![]() |
Kamis, 11 November 2025
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang
Tiga belas tahun perjalanan Pondok Pesantren Perkampungan Minangkabau adalah kisah tentang keyakinan, ketekunan, dan keberanian menghadirkan kembali tradisi keulamaan Minangkabau dalam wajah zaman yang berubah sangat cepat. Ketika dunia bergerak menuju era digital, ketika kompetensi manusia diuji oleh teknologi, ketika masa depan ditentukan oleh kemampuan belajar dan beradaptasi, pesantren ini berdiri sebagai tanda bahwa tafaqqquh fiddin tetap menjadi suluh peradaban.
Fondasi pesantren adalah panggilan Al-Qur’an yang teguh: “Mengapa tidak pergi beberapa orang dari tiap-tiap golongan untuk mendalami agama dan memberi peringatan kepada kaumnya?” (QS. 9:122). Ayat ini tidak hanya menugaskan umat untuk melahirkan ahli agama, tetapi juga menjelaskan jalan peradaban: jihad ilmiah, pendalaman ilmu, dan dakwah sosial. Pendidikan pesantren, sejak awal, bukan dimaksudkan untuk mencetak orang yang hanya tahu kitab, tetapi orang yang mampu menggerakkan umat dari kebodohan menuju pencerahan.
Di tempat lain, Al-Qur’an menegaskan bahwa ilmu adalah penentu martabat seseorang. “Allah mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu beberapa derajat.” (QS. Mujadilah:11). Maka pesantren menjadi rumah kelahiran insan yang tidak hanya alim, tetapi juga mulia adabnya. Ulama, dalam pandangan Al-Qur’an (QS. Fathir:28), bukan sekadar orang yang banyak membaca, tetapi mereka yang hatinya lembut, jiwanya bersih, dan takut kepada Allah. Dalam tradisi pendidikan Islam, ini disebut integrasi antara ilmu, adab, dan akhlak, tiga tiang besar penyangga peradaban.
Namun, Al-Qur’an juga mengajarkan sesuatu yang lebih universal. Kisah Nabi Adam tentang pengajaran nama-nama (QS. 2:31) adalah penanda bahwa kemampuan menguasai ilmu, bahasa, konsep, dan kompetensi adalah kekuatan dasar manusia. Nabi Adam diunggulkan bukan karena fisiknya, tetapi karena kemampuan berpikir dan belajar. Ini sangat relevan dengan tantangan zaman kini: santri tidak cukup menguasai fiqh, tafsir, atau tasawuf tanpa dibekali kemampuan membaca realitas, memanfaatkan teknologi, dan memahami dinamika dunia global.
Hadis Nabi memperkuat landasan ini. “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim,” dan, “Ilmu diperoleh dengan belajar.” Pesan yang sederhana namun tegas: ilmu tidak datang kecuali dari kesungguhan, keteraturan belajar, ketekunan, dan lingkungan pendidikan yang terjaga. Pesantren—dengan tradisi gurunya yang ikhlas, suasana yang disiplin, dan kehidupan berjamaah—adalah laboratorium terbaik untuk membentuk karakter seperti itu.
Pada era globalisasi dan disrupsi teknologi, dunia pendidikan sedang berubah. Kompetensi yang dibutuhkan tidak lagi tunggal. Santri masa depan harus:
fasih dalam agama, kuat karakter dan spiritualitasnya, cakap dalam teknologi, mampu berkomunikasi lintas budaya,kreatif dan adaptif, serta memiliki kemampuan memimpin.
Inilah yang disebut UNESCO sebagai learning to know, learning to do, learning to live together, learning to be. Dan pesantren, dengan sistem boarding school, sebenarnya sudah memiliki modal alamiah untuk memenuhi empat pilar itu.
Pondok Pesantren Perkampungan Minangkabau memiliki keistimewaan: ia berdiri di tengah tradisi budaya ABS-SBK, memadukan surau dengan kurikulum modern, menghidupkan “muru’ah dan marwah” ulama Minangkabau, dan melahirkan kader dakwah yang siap turun ke tengah masyarakat maupun ke ruang digital. Nilai-nilai adat, spiritualitas, dan modernitas dijahit menjadi satu. Di sinilah pesantren ini bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi model peradaban.
Perjalanan tiga belas tahun ini mengajarkan bahwa tafaqqquh fiddin tidak harus bertentangan dengan kemajuan teknologi. Santri dapat mendalami kitab, tetapi juga mahir berbicara di ruang digital. Santri dapat menjaga adab, tetapi juga menjadi pemimpin kreatif yang memahami dunia global. Pesantren dapat tetap berakar kuat, tetapi sekaligus memiliki sayap yang mampu terbang tinggi.
