![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang
Keteladanan dari Ranah Minang
Nama Hajjah Rahmah El Yunusiyah kembali mengisi halaman sejarah bangsa. Dalam Surat Keputusan Sekretaris Militer Presiden Nomor 6 Tahun 2025, beliau resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional—sebuah pengakuan yang telah lama dinantikan oleh masyarakat Sumatera Barat dan dunia pendidikan Islam Indonesia.
Rahmah El Yunusiyah bukan sekadar tokoh perempuan Minangkabau. Ia adalah simbol dari kekuatan ilmu, iman, dan cinta tanah air, yang menjadikan pendidikan sebagai jalan pembebasan dan pemberdayaan.
Karya monumentalnya, Madrasah Diniyah Putri Padang Panjang (1923), menjadi bukti bahwa gagasan besar bisa lahir dari ruang sederhana, dari hati yang berjuang untuk martabat kaumnya.
Perempuan, Pendidikan, dan Kesetaraan
Pada awal abad ke-20, perempuan di banyak daerah Nusantara masih dibatasi ruang geraknya. Namun Rahmah tampil menembus sekat budaya, menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya pelengkap, melainkan penentu arah peradaban.
Diniyah Putri lahir dari keyakinannya bahwa perempuan memiliki hak dan kapasitas yang sama untuk belajar, berpikir, dan memimpin. Dalam pandangannya, “mendidik seorang perempuan berarti mendidik seluruh bangsa.”
Dari perspektif sosiologi pendidikan, Rahmah mempraktikkan pemberdayaan sosial melalui pendidikan (social empowerment). Ia membalik paradigma patriarki dengan mengajarkan nilai keadilan dan kesetaraan berbasis iman, bukan dengan perlawanan keras, melainkan dengan keteladanan.
Ia menghidupkan etos bundo kanduang perempuan yang berilmu dan berperan, tidak hanya di dapur, tetapi juga di gelanggang perjuangan. Dengan lembut, ia memperluas makna perempuan sebagai penjaga moral, pendidik anak bangsa, sekaligus penggerak sosial.
Integrasi Ilmu dan Iman
Salah satu warisan terbesar Rahmah El Yunusiyah adalah model pendidikan integratif. Di madrasahnya, murid diajarkan ilmu agama, ilmu umum, serta keterampilan hidup seperti bertenun, kesehatan, dan kepemimpinan.
Dalam istilah modern, inilah wujud pendidikan holistik mengembangkan kecerdasan spiritual, intelektual, dan sosial sekaligus.
Agama membentuk moral dan karakter.
Ilmu umum membuka wawasan dan daya nalar.
Keterampilan melatih kemandirian dan tanggung jawab sosial.
Pendekatan ini mencerminkan filosofi Minangkabau “alam takambang jadi guru”, di mana pengalaman hidup menjadi sumber ilmu. Secara antropologis, Rahmah berhasil memadukan adat, agama, dan kemodernan dalam satu bingkai: Islam yang mencerahkan dan membebaskan.
Kemandirian dan Nasionalisme
Rahmah bukan hanya pendidik, tetapi juga pejuang bangsa. Dalam masa penjajahan, ia ikut mengorganisir logistik bagi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan menolak bantuan dana dari laki-laki untuk pembangunan sekolah—tindakan simbolik yang menegaskan kemandirian perempuan.
Ia aktif dalam organisasi perempuan Islam dan nasional, memperjuangkan peran perempuan dalam masyarakat dan menolak aturan kolonial yang diskriminatif.
Dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia, Rahmah berdiri sejajar dengan tokoh seperti Kartini, Dewi Sartika, dan Cut Nyak Dien, namun dengan corak keislaman yang kuat dan akar budaya yang dalam.
Dari perspektif antropologi sosial, perjuangannya menunjukkan proses kulturalisasi nilai Islam dalam kehidupan masyarakat lokal. Ia menjadikan pendidikan sebagai instrumen pembentukan identitas, bukan sekadar transfer ilmu. Ia menanamkan kesadaran bahwa menjadi muslimah berarti menjadi pelita bagi kehidupan.
Pendidikan sebagai Revolusi Sosial
Apa yang dilakukan Rahmah jauh melampaui zamannya. Ia telah mempraktikkan prinsip yang baru puluhan tahun kemudian dirumuskan oleh para pemikir pendidikan modern seperti Paulo Freire bahwa pendidikan harus membebaskan manusia dari ketertindasan sosial.
Dalam konteks Indonesia, gagasan Rahmah selaras dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara: “pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”
Pendidikan menurut Rahmah bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi membangkitkan kesadaran diri, kemandirian, dan harga diri bangsa. Ia membuktikan bahwa Islam dan kemajuan bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan satu tarikan napas perjuangan.
Rahmah: Inspirasi Abadi
Kini, seratus tahun setelah berdirinya Diniyah Putri, gagasan Rahmah El Yunusiyah tetap hidup. Lembaga yang ia dirikan terus melahirkan generasi perempuan berilmu dan berakhlak, yang berkiprah di berbagai bidang.
Keteladanan Rahmah adalah pesan universal: bahwa perempuan yang beriman, berilmu, dan berani adalah kekuatan bangsa.
Ia guru sejati yang mengajarkan bahwa pembebasan sejati dimulai dari pendidikan, dan pendidikan sejati lahir dari kasih sayang.
Sebagaimana firman Allah:“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)
Penutup
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Hajjah Rahmah El Yunusiyah bukan sekadar bentuk penghormatan, tetapi juga pengingat sejarah bahwa perjuangan pendidikan perempuan adalah bagian dari perjuangan kemerdekaan bangsa.
Rahmah mengajarkan kepada kita bahwa ilmu adalah cahaya, dan guru adalah lentera bangsa.
Jika perempuan adalah tiang negara, maka Rahmah adalah guru yang menegakkan tiang itu dengan akal dan iman.ds.ciptahotel@ 10112025.

