondasi etik. Tanpa etika, mitigasi hanya akan menjadi proyek fisik tanpa ruh kemanusiaan.

Mengapa Etika Harus Menjadi Basis Mitigasi

Pengalaman berulang menunjukkan: kerusakan alam kerap didahului oleh pelanggaran etika—keserakahan, pembiaran, manipulasi data, dan kebijakan yang mengabaikan keselamatan publik. Al-Qur’an menegaskan:

> “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia.”

(QS. Ar-Rūm: 41)

Ayat ini menempatkan manusia sebagai subjek moral, bukan korban pasif. Maka mitigasi sejati dimulai bukan dari alat, tetapi dari niat, nilai, dan keberanian etik.

Lima Pilar Mitigasi Berbasis Etik

Etika Kejujuran (Ṣidq): Data Bukan Alat Pencitraan

Mitigasi yang etis menuntut kejujuran data—curah hujan, peta rawan, dampak kebijakan tata ruang, hingga jumlah korban. Pemalsuan atau manipulasi data demi menjaga citra adalah bentuk pengkhianatan publik.

> “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.”

(QS. At-Taubah: 119)

Implementasi konkret: audit data bencana independen, keterbukaan informasi, dan pelibatan akademisi lokal.

2. Etika Tanggung Jawab (Mas’ūliyyah): Jabatan adalah Amanah

Pejabat yang datang ke lokasi bencana tidak cukup menyampaikan belasungkawa. Ia harus berani menanggung konsekuensi kebijakan masa lalu yang berkontribusi pada bencana. Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Implementasi: setiap kunjungan pejabat wajib diikuti dokumen rencana tindak lanjut dan evaluasi kebijakan struktural.

3. Etika Keadilan (ʿAdālah): Korban Bukan Properti Kamera

Mitigasi etik menolak diskriminasi bantuan. Tidak boleh ada korban “kelas satu” karena akses kamera, dan korban “kelas dua” karena jauh dari pusat perhatian

> “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”

(QS. Al-Māidah: 8)

Implementasi: distribusi bantuan berbasis kebutuhan, bukan eksposur.

4. Etika Kesederhanaan dan Anti-Riya’

Empati tidak perlu berisik. Semakin besar bencana, semakin dituntut kerendahan hati kekuasaan. Pencitraan berlebihan justru melukai psikologis korban, karena penderitaan mereka dipertontonkan.

Dalam psikologi bencana, hal ini disebut secondary victimization—korban merasa dieksploitasi secara simbolik.

Implementasi: pembatasan konten pribadi pejabat di lokasi bencana; fokus pada laporan kerja, bukan citra diri.

5.Etika Keberlanjutan (Istidāmah): Mencegah Lebih Mulia daripada Memperbaiki

Mitigasi etik berpihak pada generasi mendatang. Tidak ada gunanya bantuan pascabencana jika hulu tetap dirusak dan izin tetap dijual.

Dalam kearifan Minangkabau dikenal prinsip:

> “Alam takambang jadi guru.”

Artinya, alam mengajarkan batas. Melampauinya adalah kezaliman ekologis.

Implementasi: moratorium izin di wilayah rawan, restorasi hulu sungai, dan penegakan hukum lingkungan.

Penutup: Etika sebagai Benteng Terakhir

Jika mitigasi hanya dipahami secara teknis, maka bencana akan terus berulang. Tetapi jika mitigasi dibangun di atas etika kejujuran, tanggung jawab, keadilan, kesederhanaan, dan keberlanjutan, maka bencana dapat menjadi titik balik peradaban.

Di sinilah relevansi kritik terhadap pencitraan pejabat: tanpa etika, kehadiran mereka justru memperpanjang luka. Namun dengan etika, kekuasaan bisa berubah menjadi pelindung, bukan penonton.

Bencana adalah suara keras alam. Etika adalah jawaban sunyi yang menentukan:

apakah kita belajar, atau mengulangi kesalahan dengan wajah baru. DS13122025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.