![]() |
______
aldrinarief di CAFE milik Reiner Emyot Ointoe
Mereka menyebutnya cinta, padahal sering kali
itu hanya mekanisme biologis yang menyala dalam diri,
denyut kimia, tarikan naluri,
respon tubuh terhadap sesuatu yang ia inginkan.
Tidak percaya?
Lihatlah lelaki ketika kekuasaan, uang, dan segala pamor dunia
menghilang dari genggamannya
betapa cepat cinta sebagian wanita meredup,
dari api menjadi asap,
dari dekap menjadi jarak yang enggan disebutkan.
Dan lihat pula wanita ketika kecantikan, kelembutan,
dan pesona yang dulu memikat
mulai pudar oleh waktu,
betapa warna cinta sebagian lelaki ikut memudar,
seakan-akan sayang itu
hanya mengikuti garis wajah dan kencangnya kulit.
Itulah mekanisme biologis.
Tak lebih dari tarian hormon,
cahaya pendek dari reaksi saraf,
yang menyala bila ada yang diinginkan
dan padam bila tak lagi memberi rangsang.
Manusia tumbuh dan hidup sebagai bagian dari mekanisme itu:
dari kecil makan sari-sari bumi,
tubuh menyerap, membentuk daging, menegakkan tulang,
hingga akhirnya rapuh dan kembali merunduk
ke arah tanah yang sama.
Dan ketika mati,
apakah semuanya selesai?
Tidak.
Mekanisme biologis tetap bekerja tanpa peduli air mata:
jasad terurai,
dipecah pelan oleh jamur, tanah, dan waktu,
hingga kembali menjadi debu tempat rumput tumbuh.
Namun di balik seluruh mekanisme itu,
ada satu hal yang tidak dapat diukur,
tidak bisa dipotong,
dan tidak tunduk pada hukum fisika: “aku.”
Aku yang melihat tubuh berubah
tanpa ikut berubah.
Aku yang merasakan hilang
tanpa bisa hilang.
Aku yang berjalan di ruang batin,
yang tidak dapat disentuh oleh kimia,
dan tidak bisa dijelaskan oleh anatomi.
Di balik tubuh yang bekerja,
ada jiwa yang menyimak.
Di balik seluruh mekanisme biologis,
ada mekanisme batin,
sunyi, dalam, dan metafisika.
Tempat cinta yang sejati tak bergantung wajah,
tak bergantung harta,
tak bergantung waktu.
Di sanalah letak manusia yang sebenarnya.
Bukan pada tubuh yang sementara,
tetapi pada “aku”
yang tak pernah bisa dipadamkan oleh kematian.