Maka pada Milad ke-13 ini, kita menegaskan satu hal:
Pondasi kita adalah tafaqqquh fiddin, tetapi masa depan kita ditentukan oleh kompetensi.
Santri yang faqih, trampil, cerdas digital, dan kuat akhlaknya adalah kebutuhan umat hari ini. Pesantren yang mampu menggabungkan kedalaman agama dan kecakapan abad 21 akan menjadi sumber lahirnya ulama, intelektual, serta pemimpin masa depan yang mampu menjawab tantangan zaman.
Milad ini bukan sekadar perayaan usia, tetapi momentum memperbarui komitmen bahwa pesantren akan terus menjadi obor, cahaya, dan rumah peradaban bagi Minangkabau dan Indonesia.
Berikut versi naratif yang mengalir, lebih komunikatif, hangat, dan mudah dibacakan dalam forum Milad, ceramah, atau mukadimah tulisan.
---
ESENSI TAFAQQUHFIDDIN DAN KOMPETENSI GLOBAL
Tafaqquh fiddin, sejak awal kelahirannya, bukan sekadar kegiatan mempelajari teks-teks agama, tetapi sebuah perjalanan mendalami makna hidup. Ia adalah proses menanamkan keyakinan yang kokoh, membentuk akhlak yang halus, mengasah kecerdasan rohani, dan melatih kepekaan sosial. Santri yang bertafaqquh bukan hanya mengetahui hukum halal dan haram, tetapi mampu membaca realitas, menimbang maslahat, dan menghadirkan agama sebagai cahaya dalam kehidupan.
Namun, dunia di mana santri hidup sekarang tidak sama dengan dunia satu abad yang lalu. Kita memasuki era global—era di mana batas geografis melebur, informasi mengalir tanpa henti, teknologi mengubah cara manusia belajar, bekerja, dan berinteraksi. Di tengah lanskap baru ini, muncul apa yang disebut kompetensi global, yaitu kemampuan memahami dunia yang luas dan dinamis, menguasai teknologi digital, berkomunikasi lintas budaya, berpikir kritis, kreatif, dan mampu beradaptasi dengan perubahan.
Di sinilah dua konsep besar itu bertemu: tafaqquh fiddin sebagai pondasi, kompetensi global sebagai sayap. Tafaqquh memberi arah moral, sementara kompetensi global memberi kemampuan bergerak. Tafaqquh membentuk kepribadian beriman dan beradab, kompetensi global membuka ruang bagi santri untuk berperan lebih luas—di masyarakat, di bangsa, bahkan di dunia.
Seorang santri yang kuat tafaqquhnya akan tetap tegak ketika nilai-nilai global berubah cepat; ia tidak mudah larut dalam budaya instan atau perilaku yang merusak jati diri. Sebaliknya, santri yang memiliki kompetensi global akan mampu menjadikan ilmunya relevan, tidak terjebak dalam romantisme masa lalu. Ia akan menjadi ulama yang faham teknologi, da’i yang kreatif, pendidik yang inovatif, dan pemimpin yang diterima di banyak ruang.
Tafaqquh fiddin menjadikan seorang santri dekat kepada Allah, memahami perintah-Nya, dan berjalan dalam adab. Kompetensi global menjadikannya mampu menggunakan ilmu itu untuk memecahkan masalah umat, membangun jejaring, dan berkontribusi dalam ruang yang lebih luas. Bila keduanya menyatu, lahirlah manusia berkarakter kuat sekaligus berkemampuan tinggi—manusia yang tahu arah dan tahu cara melangkah.
Oleh sebab itu, pesantren tidak cukup hanya mendidik santri untuk bisa membaca kitab, tetapi juga membentuk mereka agar mampu membaca zaman. Tidak cukup hanya melahirkan ahli fiqh, tetapi melahirkan ahli fiqh yang bisa berdakwah di ruang digital. Tidak cukup hanya menanamkan adab, tetapi juga melatih keterampilan agar adab itu dapat diwujudkan dalam tindakan nyata.
Inilah makna terdalam dari Tafaqquh Fiddin dan Kompetensi Global: membangun manusia merdeka secara spiritual, dewasa secara intelektual, matang secara emosional, kreatif dalam keterampilan, dan siap menjadi bagian dari solusi bagi dunia yang semakin kompleks.
Ketika santri memiliki kedalaman agama sekaligus kemampuan global, maka ia tidak hanya akan menjadi “penonton” perubahan, tetapi menjadi pengarah perubahan—ulama yang menginspirasi, pemimpin yang membimbing, dan da’i yang membawa rahmat ke seluruh alam.DS10122025

