Type Here to Get Search Results !

Museum dan Misi Peradaban

oleh ReO Fiksiwan

“institusi pengetahuan seperti perpustakaan, universitas, dan museum adalah benteng peradaban, tempat warisan budaya dikumpulkan, dijaga, dan ditransmisikan lintas generasi.“ — Ian F. McNeely(58); Lisa Wolverton(59), Reinventing Knowledge: From Alexandria to the Internet (2008).

Renovasi Museum Provinsi Sulawesi Utara yang kini tengah digarap di bawah kepemimpinan Gubernur Mayjen (Purn.) Yulius Selvanus SE dan pada hari ini, 26 November 2025, mendapat kunjungan langsung dari Menteri Kebudayaan Dr. Fadly Zon.

Tentu saja, khusus masyarakat Sulut, kunjungan perdana Menkebud ini, menjadi momentum reflektif bagi kita untuk menimbang kembali hakikat museum sebagai ruang pengetahuan dan peradaban. 

Terletak di komplek Dinas Kebudayaan Provinsi Sulut, kelurahan Lawangirung(asalkata Jawa: Lawang(pintu); Ireng(Hitam), museum ini belum diberi nama resmi, namun kehadirannya sudah menimbulkan resonansi penting dalam wacana kebudayaan lokal.

Sejarah arkeologi budaya nusantara yang ditulis Jacob Sumardjo(86), Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan(2002) dan catatan sejarah kebudayaan Sulawesi Utara yang diterbitkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pada 1980 memperlihatkan bahwa wilayah ini adalah simpul silang budaya yang kaya. 

Dari jejak arkeologis hingga tradisi lokal, Sulawesi Utara tumbuh sebagai ruang pertemuan antara etnis, agama, dan sistem sosial yang beragam. 

Museum, dalam konteks ini, bukan sekadar bangunan fisik, melainkan wadah yang menampung memori kolektif, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan menyiapkan masa depan yang lebih sadar akan akar budaya.

Namun, pembangunan museum dengan anggaran 14 miliar dari Kementerian Kebudayaan menuntut catatan kritis. 

Fiona Greenland(56), sosiolog serta profesor di University of Virginia dalam Ruling Culture: Art Police, Tomb Robbers, and the Rise of Cultural Power in Italy(2021) mengingatkan bahwa museum sering kali menjadi arena politik budaya, di mana kekuasaan menentukan apa yang layak diingat dan apa yang dilupakan. 

Demikian pula, Joost Coté(78), sejarawan kolonial Indonesia & Loes Westerbeek(56), kini aktif di bidang social sustainability di Australia, dalam Recalling the Indies: Colonial Culture & Postcolonial Identities(2005) memperlihatkan bagaimana kolonialisme meninggalkan jejak panjang dalam cara kita mengingat dan menata warisan budaya. 

Sementara Jennifer Lindsay(69), Cultural Counsellor di Kedutaan Besar Australia di Jakarta (1989–1992) dan Maya H.T. Liem(67), sejarawan dan peneliti budaya Indonesia, dalam Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950–1965 (2011) menekankan bahwa warisan budaya tidak pernah netral, melainkan selalu terkait dengan proyek politik kebangsaan. 

Renovasi museum Sulut, dengan demikian, harus dipahami bukan hanya sebagai proyek fisik, tetapi juga sebagai arena perebutan makna kebudayaan.

Denny Lombard dalam kajian sejarah silang budaya Nusantara menunjukkan bahwa peradaban Indonesia tumbuh dari pertemuan berbagai tradisi, dari India, Cina, Arab, hingga Eropa. 

Sementara, Bhikhu Chhotalal Parekh(90) dalam Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory Rethinking(2017), menekankan bahwa multikulturalisme bukan sekadar toleransi, melainkan proses aktif merawat perbedaan sebagai kekuatan. 

