![]() |
Duski Samad
Dosen UIN Imam Bonjol Padang
Abstrak
Peningkatan aktivitas Monsun Asia, kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) negatif, serta penguatan Gelombang Rossby Ekuatorial telah memicu potensi bencana hidrometeorologi di Sumatera Barat.
Fenomena ini bukan hanya persoalan meteorologi, tetapi juga isu teologis, ekologis, dan kemanusiaan. Artikel ini membahas bencana hidrometeorologi melalui pendekatan teologis berbasis nash, sains atmosfer modern, serta konsep mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat.
Analisis menunjukkan bahwa bencana dalam perspektif Islam dipahami sebagai sunnatullah, ujian, peringatan moral, dan ayat kauniyah yang menuntut manusia mengintegrasikan iman, ilmu, dan tindakan. Sementara itu, fenomena atmosfer ekstrem memperlihatkan keterhubungan antara perubahan iklim, kerusakan ekologis, dan kerentanan sosial.
Artikel ini menekankan pentingnya teologi kebencanaan yang mendorong kesiapsiagaan, mitigasi struktural dan non-struktural, serta pembentukan budaya aman berbasis masjid, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Kata kunci:
teologi monsun, bencana hidrometeorologi, nash, ekologi, Sumatera Barat, mitigasi bencana
1. Pendahuluan
Fenomena cuaca ekstrem yang melanda wilayah Sumatera Barat sejak November 2025 ditandai dengan penguatan Monsun Asia, meningkatnya suplai massa udara lembap, serta terbentuknya awan konvektif intens. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini atas ancaman banjir, longsor, dan cuaca ekstrem di 14 wilayah kabupaten/kota. Kompleksitas situasi ini mengharuskan masyarakat memahami bencana bukan sekadar fenomena meteorologi, tetapi sebagai peristiwa multidimensi yang menyentuh aspek teologis, ekologis, dan sosial.
Dalam tradisi Islam, bencana dipahami melalui tiga kerangka:
1. sunnatullah (hukum alam),
2. ujian (ibtila’), dan
3. peringatan moral (tadzkirah).
Artikel ini memadukan analisis nash dan kajian ilmiah sebagai kerangka berpikir yang saling melengkapi untuk mendorong kesiapsiagaan masyarakat menghadapi potensi bencana hidrometeorologi.
2. Kerangka Teologis Bencana dalam Islam
2.1. Bencana sebagai Sunnatullah
Al-Qur’an menggambarkan alam berjalan berdasarkan hukum yang pasti:
> “Engkau tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullah.” (QS. Al-Fath: 23)
Hujan deras, angin kencang, dan dinamika atmosfer merupakan bentuk keberlakuan sunnatullah. Fenomena monsun tidak terjadi secara acak, melainkan mengikuti sistem hukum alam yang telah ditetapkan Allah. Perspektif ini menegaskan bahwa membaca data BMKG, mempelajari pola meteorologi, dan mempersiapkan diri merupakan bagian dari menjalankan perintah Allah untuk menggunakan akal.
2.2. Bencana sebagai Ujian
Musibah dalam Islam dipahami sebagai ujian keimanan dan kesabaran:
> “Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta…” (QS. Al-Baqarah: 155)
Ujian tidak selalu bermakna negatif; ia menjadi sarana pendewasaan spiritual dan sosial.
2.3. Bencana sebagai Peringatan Moral
Ayat lain menegaskan dimensi introspektif dari bencana:
> “Musibah yang menimpa kalian adalah karena ulah tangan kalian sendiri.” (QS. Asy-Syura: 30)
Ayat ini menjadi dasar teologi ekologi: kerusakan lingkungan—seperti deforestasi, penimbunan sungai, dan alih fungsi hutan—memperkuat dampak bencana hidrometeorologi.
2.4. Bencana sebagai Ayat Kauniyah
Fenomena atmosfer adalah tanda kebesaran Allah:
> “Dia memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan.” (QS. Ar-Ra’d: 12)
Dengan demikian, membaca data meteorologi termasuk membaca ayat kauniyah Tuhan.
3. Perspektif Ilmiah: Dinamika Atmosfer Monsun di Sumatera Barat
3.1. Penguatan Monsun Asia
Monsun membawa massa udara lembap dari Samudra Hindia menuju Sumatera Barat, dipicu oleh perbedaan tekanan udara antara Asia dan Australia. Tahun 2025 terjadi penguatan monsun yang signifikan sehingga meningkatkan curah hujan ekstrem.
