Type Here to Get Search Results !

Membaca Fiksi Sebagai Refleksi Natal 2025

oleh ReO Fiksiwan

„Saya selalu menganggap waktu Natal… sebagai waktu yang baik; waktu yang penuh kebaikan, pengampunan, kedermawanan, dan menyenangkan; satu-satunya waktu yang saya ketahui, dalam kalender panjang tahun ini, ketika pria dan wanita tampaknya dengan satu kesepakatan membuka hati mereka yang tertutup dengan bebas.” — Charles Dickens(1812-1870), A Christmas Carol(1843).

Menjelang dan menyambut Natal 2025 kali ini, bagi umat Kristiani khususnya, hadir di tengah riuh rendah disrupsi politik, sosial, dan budaya yang semakin kemaruk. 

Indonesia baru saja melewati luka bencana di Sumatra dan Aceh, sementara ruang publik terus dipenuhi silang isu yang mengusik psikopatologi politik antara elit, civil society, dan warganet yang responsnya kerap lebih cepat daripada penanganan isu kereta cepat atau bandara IMIP. 

Dalam pusaran ini, kita diajak sejenak menepi, menyalakan lilin refleksi spiritual, dan kembali pada semangat sebuah fiksi Natal.

Fiksi ini, sebagaimana pernah dihidupkan oleh sastrawan Inggris, Charles John Huffam Dickens (1812–1870) melalui novelnya: A Christmas Carol, yang pertama kali diterbitkan di London oleh Chapman & Hall pada 19 Desember 1843.

Dickens menghadirkan sosok tokoh Ebenezer Scrooge, seorang tua yang kikir, dingin, dan menolak kasih. 

Namun melalui kunjungan roh Natal Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Akan Datang, ia dipaksa bercermin pada luka, kebahagiaan, dan ancaman kehampaan hidup. 

Dari perjalanan spiritual itu, Scrooge berubah: dari seorang yang menutup diri menjadi pribadi yang penuh kasih, dermawan, dan siap berbagi. 

Esensi kisah ini bukan sekadar dongeng Natal, melainkan kritik sosial Dickens terhadap ketimpangan ekonomi dan moralitas masyarakat Victoria. 

Ia mengingatkan bahwa Natal bukanlah pesta konsumsi, melainkan momentum pertobatan, solidaritas, dan pemulihan relasi.

Sejarah tradisi Natal dalam Kekristenan, sebagaimana ditulis Michael Keene dalam Kristianitas (Kanisius, 2006), menegaskan bahwa perayaan ini sejak awal bukan hanya liturgi, tetapi juga ekspresi iman yang menyalakan harapan di tengah dunia yang retak. 

Keene, seorang penulis dan pendidik Inggris yang lahir tahun 1935, kini berusia sekitar 90 tahun, menekankan bahwa Natal adalah perjumpaan antara iman dan praksis: bagaimana kelahiran Kristus menjadi tanda kasih Allah yang menembus batas-batas sosial, budaya, dan politik.

Dengan demikian, Natal kini bersama Dickens adalah ajakan untuk umat Kristiani di Indonesia agar tidak larut dalam kegaduhan politik atau trauma bencana semata, melainkan menjadikan Natal sebagai ruang pemulihan spiritual. 

Natal adalah kesempatan untuk menyalakan kembali semangat solidaritas, mengulurkan tangan kepada yang menderita, dan meneguhkan bahwa kasih lebih kuat daripada kebencian. 

Dalam dunia digital yang penuh hiruk pikuk warganet, pesan Dickens tetap relevan: jangan biarkan hati kita menjadi dingin seperti Scrooge, melainkan biarkan Natal mengubah kita menjadi pribadi yang menghadirkan terang bagi sesama.

Dengan demikian, Natal 2025 bukan sekadar perayaan liturgi, melainkan panggilan untuk menyalakan kasih di tengah bangsa yang sedang mencari arah. 

Dickens dan tradisi Kekristenan mengingatkan bahwa Natal adalah tentang perubahan hati, solidaritas sosial, dan harapan yang melampaui segala disrupsi.

#coversongs: Lagu The First Noel versi Carrie Underwood(42) — aktif sebagai penyanyi country-pop dan gospel, serta baru saja kembali ke American Idol sebagai juri pada musim ke-23 —dirilis pada 23 Oktober 2007 sebagai bagian dari album bonus Carnival Ride dan kemudian juga muncul dalam edisi 2008. 

Makna lagu ini berakar dari tradisi Natal Inggris, menceritakan kabar gembira kelahiran Yesus yang pertama kali diumumkan kepada para gembala, dengan kata “Noel” berarti kabar baik, kelahiran, atau seruan sukacita

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.