Type Here to Get Search Results !

Bencana Gugatan Terhadap Ilmu Bebas Nilai

Oleh: Duski Samad

Ketua YIC Syekh Burhanuddin Pariaman

Banjir bandang yang berulang di Sumatera Barat—Padang Pariaman, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Pasaman, hingga Pesisir Selatan—menjadi contoh konkret bagaimana bencana menggugat klaim ilmu yang bebas nilai. Hampir setiap peristiwa banjir besar selalu diiringi narasi resmi yang seragam: curah hujan ekstrem, faktor alam, anomali cuaca. Penjelasan ini secara ilmiah tidak salah, tetapi secara etis tidak cukup.

Ilmu yang Tahu, tetapi Tidak Menghentikan

Data ilmiah tentang Sumatera Barat sesungguhnya sudah lama tersedia. Kawasan hulu sungai berada pada wilayah rawan longsor, lereng curam Bukit Barisan memiliki daya dukung terbatas, dan daerah aliran sungai (DAS) mengalami tekanan berat akibat alih fungsi lahan. Laporan akademik, riset universitas, hingga kajian lingkungan pemerintah telah berulang kali memperingatkan risiko ekologis ini.

Namun, pengetahuan itu tidak menghentikan kerusakan. Konsesi hutan tetap diberikan, perkebunan monokultur meluas, tambang galian C menjamur, dan permukiman berkembang tanpa perencanaan ekologis memadai. Di titik inilah bencana Sumatera Barat menjadi gugatan telanjang terhadap ilmu yang mengklaim netral:

jika ilmu benar-benar bekerja untuk keselamatan publik, mengapa ia gagal mencegah tragedi yang berulang?

Masalahnya bukan ketiadaan ilmu, melainkan ilmu yang dipisahkan dari nilai keberpihakan pada keselamatan rakyat dan keberlanjutan alam.

Ilmu sebagai Alat Legitimasi Kebijakan

Dalam banyak kasus banjir di Sumatera Barat, ilmu justru hadir sebagai alat legitimasi kebijakan. Analisis teknis sering dipakai untuk membenarkan proyek, bukan untuk mengoreksinya. Kajian lingkungan disederhanakan menjadi formalitas administratif. Rekomendasi ahli disaring agar sejalan dengan kepentingan investasi dan pembangunan.

Inilah wajah ilmu bebas nilai dalam praktik:

ilmu tidak lagi menjadi penuntun moral, tetapi instrumen kekuasaan.

Secara sekuler, kritik ini sejalan dengan analisis Jürgen Habermas tentang rasionalitas instrumental, di mana ilmu dipersempit menjadi alat efisiensi, bukan sarana emansipasi. Dalam konteks Sumatera Barat, rasionalitas instrumental itu menjelma dalam kebijakan yang mengorbankan hutan, sungai, dan nagari demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Perspektif Islam: Kerusakan sebagai Konsekuensi Moral

Dalam perspektif Islam, banjir Sumatera Barat tidak bisa dipahami semata sebagai anomali cuaca. Al-Qur’an secara tegas mengaitkan kerusakan ekologis dengan perilaku sosial dan kebijakan manusia: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali.”

(QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini sangat relevan dengan realitas Sumatera Barat. Banjir bandang bukan hanya tragedi alam, tetapi peringatan atas rusaknya relasi antara manusia, kekuasaan, dan ilmu. Ketika ilmu dilepaskan dari nilai amanah dan keadilan, ia kehilangan fungsi profetiknya.

Islam tidak mengenal ilmu yang netral secara moral. Ilmu selalu terkait dengan tanggung jawab menjaga mīzān (keseimbangan). Ketika keseimbangan itu dilanggar—melalui kebijakan yang rakus dan abai—alam menjadi medium teguran.

Gugatan Epistemologis dari Nagari

Yang paling merasakan dampak banjir adalah masyarakat nagari: rumah hanyut, sawah rusak, surau terendam, dan mata pencaharian hilang. Mereka bukan korban kebodohan, tetapi korban ilmu yang tidak berpihak. Di hadapan penderitaan ini, klaim “kami hanya menyediakan data” menjadi tidak bermoral.

Banjir Sumatera Barat mengajukan pertanyaan epistemologis yang tajam:

untuk siapa ilmu bekerja?

siapa yang dilindungi oleh pengetahuan?

dan siapa yang dikorbankan oleh kebijakan berbasis ilmu tanpa nilai?

Penutup: Dari Ilmu Netral ke Ilmu Berpihak

Kasus banjir di Sumatera Barat menegaskan bahwa ilmu bebas nilai adalah mitos berbahaya. Ilmu yang tidak berpihak pada kehidupan akan selalu berpihak pada kekuasaan. Integrasi antara sains modern dan nilai-nilai keislaman—amanah, keadilan, dan kemaslahatan—bukan romantisme normatif, tetapi keharusan praktis untuk mencegah bencana berulang.

Bencana adalah bahasa alam yang paling jujur.

Ia berkata tegas:

ilmu yang kehilangan nurani akan selalu kalah oleh air yang meluap.ds.19122025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.