![]() |
Oleh: Duski Samad
“Anduang amak alun tahu musibah co iko.”
Kalimat ini bukan sekadar ungkapan emosional, tetapi refleksi sosiologis atas bencana yang melampaui ingatan kolektif masyarakat. Wali Korong Tanah Taban, Nagari Pasie Laweh, Kabupaten Padang Pariaman, Deded, menegaskan bahwa banjir dan galodo 28 November 2025 adalah musibah yang tidak pernah dialami oleh tiga generasi sebelumnya. Pernyataan ini penting, karena dalam studi kebencanaan, ukuran kedalaman trauma dan kerusakan seringkali berkaitan langsung dengan sejauh mana pengalaman sosial sebelumnya mampu menjadi rujukan adaptasi. Dalam kasus ini, rujukan itu nyaris nihil.
Skala Kerusakan: Data Lapangan Bicara
Korong Tanah Taban mencatat fakta pahit: sekitar 97% wilayah terdampak, dengan ±80 rumah hanyut, belum termasuk sawah dan lahan pertanian yang tertimbun lumpur, pasir, dan material bukit. Artinya, bencana ini tidak hanya menghancurkan tempat tinggal, tetapi meruntuhkan sistem penghidupan (livelihood system) masyarakat nagari—sebuah ciri khas bencana ekologis yang berdampak jangka panjang.
Nagari Pasie Laweh berada di titik pertemuan Sungai Batang Anai dan Asam Pulau, kawasan yang secara geomorfologis memang rentan. Namun, kerentanan alamiah berubah menjadi bencana sosial ketika daya dukung lingkungan melemah dan tata kelola risiko tidak memadai. Dalam perspektif ilmiah, peristiwa ini mencerminkan akumulasi risiko: curah hujan ekstrem, degradasi hulu, penyempitan alur sungai, serta lemahnya sistem mitigasi berbasis nagari.
Irigasi Anai: Dari Sumber Berkah Menjadi Simbol Kehilangan
Salah satu dampak paling serius adalah rusaknya Irigasi Anai—sistem vital yang tidak hanya mengairi sawah hingga Jati Pariaman, tetapi juga menopang perikanan air tawar dan ekonomi lokal. Runtuhnya irigasi ini berarti terputusnya siklus produksi pangan, yang dalam sosiologi bencana disebut sebagai secondary disaster: bencana lanjutan berupa krisis ekonomi, pangan, dan sosial.
Kini, saluran yang dahulu membawa kehidupan justru kering kerontang. Dampaknya bukan sementara. Tanpa rehabilitasi cepat dan terukur, masyarakat berpotensi terjebak dalam kemiskinan struktural pascabencana—sebuah kondisi yang seringkali lebih lama pulih dibanding kerusakan fisik.
Wajah Trauma dan Solidaritas Sosial
Trauma bencana tidak selalu berteriak. Ia tampak dari raut wajah, dari hening komunikasi para tokoh masyarakat, dan dari kalimat-kalimat pendek yang sarat beban batin. Dalam kajian sosiologi bencana, kondisi ini disebut collective shock, ketika komunitas kehilangan orientasi karena skala musibah melampaui kapasitas coping sosial mereka.
Namun, di tengah luka itu, nilai-nilai solidaritas tetap bekerja. Kunjungan WAMY Sumatera Barat ke Pasie Laweh—bahkan sebelum bantuan pusat tiba—menunjukkan pentingnya pendekatan berbasis data dan empati. Pendataan awal dan kepastian bantuan dari WAMY Pusat yang dijadwalkan Ahad, 28 Desember 2025, menjadi secercah harapan di tengah ketidakpastian.
Negara, Kebijakan, dan Tanggung Jawab Moral
Masyarakat Pasie Laweh tidak sekadar meminta bantuan karitatif. Mereka meminta kebijakan. Ini poin krusial. Dalam perspektif kebencanaan modern, negara tidak cukup hadir dalam bentuk logistik darurat, tetapi harus memastikan:
1. Rehabilitasi dan rekonstruksi berbasis penghidupan (rumah, sawah, irigasi).
2. Pemulihan psikososial komunitas, bukan hanya individu.
3. Mitigasi struktural dan ekologis agar tragedi serupa tidak berulang.
Kehadiran Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman menjadi harapan, namun harapan itu harus diterjemahkan dalam keputusan cepat, adil, dan berpihak pada korban. Bencana ini telah melampaui batas “musibah biasa”; ia adalah peringatan keras tentang relasi manusia, alam, dan kebijakan.
Penutup: Dari Ratapan Menuju Kesadaran Kolektif
“Anduang amak alun tahu musibah apo ko iko” adalah jeritan kejujuran sosial. Ia menandai bahwa masyarakat sedang berada di titik paling rapuh, sekaligus di ambang kesadaran baru. Jika bencana ini hanya ditangisi, ia akan menjadi luka panjang. Tetapi jika dijadikan pelajaran ekologis, sosial, dan kebijakan, ia bisa menjadi titik balik.
Pasie Laweh hari ini bukan hanya tentang korban. Ia adalah cermin bagi kita semua: tentang bagaimana kita mengelola alam, membangun sistem, dan menghadirkan negara di saat rakyat paling membutuhkan. DS.21122025.

