Type Here to Get Search Results !

Mengakhiri "Ketololan" Politisi Muslim

Oleh: Duski Samad

Dosen UIN Imam Bonjol

Politik Islam dan kiprah politisi muslim di Indonesia tengah menghadapi paradoks moral yang serius. Ketika demokrasi membuka ruang luas bagi partisipasi umat, justru terjadi degradasi nilai, penyempitan orientasi politik, serta ketergantungan pada pragmatisme yang menghapus ruh perjuangan profetik. Fenomena ini bukan sekadar kelemahan strategi, tetapi sudah menjelma menjadi “ketololan politik”—yakni kebodohan yang nyata, terus dilakukan, dan diwariskan, padahal kerusakannya dapat dilihat jelas.

Ketololan dalam konteks ini adalah ketidakmampuan menghubungkan idealitas Islam dengan praksis politik, sehingga politik Islam kehilangan martabat, dan politisi muslim kehilangan akhlak kepemimpinan.

1. Ketololan Pertama: Potensi Umat Dikelola untuk Politik Praktis, Bukan Pemberdayaan

Akar masalah politik umat Islam adalah pengaburan makna kemaslahatan. Potensi umat—jumlah mayoritas, jaringan masjid, pesantren, lembaga dakwah, dan ormas—selalu dijadikan modal politik untuk meraih suara. Namun setelah kontestasi, umat ditinggalkan, dan yang sejahtera hanyalah politisinya.

Nash dan Analisis

Islam menegaskan politik sebagai amanah untuk melayani, bukan menaiki umat:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menunaikan amanah kepada yang berhak…” (QS. An-Nisa: 58)

Nabi SAW mengingatkan: “Pemimpin adalah pelayan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Sosiologi politik Muslim menunjukkan bahwa komunitas Islam menjadi “pasar elektoral permanen”. Antropologi Islam melihat pola “patron–client” antara elite politik dan jamaah masjid/pesantren: jamaah ditarik sebagai klien politik, bukan mitra perubahan. Akibatnya, politik umat mandek pada mobilisasi massa, bukan transformasi struktural.

2. Ketololan Kedua: Partai Islam Memperdagangkan Nilai Islam, tetapi Gagal Menghidupkan Akhlak

Partai-partai Islam sering memakai simbol, ayat, jargon syariah, dan identitas religius untuk meraih simpati. Namun ketika berkuasa, moralitas Islam absen: korupsi tetap terjadi, nepotisme hidup, dan akhlak siyasah hilang.

Padahal Allah menegaskan:

“Wahai orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan?” (QS. As-Saff: 2–3)

Dan Rasulullah SAW menegaskan:

“Tidak sempurna iman seseorang hingga akhlaknya baik.”

Analisis Politik Islam

Dalam fiqh siyasah, legitimasi politik bukan pada simbol, tetapi pada akhlak (khuluq), amanah, dan keadilan. Politik tanpa akhlak hanyalah kekuasaan kosong.

Antropologi Muslim Indonesia mencatat fenomena “Islam simbolik”: Islam dipakai sebagai identitas, bukan etika. Karena itu banyak partai Islam gagal menjadi role model tata kelola yang berintegritas.

3. Ketololan Ketiga: Politik Uang dan Pragmatisme Menjadi Normal, Termasuk di Kalangan Politisi Muslim

Demokrasi terbuka memperkuat praktik politik transaksional. Ironisnya, sebagian politisi muslim dan petinggi partai Islam ikut dalam permainan ini—bahkan menjadi bagian dari jaringan broker politik.

Padahal Rasulullah SAW tegas bersabda:

“Allah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya.” (HR. Tirmidzi)

Dalam maqashid al-syari’ah, politik uang menghancurkan keadilan, merusak kepemimpinan amanah, dan menghilangkan kemudaratan publik.

Sosiologi Politik

Fenomena ini disebut “normalisasi devian”: hal yang haram menjadi normal karena sering dilakukan.

Umat menyaksikan politisi muslim melakukan praktik yang mereka sendiri ceramahkan sebagai haram. Maka terjadi erosi kepercayaan, dan politik Islam kehilangan otoritas moral.

4. Ketololan Keempat: Masjid, Pesantren, dan Komunitas Umat Dijadikan Target Suara, Bukan Pusat Pembinaan Berkelanjutan

Saat musim pemilu, masjid, majelis taklim, pesantren, rumah gadang, dan komunitas muslim ramai dikunjungi politisi muslim. Mereka merayu dengan bahasa agama, memberi bantuan instan, membangun kedekatan simbolik.

Namun setelah terpilih, tidak ada program pemberdayaan berkelanjutan, tidak ada pembinaan literasi politik umat, dan tidak ada hubungan strategis dengan lembaga pendidikan Islam.

Analisis Teologis dan Sosial

Rasulullah SAW mengajarkan bahwa pemimpin adalah yang mendidik umatnya, bukan menipu umatnya.

Dalam antropologi Islam, masjid adalah “ruang suci sosial”—tempat penguatan karakter, bukan komoditas suara. Ketika politisi muslim hanya datang untuk kampanye, terjadi profanisasi ruang suci.

MENUJU AKHIR DARI “KETOLOLAN” POLITIK ISLAM

Untuk mengakhiri fase gelap ini, diperlukan transformasi dalam tiga tingkat:

1. Reformasi Moral Politisi Muslim

Mengikat kembali politik pada nilai-nilai nubuwwah: amanah, adil, jujur, tidak sombong.

Menghidupkan siasah syar’iyyah: kekuasaan sebagai ibadah, bukan karier.

2. Reposisi Partai Islam

Tidak sekadar mengejar suara, tapi membentuk masyarakat politik yang beradab.

Membuat kebijakan yang melindungi minoritas, fakir miskin, pendidikan Islam, dan kesejahteraan publik.

Menjadi teladan anti korupsi.

3. Pemberdayaan Umat sebagai Subyek Politik

Literasi politik di masjid, pesantren, dan majelis taklim.

Mengembangkan kader umat yang cerdas, kritis, dan visioner.

Mengakhiri patronase dan menggantinya dengan kepemimpinan nilai.

KESIMPULAN PROFETIK

Politik Islam akan kembali menjadi cahaya ketika ia kembali pada prinsip Rasulullah SAW:

“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”

Ketika akhlak menjadi dasar politik, ketololan akan berakhir.

Ketika politik menjadi ibadah, umat akan bangkit.

Ketika pemimpin muslim kembali kepada amanah profetik, demokrasi Indonesia akan menemukan ruhnya. DS.14112025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.