![]() |
oleh ReO Fiksiwan
“Omnis cultura ex cultura — Setiap kebudayaan lahir dari kebudayaan sebelumnya.” — Robert H. Lowie(1883-1957), Culture and Ethnology(1917).
Pidato Menteri Kebudayaan RI, Dr. Fadli Zon MSc, pada Malam Bakudapa Gubernur Sulut Mayjen (Purn.) Yulius Selvanus SE bersama budayawan dan seniman, membuka ruang refleksi tentang jalannya kebudayaan mutakhir di alaf ke-21.
Alumni Sastra Rusia UI, S2(MSc.), Development Studies di London School of Economics and Political Science (LSE), Inggris, ini menegaskan bahwa kebudayaan kini tumbuh dalam algoritme Culture Creative Industries(CCI) yang pesat, di mana sains dan teknologi menjadi perangkat utama untuk menghasilkan kebudayaan yang mutakhir, sofistiket, dan superlatif.
Contoh paling nyata dari CCI adalah bagaimana sejarah tragedi tenggelamnya kapal pesiar mewah Titanic—nama yang berasal dari mitologi Yunani tentang raksasa anak—dialihwahana ke medium film oleh James Francis Cameron(71) dengan biaya jutaan dolar, namun meraih keuntungan miliaran dolar.
Belum box office film animasi, Jumbo, singkat: disutradarai oleh Ryan Adriandhy(30). Menelan biaya produksinya sekitar Rp 20 miliar, dan hingga April 2025 film ini meraih box office internasional sekitar USD 54.266 (sekitar Rp 880 juta), sehingga belum menutup biaya produksi.
Transformasi narasi sejarah menjadi produk budaya global menunjukkan betapa CCI mampu mengubah memori kolektif menjadi komoditas kreatif yang mendunia.
Kecepatan dan kecanggihan industri budaya kreatif ini, sebagaimana dicatat Steven Pinker(71), menghadirkan era yang disebutnya sebagai progresfobia, di mana masyarakat sering kali merasa cemas terhadap percepatan perubahan.
Dalam Enlightenment Now(2018), Pinker menekankan bahwa budaya berfungsi sebagai soft power karena seni, humaniora, dan ilmu pengetahuan mampu membentuk opini, memperluas empati, dan menjadi sarana kemajuan moral.
Namun di sisi lain, kebudayaan yang masih berada dalam fase manual—seperti ritual tradisional, pengobatan alternatif, dan aktivitas-aktivitas lokal—tetap dipedomani.
Dr. Fadli Zon(54) menekankan bahwa praktik-praktik tradisional ini justru menjadi kekuatan budaya alternatif, yang dalam kerangka teori disebut sebagai culture as soft power(CASP).
Refleksi atas jalannya kebudayaan mutakhir dapat ditarik dari berbagai referensi klasik agar lebih mencerna produk mau reproduksi seluruh faset dan aset kebudayaan.
Diacu dari Leslie White(1900-1975) dalam The Evolution of Culture(1959) menekankan bahwa kebudayaan tumbuh secara evolutif, mengikuti perkembangan energi dan teknologi.
Ia mengulas: “Budaya berevolusi seiring dengan meningkatnya jumlah energi yang dimanfaatkan per kapita per tahun, atau seiring dengan meningkatnya efisiensi sarana untuk memanfaatkan energi tersebut.”
Sementara, Edward W. Said(1935-2003) dalam Culture and Imperialism (1993) mengingatkan bahwa kebudayaan tidak pernah bebas dari relasi kuasa, melainkan selalu menjadi arena perebutan makna.
Ia menulis: “Budaya tidak pernah hanya tentang kesenangan semata; budaya juga merupakan masalah kekuasaan.” Pun termasuk “culture as soft power” atau “perintah halus.”
Chris Barker(70) melalui kajian cultural studies menyoroti bagaimana budaya populer dan industri kreatif membentuk identitas masyarakat kontemporer.
Dalam Cultural Studies: Theory and Practice (2000; Kreasi Wacana 2004), Barker menekankan bahwa:
“Industri kreatif adalah bagian dari ekonomi budaya yang memproduksi dan mendistribusikan teks, simbol, dan makna, sekaligus mengubah kreativitas menjadi komoditas yang bernilai ekonomi.”
Artinya, CCI tidak hanya soal seni atau hiburan, tetapi juga tentang bagaimana budaya diproduksi, dikonsumsi, dan dipasarkan dalam kerangka kapitalisme global. Namun, kritik terhadap CCI juga perlu dihadirkan.
Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialektika Pencerahan menilai bahwa industri budaya berpotensi mereduksi kebudayaan menjadi sekadar komoditas, kehilangan daya kritisnya.
Demikian pula, Fritjof Capra(87) dalam The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture (1983; 1997) menegaskan perlunya keseimbangan antara sains, teknologi, dan nilai-nilai spiritual agar kebudayaan tidak jatuh dalam krisis makna.
Dalam konteks culture as soft power(CASP), Alvin Toffler(1938-2016), futurolog, melalui Powershift (1991) menunjukkan bahwa kekuatan budaya mampu menggeser peta kekuasaan global.
Soft power budaya(CASP) tidak hanya hadir melalui diplomasi atau ekonomi, tetapi juga melalui narasi budaya yang memengaruhi cara pandang masyarakat dunia.
Akhirnya, kehadiran museum sebagai perawat budaya menjadi relevan dalam progres kebudayaan lokal Sulut yang nyaris tenggelam bahkan bisa punah, setelah hampir empat dekade lebih terpinggirkan.
Tentu, kehadiran museum di Sulut bukan sekadar ruang penyimpanan benda-benda tangible, tetapi juga arena perawatan nilai-nilai intangible yang tumbuh secara evolutif.
Dalam perspektif ini, museum berfungsi sebagai pusat soft power budaya, di antaranya nilai-nilai, ritual, dan aktivitas sehari-hari dalam berbagai interaksi, dapat menjaga, merawat maupun mewarisi kesinambungan antara kebudayaan tradisional dan kebudayaan mutakhir yang lahir dari CCI.
Dengan demikian, jalannya kebudayaan di alaf ke-21 adalah dialektika antara percepatan industri kreatif dan kekuatan tradisi, antara algoritme teknologi dan ritual manual, yang bersama-sama membentuk wajah kebudayaan Indonesia yang progresif sekaligus berakar.
Dan dalam dialektika pemajuan dan pencerahannya di Sulut, itu harus datang dari lokus maupun domain bahkan modus dan habitus Bourdiue-an sebagai wadah ius solis-ius sangiunis, Presiden dan Gubernur Sulut lekat dengan biogen kultur dominan, separuh Minahasa dari pihak matrilineal.
Esa sumerer cita waya. Sitou Timou Tumo Tou. Sangsio Sang Pate-Pate, Somae Kaekehage, Mototompian Mototanoban, Dulo Ito Momongi Lipu, Rondoren Um Banua.
#coverlagu: Lagu “Torang Samua Basudara” karya Ricky Pangkerego dirilis pada 6 Juni 2020. Torang Samua Basudara adalah salah satu lagu pop Manado yang menekankan nilai kebersamaan dan persaudaraan khas Sulawesi Utara.

