Type Here to Get Search Results !

MU'AKHAH DAN BADONCEK: Strategi Islam bagi Korban Bencana Ukhuwah, Keadilan Sosial, dan Pemulihan Bermartabat

Oleh: Duski Samad

Hari ini 22 Desember 2022 berakhir masa tanggap darurat dan selanjutnya masa rehab rekon. Menilik situasi dilapangan sungguh banyak PR yang mesti diselesaikan untuk memulihkan daerah dan korban bencana. 

Satu di antara praktik nilai Islam yang dapat membangun kekuatan kolektif untuk bergerak bersama adalah muakhah dan budaya badoncek.

Mu’ākhah adalah strategi persaudaraan aktif, bukan sekadar empati emosional. Ia menuntut berbagi risiko, sumber daya, dan tanggung jawab antara yang selamat dan yang terdampak. Dalam bencana, mu’ākhah berubah menjadi mekanisme sosial Islam untuk menjaga martabat korban, mempercepat pemulihan, mencegah ketimpangan dan konflik pascabencana

Landasannya jelas: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Ḥujurāt: 10).

Mu’ākhah Multi-Level

A. Spiritual (Ruhiyah)

Fokus: ketenangan batin dan daya tahan iman. Penguatan sabar, tawakal, dan harapan

Dakwah empatik (bukan menghakimi). Doa kolektif lintas kelompok dan masjid. Trauma healing berbasis nilai iman. Tujuan agar korban tidak merasa ditinggalkan Allah dan umat

Mu’ākhah Sosial (Ijtimā‘iyyah).  

Fokus kehadiran nyata dan pendampingan. Keluarga asuh bagi korban. Relawan tinggal dan mendampingi. Dapur umum berbasis masjid dan nagari. Perlindungan kelompok rentan (anak, lansia, disabilitas). Prinsip: tidak ada yang dibiarkan sendiri.

Mu’ākhah Ekonomi (Iqtiṣādiyyah).

Fokus bangkit mandiri, bukan bergantung Zakat, infak, wakaf produktif. Padat karya berbasis komunitas. Modal usaha tanpa riba. Pemulihan sawah, ladang, dan UMKM. Dari charity menuju empowerment.

Mu’ākhah Kelembagaan (Tandhīmiyyah)

Fokus: keadilan struktural.

Sinergi.

 masjid–ormas–pemerintah–adat. Transparansi distribusi bantuan. Advokasi hak korban (rumah, tanah, usaha). Kontrol kebijakan pascabencana. Mu’ākhah sebagai daya koreksi negara.

Nilai Kunci Mu’ākhah dalam Bencana.

Kesetaraan: korban bukan objek belas kasihan. Kehadiran: datang, tinggal, mendengar. Keberlanjutan: tidak berhenti di tanggap darurat. Martabat: menolong tanpa melukai harga diri. Rasulullah ﷺ bersabda:“Perumpamaan orang beriman dalam cinta dan kepedulian ibarat satu tubuh.”(HR. Muslim).

Kontekstualisasi Minangkabau.

Mu’ākhah sejalan dengan kearifan lokal:“Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang.”

Surau sebagai pusat mu’ākhah. Perantau sebagai simpul solidaritas.

Nagari sebagai basis pemulihan sosial

Dari Luka Menuju Peradaban.Bencana adalah ujian iman kolektif.

Mu’ākhah menjadikan Islam hadir sebagai sistem kasih sayang, keadilan, dan keberlanjutan, bukan hanya wacana.

Mu’ākhah dan Badoncek:

Relevansi Sosial-Emosional dalam Banjir Bandang Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Banjir bandang Padang Pariaman bukan sekadar bencana ekologis, tetapi peristiwa sosial-emosional kolektif. Air menghanyutkan rumah, sawah, dan harta; tetapi yang paling terasa adalah terlukanya rasa (raso) masyarakat nagari.

Dalam konteks inilah, mu’ākhah Islam menemukan relevansi nyatanya, karena masyarakat Padang Pariaman tidak asing dengan persaudaraan berbasis rasa dan kebersamaan.

Badoncek: Mu’ākhah dalam Bahasa Budaya

Tradisi badoncek—mengumpulkan sumbangan secara spontan, terbuka, dan kolektif—adalah terjemahan kultural dari mu’ākhah Islam.

Jika dalam Islam:

Mu’ākhah = persaudaraan iman dan kemanusiaan

Maka dalam Minangkabau Badoncek = persaudaraan raso, malu, dan tanggung jawab nagari.

Badoncek bekerja bukan dengan proposal tebal, tetapi dengan panggilan emosional“Urang awak ditimpo musibah”“Indak elok kito tingga diam”

Di sinilah emosi kolektif berubah menjadi aksi sosial.

Mu’ākhah Emosional: Raso sebagai Modal Sosial

Banjir Padang Pariaman mengaktifkan satu kekuatan khas Minangkabau: raso jo pareso. Mu’ākhah dalam konteks ini: Menyentuh emosi ke-daerahan (urang awak). Menggerakkan solidaritas spontan.

Menghadirkan bantuan tanpa birokrasi

Orang memberi bukan karena kaya, tapi karena:

“Bilo indak kito nan manolong, siapa lai?”

Ini sejalan dengan prinsip Islam.“Tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

Surau dan Nagari sebagai Pusat Mu’ākhah.

Dalam banjir bandang Padang Pariaman: Surau menjadi pos pengungsian, dapur umum, dan pusat informasi. Ninik mamak, alim ulama, dan tokoh nagari menjadi penguat psikologis. Perantau menjadi simpul bantuan lintas daerah.

