![]() |
Di Tamiang,
pagi tak selalu membawa terang.
Kadang ia datang
dengan dada yang berat,
dengan langkah yang ragu,
seolah harapan pun berjalan tertatih.
Saudaraku,
aku tahu lelahmu tak lagi pandai bicara.
Ia bersembunyi di balik senyum
yang kau paksa tetap hidup,
di balik doa
yang hanya mampu kau ucapkan
dalam diam.
Malam-malam di sana
terasa lebih panjang.
Tangis jatuh perlahan,
tak ingin didengar siapa-siapa,
karena kau terlalu kuat
untuk mengeluh,
terlalu beriman
untuk menyalahkan.
Jika hari ini
kau kehilangan banyak hal,
ingatlah—
Tuhan tidak pernah mengambil
tanpa sedang menyiapkan
pengganti yang lebih lembut,
meski belum kau mengerti.
Kesabaranmu,
yang tampak biasa,
sedang dicatat langit
sebagai kemuliaan.
Air matamu
yang jatuh tanpa saksi,
sedang dibalas
dengan pelukan tak terlihat.
Tamiang,
jika kau merasa sendirian,
percayalah—
doa-doa sedang berjalan
menuju rumah-rumahmu.
Pelan,
namun pasti.
Bertahanlah,
walau hanya satu hari lagi.
Bernapaslah,
walau dengan dada yang sesak.
Itu bukan kelemahan—
itu iman
yang sedang diuji kedalamannya.
Kelak,
ketika luka ini reda,
kau akan tahu:
tidak ada satu pun air mata
yang sia-sia.
Ia telah berubah
menjadi cahaya
yang menuntun langkahmu
lebih kuat dari sebelumnya.
Saudaraku di Tamiang,
kami tidak mampu
menghapus dukamu.
Namun kami ingin kau tahu—
kau dicintai,
kau didoakan,
dan kau akan bangkit
dengan cara yang indah,
meski hari ini
kau masih menangis.
Walloohu A'lamu Bisshowaab.
_(by-hendymattaro@damanik)_
Lahore, desember 2025

