Type Here to Get Search Results !

Legenda Batu Busuk: Sungai, Ingatan Kolektif, dan Bencana 28 November 2025

Batu Busuk pascabencana.

Oleh: Duski Samad 

Memberikan bantuan bencana juga perlu cara yang tepat. Pengungsi dan korban setelah lebih dua minggu tempramen, psikologi dan suasana jiwa mereka patut diperhatikan. 

1. Legenda sebagai Arsip Ingatan

Dalam kebudayaan Minangkabau, legenda bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah arsip ingatan kolektif, diwariskan dari lisan ke lisan sebagai cara masyarakat membaca alam, sejarah, dan moral kehidupan. Salah satu legenda yang hidup kuat di tengah masyarakat Kota Padang adalah Legenda Batu Busuk.

Orang-orang tua menuturkan, dahulu kala seorang putri Kayangan turun ke bumi dalam keadaan menderita penyakit kudis. Penyakit itu menjadikannya dijauhi dan terasing. Ia kemudian mandi di sebuah sungai yang jernih, di antara bebatuan sunyi di kaki perbukitan. Setelah mandi, kudis itu hilang dari tubuhnya. Namun, bekasnya tertinggal di sebuah batu. Batu itu dipercaya menjadi busuk, dan sejak itulah kawasan tersebut dikenal dengan nama Batu Busuk.

Legenda ini menyimpan pesan simbolik yang dalam:

bahwa alam menyimpan jejak manusia,

dan bahwa sesuatu yang ditinggalkan—sekecil apa pun—akan terus hidup dalam ingatan ruang.

2. Sungai Jinak dalam Ingatan Sosial

Selama puluhan tahun, Sungai Batu Busuk dikenal sebagai sungai yang bersahabat. Airnya jernih, dingin, dan mengalir tenang. Ia menjadi ruang bermain anak-anak, tempat mandi, mencuci, dan sumber air bersih bagi warga. Sungai bukan ancaman, melainkan bagian dari kehidupan sehari-hari.

Hulu sungai ini berada di kawasan Sarasah, wilayah perbukitan yang menjadi batas alam antara Kabupaten Solok dan Kota Padang. Kawasan ini dahulu dikenal berhutan lebat, berfungsi sebagai daerah resapan air dan penyangga ekologis. Dalam kosmologi lokal, hulu sungai adalah wilayah yang harus dihormati, dijaga, dan tidak dirusak sembarangan.

Ingatan kolektif masyarakat merekam sungai ini sebagai sungai jinak, bukan sungai pemarah.

3. 28 November 2025: Ketika Ingatan Retak

Tanggal 28 November 2025 menjadi garis patahan dalam sejarah Sungai Batu Busuk. Hujan deras berkepanjangan di kawasan hulu membuat sungai kehilangan kendali. Air turun dengan kekuatan yang tak lagi bisa ditahan oleh alam yang telah melemah.

Sungai Batu Busuk mengamuk.

Air bah menghantam permukiman warga dengan kecepatan dan daya rusak tinggi. Dalam hitungan jam, ruang hidup yang selama ini tenang berubah menjadi ladang kehancuran. Data kerusakan mencatat dampak yang berat:

Sekitar 30 rumah hanyut,

±75 rumah rusak berat dan ringan, SMP Negeri 44 Padang terdampak, mengganggu proses pendidikan ratusan pelajar.

Bagi warga, bencana ini bukan hanya kehilangan harta benda, tetapi juga runtuhnya rasa aman yang selama ini dibangun bersama sungai.

4. Membaca Ulang Legenda Batu Busuk

Bencana ini membuat legenda Batu Busuk terasa hidup kembali, bukan sebagai kisah mistik, melainkan sebagai metafora ekologis. Jika dalam legenda yang tertinggal di batu adalah kudis putri Kayangan, maka dalam realitas hari ini yang tertinggal di hulu sungai adalah pembukaan hutan,

kerusakan kawasan resapan, tata ruang yang abai terhadap daya dukung alam, dan keserakahan yang dibungkus atas nama pembangunan.

Legenda menjadi bahasa simbolik untuk mengatakan bahwa alam tidak pernah lupa. Ia menyimpan rekam jejak perlakuan manusia, lalu mengembalikannya dalam bentuk yang paling jujur: bencana.

Dalam perspektif ingatan kolektif, banjir Batu Busuk bukan peristiwa tiba-tiba, melainkan akumulasi panjang dari pengabaian.

5. Sungai sebagai Subjek, Bukan Objek

Tradisi lokal Minangkabau tidak memandang sungai sebagai benda mati. Sungai adalah subjek kehidupan, memiliki “perasaan” dalam bahasa budaya. Ketika sungai meluap, masyarakat tua akan berkata:

alam alah taganggu—alam sedang terganggu keseimbangannya.

Pendekatan ini sejatinya sejalan dengan ilmu ekologi modern: ketika hulu rusak, daya serap hilang, dan aliran dipaksa melewati ruang sempit, maka banjir adalah keniscayaan. Bedanya, kearifan lokal menyampaikannya dalam bahasa simbol dan legenda, sementara ilmu modern menyampaikannya lewat data dan grafik.

Keduanya bertemu pada satu titik: alam tidak pernah berdusta.

6. Penutup: Bencana dan Ingatan yang Harus Dijaga

Legenda Batu Busuk mengajarkan bahwa ingatan tidak hanya hidup di kepala manusia, tetapi juga tertanam di lanskap. Sungai menyimpan cerita, batu menyimpan jejak, dan bencana menjadi cara alam berbicara ketika bahasa halus tak lagi di dengar.

Banjir 28 November 2025 adalah peristiwa ekologis, sosial, dan kultural sekaligus. Ia menuntut bukan hanya perbaikan fisik—normalisasi sungai, relokasi, atau bantuan—tetapi juga pemulihan ingatan kolektif: ingatan untuk kembali menghormati hulu, menjaga alam, dan membaca legenda sebagai peringatan, bukan sekadar cerita.

Jika legenda hanya disimpan sebagai dongeng, ia akan berulang sebagai bencana.

Namun jika dibaca sebagai hikmah, ia bisa menjadi penuntun perubahan.

Belajar dari Batu Busuk berarti belajar dari ingatan sebelum alam kembali mengingatkan kita dengan luka yang lebih dalam. DS. 20122025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.