Type Here to Get Search Results !

Wirid dan Warid: Jalan Sunyi Antara Usaha Hamba dan Sentuhan Tuhan

Wirid Buya Batang Kabung, Padang di Ulakan, Rabu 17 Desember 2025 malam.

Oleh: Duski Samad

Refleksi Ziarah ke Ulakan Wirid Buya Batang Kabung, 17-19 Desember 2025 

Allah swt berfirman..artinya

Dan sekiranya mereka tetap istiqamah di jalan itu, niscaya Kami akan limpahkan kepada mereka air yang melimpah (nikmat tak terbatas).”(QS. Al-Jinn: 16).

Ayat ini bukan sekadar janji rezeki lahiriah. Ia adalah peta jalan spiritual, isyarat halus tentang hubungan antara istiqamah, jalan (tharÄ«qah), dan limpahan Ilahi—baik berupa ketenangan, makna, maupun keberkahan hidup.

Ada orang yang tekun berzikir, tetapi tak pernah merasakan apa-apa. Ada pula yang sekali tersentuh rasa batin, lalu mengira dirinya telah sampai. Di antara dua kutub itulah tasawuf berdiri, mengajarkan bahwa tidak semua yang terasa itu benar, dan tidak semua yang belum terasa itu sia-sia.

Dalam perjalanan ruhani, para sufi mengenal dua kata yang sering disebut namun jarang dipahami secara jernih: wirid dan warid. Dua istilah ini bukan sekadar bahasa tarekat, tetapi cermin hubungan paling dalam antara usaha manusia dan kehendak Tuhan.

Wirid: Kesetiaan dalam Sunyi.

Wirid adalah amalan yang dilakukan berulang-ulang. Ia seperti orang yang setiap hari berjalan ke mata air—meski kadang airnya terasa biasa saja, bahkan hambar. Namun ia tetap datang, karena ia tahu: air itulah yang menjaga hidupnya.

Dalam tasawuf, wirid bukan soal banyak atau sedikit, bukan pula soal suara keras atau bisikan lirih. Wirid adalah kesetiaan. Kesetiaan seorang hamba untuk hadir di hadapan Allah, meski hatinya kering, meski pikirannya kacau, meski tak ada rasa apa-apa.

Para sufi mengajarkan:

“Jangan tinggalkan wiridmu hanya karena hatimu belum hidup.”

Sebab wirid bukan dikerjakan karena rasa, tetapi karena iman. Ia adalah bentuk disiplin batin, latihan menundukkan nafs, dan upaya perlahan membersihkan hati dari karat dunia. Wirid adalah usaha manusia.

Ia menuntut sabar, bukan sensasi. Ia mengajarkan istiqamah, bukan pamer spiritual.

Warid: Sentuhan yang Datang Tanpa Diundang.

Berbeda dengan wirid, warid tidak bisa dipanggil. Ia datang seperti embun di pagi hari—tanpa suara, tanpa janji. Tiba-tiba hati menjadi tenang, mata basah tanpa sebab, atau makna ayat Al-Qur’an terasa menembus hingga ke relung jiwa.

Warid bukan hasil teknik, bukan pula buah kepandaian berzikir. Ia adalah sentuhan Tuhan yang datang pada saat yang tidak kita tentukan.

Seorang sufi berkata:

“Wirid itu ketukan pintu, warid itu pintu yang dibukakan.”

Ada orang yang mengetuk lama, namun pintu belum terbuka. Ada pula yang hanya mengetuk sebentar, lalu Allah berkenan membukanya. Semua kembali pada hikmah-Nya, bukan pada perhitungan kita.

Antara Kesabaran dan Kepasrahan.

Di sinilah banyak orang tergelincir. Ada yang mengejar warid, lalu meninggalkan wirid. Ada pula yang merasa telah sampai hanya karena merasakan sesuatu.

Padahal para arif mengingatkan:

Warid bukan tanda sampai, melainkan ujian kerendahan hati.

Jika warid membuat seseorang semakin lembut, semakin takut berbuat dosa, semakin tunduk pada syariat—itulah warid yang menumbuhkan.

Namun jika ia melahirkan rasa istimewa, merasa lebih tinggi, atau meremehkan orang lain—itulah tipuan yang halus.

Tasawuf tidak mengajarkan manusia untuk menjadi “spesial”, tetapi untuk menjadi jujur di hadapan Allah.

Wirid Tanpa Warid, Warid Tanpa Wirid

Ada yang bertanya: “Bagaimana jika aku berwirid, tapi tak pernah merasakan warid?”

Para sufi menjawab:

“Teruslah berjalan. Allah tahu kapan engkau siap.”

Ada pula yang bertanya: “Bagaimana jika aku merasakan sesuatu, padahal wiridku sedikit?”

Jawabannya:

“Syukuri, tapi jangan berhenti melangkah.”

Karena hakikatnya:

Wirid adalah jalan. Warid adalah cahaya di jalan.

Tujuan bukan cahaya, melainkan Dia yang memberi cahaya.

Tasawuf yang Membumi.

Tasawuf sejati tidak membuat orang lari dari dunia, tetapi hadir di dunia dengan hati yang bersih. Wirid melatih kesabaran, warid melatih kerendahan hati. 

Keduanya, jika benar, akan tampak pada:

akhlak yang tenang,

lisan yang jujur,

sikap yang adil,

dan empati kepada sesama.

Jika tasawuf menjauhkan seseorang dari kepedulian sosial, maka ada yang keliru di jalannya.

Tetaplah Berjalan

Jalan tasawuf adalah jalan sunyi. Tidak selalu bercahaya. Tidak selalu terasa. Namun ia selalu bermakna bagi mereka yang setia.

Teruslah berwirid, meski hatimu kering.

Terimalah warid dengan syukur, tanpa merasa sampai.

Sebab dalam tasawuf, yang terpenting bukan apa yang engkau rasakan, tetapi siapa yang engkau tuju.Dan tujuan itu satu: Allah. DS. 17122025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.