Ini menunjukkan bahwa: Mu’ākhah tidak menunggu negara. Mu’ākhah hidup dalam struktur adat dan agama.

Pepatah Minang hidup kembali:“Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang.”

Badoncek sebagai Kritik Sosial Halus.

Menariknya, badoncek juga mengandung kritik sosial diam-diam: Ketika bantuan negara lamban, badoncek bergerak. Ketika regulasi berbelit, badoncek menembus. Ketika korban bingung, badoncek menenangkan

Ia bukan melawan negara, tetapi menambal lubang kemanusiaan yang belum tertutup.

Transformasi Badoncek:

Dari Darurat ke Pemulihan.

Agar mu’ākhah dan badoncek tidak berhenti di emosi sesaat, perlu diarahkan ke: Badoncek produktif: modal usaha, bibit sawah, alat tani. Badoncek pendidikan: anak korban tidak putus sekolah. Badoncek perumahan: rumah tumbuh berbasis nagari.

Badoncek trauma healing: memulihkan raso yang patah.

Di sinilah mu’ākhah Islam memberi arah nilai, agar solidaritas tidak habis di hari pertama.

Ketika Islam Menyatu dengan Raso Minangkabau

Banjir bandang Padang Pariaman membuktikan satu hal penting:

Islam tidak datang sebagai sistem asing, tetapi menyatu dalam tradisi badoncek, gotong royong, dan raso urang awak.

Mu’ākhah dalam bencana ini bukan jargon dakwah, melainkan: Air mata yang dipeluk. Nasi yang dibagi.

Rumah yang dibangun bersama. Harapan yang tidak dibiarkan hanyut.

Konklusi

Kajian ini menegaskan bahwa mu’ākhah dalam Islam bukanlah konsep normatif yang berhenti pada seruan moral, melainkan strategi sosial aktif dan sistemik dalam merespons bencana.

Mu’ākhah menuntut keterlibatan iman, rasa, struktur sosial, dan keberpihakan kebijakan secara bersamaan. Melalui pendekatan multi-level—spiritual, sosial, ekonomi, dan kelembagaan—mu’ākhah hadir sebagai mekanisme pemulihan bermartabat yang menjaga martabat korban, mempercepat kebangkitan komunitas, serta mencegah konflik dan ketimpangan pascabencana.

Dalam konteks banjir bandang Padang Pariaman, mu’ākhah menemukan bentuk paling otentiknya melalui tradisi badoncek, yang berakar kuat pada raso jo pareso masyarakat Minangkabau. Badoncek membuktikan bahwa solidaritas Islam tidak selalu hadir melalui birokrasi formal, tetapi sering kali bergerak lebih cepat melalui emosi kolektif, ikatan kedaerahan, dan tanggung jawab nagari.

Surau, ninik mamak, alim ulama, dan perantau berfungsi sebagai simpul-simpul mu’ākhah yang hidup, menjadikan Islam menyatu dengan adat dan realitas sosial.

Dengan demikian, bencana tidak hanya menjadi tragedi ekologis, tetapi juga ruang ujian iman kolektif dan peradaban sosial. Ketika mu’ākhah dan badoncek berjalan seiring, Islam hadir bukan sebagai wacana penghibur, melainkan sebagai sistem kasih sayang, keadilan, dan keberlanjutan yang nyata di tengah penderitaan.

Rekomendasi

• Penguatan Mu’ākhah Berbasis Nagari

Pemerintah daerah, tokoh adat, dan lembaga keagamaan perlu menjadikan nagari dan surau sebagai pusat koordinasi mu’ākhah pascabencana—tidak hanya untuk tanggap darurat, tetapi juga untuk fase rehabilitasi dan rekonstruksi sosial.

• Institusionalisasi Badoncek Produktif

Tradisi badoncek perlu diarahkan secara terencana ke sektor produktif: pemulihan sawah dan ladang, modal UMKM, rumah tumbuh berbasis nagari, serta keberlanjutan pendidikan anak korban bencana, agar solidaritas tidak habis dalam bantuan konsumtif.

• Integrasi Zakat, Infak, dan Wakaf dengan Budaya Lokal

Lembaga zakat dan wakaf disarankan mengintegrasikan skema pendayagunaan dana umat dengan mekanisme badoncek, sehingga mu’ākhah spiritual bertemu dengan empowerment ekonomi yang kontekstual dan diterima secara kultural.

• Penguatan Trauma Healing Berbasis Iman dan Raso 

Program pemulihan psikososial perlu menggabungkan pendekatan keagamaan dan kearifan lokal Minangkabau, menjadikan raso sebagai modal sosial untuk menyembuhkan luka batin korban bencana.

• Mu’ākhah sebagai Instrumen Kontrol Sosial dan Kebijakan

Mu’ākhah tidak boleh berhenti pada solidaritas horizontal, tetapi harus berfungsi sebagai daya koreksi negara melalui advokasi hak korban, transparansi bantuan, dan pengawasan kebijakan pascabencana agar keadilan struktural benar-benar terwujud.

• Replikasi Model Mu’ākhah–Badoncek ke Daerah Lain

Pengalaman Padang Pariaman dapat dijadikan model nasional tentang bagaimana nilai Islam dan kearifan lokal bersinergi dalam manajemen bencana berbasis komunitas.

Dengan rekomendasi ini, mu’ākhah dan badoncek diharapkan tidak sekadar menjadi respons emosional sesaat, tetapi berkembang sebagai fondasi sosial-peradaban: dari luka menuju daya, dari musibah menuju kebangkitan bersama.DS. 22122025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.