3.2. Orographic Lifting di Pegunungan Bukit Barisan
Topografi Sumatera Barat memperkuat potensi awan hujan ketika massa udara dipaksa naik ke lereng pegunungan. Proses ini menghasilkan hujan lebat dengan durasi panjang, memicu banjir bandang dan longsor.
3.3. IOD Negatif dan Gelombang Rossby
IOD negatif meningkatkan suhu muka laut sehingga meningkatkan penguapan. Gelombang Rossby memperkuat awan konvektif. Kombinasi seluruh fenomena ini menghasilkan cuaca ekstrem yang konsisten.
3.4. Kerentanan Ekologis dan Sosial
Selain faktor atmosfer, kerusakan lingkungan di Sumatera Barat memperbesar risiko bencana:
– hilangnya tutupan hutan,
– pembukaan lahan pertanian di dataran tinggi,
– pembangunan di zona merah,
– sedimentasi sungai.
Faktor sosial seperti permukiman padat dan rendahnya literasi kebencanaan memperparah dampak.
4.Analisis Teologis–Ilmiah: Integrasi Iman, Ilmu, dan Tindakan
4.1. Teologi sebagai Dasar Etika Pengelolaan Lingkungan
Sebagai khalifah, manusia diberi amanah menjaga bumi:
> “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)
Ini menegaskan bahwa mitigasi bencana merupakan bagian dari etika religius dan tanggung jawab moral.
4.2. Kewajiban Ikhtiar dalam Menghadapi Bencana. Nabi SAW bersabda:
> “Ikatlah untamu, kemudian bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)
Maknanya:
Mitigasi adalah kewajiban. Tawakkal tanpa kesiapsiagaan adalah kelalaian.
4.3. Teologi Keselamatan dan Solidaritas
Al-Qur’an mendorong masyarakat membantu satu sama lain:
> “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2)
Peringatan monsun adalah momentum membangun solidaritas sosial dan kesiapsiagaan komunitas.
5. Mitigasi dan Kesiapsiagaan:
Integrasi Sains dan Syariat
5.1. Mitigasi Struktural
– Penguatan sistem drainase dan kanal.
– Normalisasi sungai dan pencegahan sedimentasi.
– Reboisasi wilayah rawan longsor.
– Larangan tegas pembangunan di zona rawan.
5.2. Mitigasi Non-Struktural
– Pendidikan kebencanaan berbasis masjid, sekolah, dan surau.
– Simulasi evakuasi bencana.
– Pembentukan relawan nagari tangguh bencana.
– Penguatan literasi data BMKG dan early warning system.
5.3. Kesiapan Rumah Tangga
– Tas siaga (logistik 3 hari).
– Dokumen penting dalam wadah tahan air.
– Sumber informasi resmi (BMKG, BPBD).
– Mengetahui titik evakuasi terdekat.
5.4. Kesiapan Spiritual
– Istighfar dan doa keselamatan.
– Penguatan kesadaran tawakkal.
– Penghindaran sikap panik dan fatalistik.
– Mengolah bencana sebagai momen taubat ekologis.
6. Diskusi:
Arah Baru Teologi Kebencanaan di Indonesia
Fenomena monsun memperlihatkan urgensi teologi kebencanaan yang memiliki ciri:
1. Humanis – melindungi keselamatan jiwa sebagai tujuan syariat (hifz an-nafs).
2. Ekologis – mendorong etika pemeliharaan lingkungan.
3. Ilmiah – menggunakan data sains sebagai instrumen memahami ayat kauniyah.
4. Sosial – memupuk solidaritas, gotong royong, dan budaya tangguh bencana.
5. Transformatif – mendorong kebijakan publik yang adil dan berbasis risiko.
7. Kesimpulan
Teologi Monsun mengajarkan bahwa bencana hidrometeorologi tidak dapat dipahami secara parsial. Islam memandang bencana sebagai bagian dari sunnatullah, ujian hidup, dan peringatan moral, namun harus dicermati melalui perangkat ilmiah, terutama meteorologi dan mitigasi risiko. Integrasi nash, sains, dan mitigasi menjadi landasan untuk membangun masyarakat Sumatera Barat yang tangguh menghadapi ancaman monsun. Dengan demikian, menghadapi bencana bukan sekadar persoalan spiritual, tetapi tindakan strategis dalam merawat bumi, melindungi manusia, dan menjaga keberlanjutan kehidupan. Ds.25112025.

