Type Here to Get Search Results !

RECOVERY PASCA BENCANA: Paradoks Negara, Antara Narasi Optimisme dan Realitas Derita Warga

Oleh: Duski Samad

Diskusi lapau penulis dengan beberapa tokoh pagi ini mencatat banyak hal tentang realitas, penanganan dan situasi terkini tanggap darurat bencana Sumatera yang akan segera berakhir.

Paradok satu kata kunci tentang pernyataan penentu kebijakan, sejak dari Presiden, Menteri, BNPB, Gubernur, Bupati Walikota dan penjabat tekhnis. Kesan optimisme, juga ada yang pesimis, laporan asal bapak senang, kritik nitizen dan segala hal yang mengemuka di ruang publik, dan medsos adalah bahagian dinamika pendewasaan bangsa dalam mengelola bencana besar dan luas ini.  

Bencana alam bukan hanya peristiwa ekologis. Ia adalah ujian tata kelola negara, cermin kehadiran kekuasaan, sekaligus penguji integritas kebijakan publik. Pasca banjir bandang dan longsor akhir November 2025 di Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara, bangsa ini menyaksikan paradoks besar: negara tampak hadir di layar, tetapi absen di lapangan.

Pernyataan elite negara bertebaran. Presiden menyatakan “kita mampu”. BNPB ramai di media sosial.

Kementerian Lingkungan Hidup menyebut kayu hanyut karena “tercabut”. Kementerian Kehutanan menyebut izin sudah sesuai prosedur. ESDM mengumumkan listrik pulih 93 persen. Pangdam menyatakan tidak ada hutan gundul. Mendagri menyebut donasi luar negeri terlalu kecil dan macam lagi bunya narasi di media sosial. Namun di balik narasi optimisme itu, realitas berbicara lain.

Data Empiris: Ketika Infrastruktur Runtuh dan Warga Terlantar

Di wilayah terdampak, fakta lapangan menunjukkan: Ratusan rumah hanyut dan rusak berat, ribuan warga mengungsi tanpa kepastian relokasi.

Sawah tertimbun sedimen, saluran irigasi rusak, mata pencaharian lumpuh total.

Jalan nagari dan jembatan putus, distribusi logistik terhambat.

Fasilitas pendidikan dan rumah ibadah rusak, memperpanjang trauma sosial. Hingga berminggu-minggu pasca bencana, pertanyaan paling mendasar belum terjawab:

Kapan rumah dibangun? Kapan sawah kembali produktif? Kapan usaha rakyat berjalan normal?

Dalam teori manajemen bencana modern, fase recovery seharusnya dimulai sejak hari pertama tanggap darurat. Namun yang terjadi adalah vacuum of leadership pada fase paling krusial: pemulihan kehidupan.

Analisis Kelembagaan:

TNI: Efektif di Lapangan.

Secara empiris, TNI menjadi aktor paling sigap: Evakuasi cepat. Dapur umum berjalan. Pembukaan akses jalan darurat. 

Disiplin dan kehadiran fisik nyata. Ini menegaskan tesis lama: negara hadir bukan lewat konferensi pers, tetapi lewat sepatu yang menginjak lumpur. Alhamdulillah, salut, bangga dan hormat pada TNI, TNI dari Rakyat untuk Rakyat

BNPB: Terjebak Administrasi 

BNPB aktif di media, tetapi: Lamban dalam pemetaan kerusakan detail. Minim roadmap pemulihan sosial-ekonomi. Koordinasi lemah dengan pemerintah daerah. BNPB tampak bekerja dalam logika laporan, bukan logika penderitaan korban.

Kementerian Sosial:

 Donasi Berizin, Solidaritas Terhambat.

Ketentuan perizinan donasi memang penting untuk akuntabilitas, tetapi dalam kondisi darurat: Prosedur kaku memperlambat bantuan. Solidaritas masyarakat sipil terhambat. Negara tampak lebih curiga pada relawan daripada empati pada korban.

Politik Kebijakan.

Paradoks terbesar pasca bencana adalah fragmentasi narasi antar kementerian: Kehutanan: izin sesuai prosedur. KLH: kayu tercabut alami tidak ada hutan gundul

Fakta lapangan: arus kayu, longsor massif, dan sedimentasi ekstrem

Dalam ilmu kebijakan publik, ini disebut policy blame shifting — saling lempar tanggung jawab untuk menghindari akuntabilitas struktural.

Padahal UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan:

Negara bertanggung jawab penuh terhadap perlindungan warga sebelum, saat, dan setelah bencana.

Recovery bukan sekadar membangun fisik, tetapi memulihkan martabat warga.

Bencana sebagai Produk Sistemik.

Ilmu kebencanaan modern menolak narasi “bencana alam murni”. Yang ada adalah: Hazard alam. Vulnerability sosial.

Exposure akibat kebijakan tata ruang.

Governance failure.

Banjir bandang dan longsor hari ini adalah akumulasi izin, pembiaran, dan lemahnya penegakan hukum lingkungan. Ketika negara hanya fokus pada tanggap darurat, tetapi gagal membenahi hulu kebijakan, maka bencana akan berulang dengan korban lebih besar.

Recovery dan Peta Jalan

Hingga kini, belum tampak masterplan relokasi berbasis risiko.

Skema pemulihan ekonomi petani dan UMKM. Jadwal pembangunan rumah yang pasti. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan recovery

Recovery yang hanya bersifat karitatif akan melahirkan ketergantungan, bukan ketahanan.

Dari Negara Retoris ke Negara Hadir

Bencana menguji bukan hanya alam, tetapi kejujuran negara terhadap rakyatnya. Jika negara terus sibuk membangun narasi, tetapi abai membangun kehidupan, maka yang lahir bukan pemulihan, melainkan kemiskinan struktural baru.

Recovery pasca bencana menuntut: Kejujuran politik. Keberanian mengevaluasi kebijakan izin. Koordinasi lintas sektor yang nyata.

Keberpihakan pada korban, bukan prosedur semata. 

Jika negara ingin kembali dipercaya, maka satu syarat mutlak harus dipenuhi hadir di lapangan, bukan hanya di layar. 

Karena bagi korban bencana, harapan bukanlah janji —melainkan hidup kembali. DS.21122025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.