Museum Sulut, jika dikelola dengan visi ini, dapat menjadi ruang dialog antarbudaya, bukan sekadar etalase artefak. 

Lain pula, Tod Jones(55), peneliti kebijakan budaya Indonesia, dalam Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 Hingga Era Reformasi(2015) mengingatkan bahwa kebudayaan sering kali dijadikan instrumen kekuasaan.

Demikian pula, McNeely dan Wolverton dalam Reinventing Knowledge menekankan perlunya membangun institusi pengetahuan yang adaptif terhadap perubahan zaman.

Hakikat museum sebagai warisan pengetahuan budaya dan peradaban Sulawesi Utara terletak pada kemampuannya menjaga, merawat, dan mewariskan nilai-nilai budaya dari tiga aspek utama: artefak, sosiofak, dan mentifak. 

Artefak adalah benda-benda material yang menyimpan jejak sejarah; sosiofak adalah praktik sosial yang membentuk kehidupan bersama; mentifak adalah gagasan, nilai, dan keyakinan yang menjiwai masyarakat. 

Ketiganya harus hadir secara seimbang agar museum tidak menjadi sekadar gudang benda mati, melainkan ruang hidup yang menghidupkan kembali memori kolektif.

Renovasi museum ini, dengan segala kritik dan apresiasi, adalah kesempatan untuk menegaskan kembali bahwa peradaban tidak tumbuh dari kekuasaan semata, melainkan dari keberanian merawat pengetahuan, menghargai perbedaan, dan membuka ruang bagi kebebasan berpikir. 

Museum Sulut, jika mampu mengintegrasikan warisan arkeologis, sejarah kebudayaan, dan tradisi multikultur, akan menjadi simbol bahwa peradaban adalah proses dialog yang terus berlangsung, bukan monumen yang beku.

Lebih jauh, renovasi Museum Sulut yang sedang direnovasi ini pada akhirnya harus dipahami bukan hanya sebagai ruang penyimpanan artefak, melainkan sebagai pusat pendidikan publik yang menyalurkan pengetahuan budaya dan sejarah masyarakatnya. 

Merujuk pada Terry Eagleton(80), ihwal fungsi dan peran ide-ide kebudayaan yang terus berkembang, dalam The Idea of Culture(2005) menekankan bahwa kebudayaan bukan sekadar warisan estetis atau simbolik, tetapi juga sebuah proses pedagogis yang membentuk cara manusia memahami dirinya dan lingkungannya. 

Dengan perspektif ini, museum menjadi ruang belajar yang hidup, di mana masyarakat dapat mengakses sejarah, menafsirkan ulang tradisi, dan menghubungkan pengetahuan lama dengan tantangan baru. 

Fungsi pendidikan publik dari museum terletak pada kemampuannya menjembatani generasi, memperlihatkan bahwa kebudayaan adalah hasil dialog antara masa lalu dan masa kini, serta menumbuhkan kesadaran kritis bahwa peradaban tidak pernah statis. 

Renovasi museum Sulut, jika diarahkan dengan visi ini, akan menjadikannya bukan sekadar monumen kebudayaan, melainkan laboratorium pengetahuan yang menumbuhkan apresiasi, refleksi, dan keberanian berpikir bebas bagi masyarakat Sulawesi Utara dan Indonesia.

#credit foto bangunan hasil kerja dibantu AI.

#coverlagu: Lagu „Jam Pukul Lima“ dirilis dalam format rekaman pop daerah pada era 1980-an, kemudian kembali populer melalui kompilasi digital yang beredar di platform musik sejak 2010-an.

“Jam Pukul Lima” menjadi salah satu lagu ikonik Connie Maria Mamahit(1956-2025) yang sering diputar dalam acara-acara budaya Minahasa.

Lagu ini bukan hanya tentang waktu, tetapi juga simbol ritme kehidupan masyarakat Minahasa yang sederhana, penuh kerja keras, dan dekat dengan alam.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.