Type Here to Get Search Results !

Gerakan Literasi Berbuah Prestasi: Mengantarkan Gen Alpha Menjadi Finalis Nasional

Oleh : Ririe Aiko 

Sudah lama saya ingin ikut bergerak dalam melestarikan literasi di kalangan generasi muda. Di tengah derasnya arus digitalisasi, membaca buku kini menjadi kegiatan yang semakin jarang dilakukan. Gawai dan media sosial telah menjadi candu baru, menggantikan halaman-halaman buku yang dulu menjadi jendela dunia. Dari kepedulian terhadap literasi dan kecintaan terhadap sastra, saya bertekad untuk mengajak anak-anak muda kembali mencintai kegiatan membaca dan menulis.

Namun, menginisiasi sebuah gerakan bukanlah perkara mudah. Membentuk gerakan berarti siap berjalan tanpa kepastian dukungan, baik secara moral maupun finansial. 

Di tengah langkah awal, saya belajar bahwa idealisme sering kali berhadapan dengan keraguan. Beberapa suara mempertanyakan, apakah seseorang tanpa nama besar dapat benar-benar menggerakkan literasi?

Alih-alih menjadi dorongan, ucapan itu sempat membuat saya ragu. Saya bertanya pada diri sendiri: Apakah untuk memberi cahaya kita harus menjadi matahari? Bukankah lilin pun mampu menerangi, meski cahayanya kecil dan mudah padam?

Saya bukan akademisi Sastra, bukan pula sosok dengan deretan sertifikat atau penghargaan bergengsi di bidang literasi. Saya hanya seorang lulusan manajemen ekonomi yang kebetulan jatuh cinta pada dunia literasi sejak SMP, saya menulis cerpen, menjuarai beberapa lomba kecil, hingga akhirnya menulis skenario yang pernah diangkat menjadi FTV. Beberapa buku yang pernah saya, terbitkan dan kejuaraan yang saya menenangkan memang bukan apa-apa, perjalanan itu saya syukuri sepenuhnya. Sebab bagi saya, sekecil apa pun karya, selama lahir dari cinta pada tulisan, ia tetap bermakna.

Saya tidak mengejar sertifikat atau gelar. Bagi saya, konsistensi dan kemauan untuk terus berkarya jauh lebih penting daripada selembar penghargaan.

Dengan semangat itu, saya memulai Gerakan Literasi Bandung. Langkah pertama saya awali di MTs Al-Lathif Bandung, sekolah Islam dengan kurikulum internasional, tempat saya berbagi pengetahuan tentang literasi bersama anak-anak generasi alpha. Hampir setengah tahun berjalan, langkah demi langkah saya ajarkan mereka menulis bukan dengan teori berat, melainkan dengan pendekatan rasa, menulis sebagai bentuk ekspresi diri.

Saya mulai dengan memperkenalkan sastra yang paling mudah dipahami generasi muda yaitu puisi esai. Dari sana, perlahan mereka belajar mencintai literasi. Mereka mulai menulis, membaca, dan memahami bahwa kata-kata bisa menjadi rumah bagi perasaan yang ingin mereka ekspresikan menjadi karya.

Dan siapa sangka, dari gerakan kecil yang sempat diragukan banyak orang itu, muncul hasil yang membanggakan. Dua karya cerpen dari murid asuh saya berhasil menjadi finalis lomba tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI. Dari ribuan naskah yang masuk, karya mereka masuk dalam 50 besar terbaik di Indonesia.

Saat menerima kabar itu, saya terdiam lama. Ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Gerakan yang dulu dianggap remeh, ternyata mampu menyalakan cahaya kecil di hati anak-anak muda. Saya menyadari, untuk mengubah sesuatu, kita memang tidak selalu harus menjadi matahari. Cukup menjadi lilin yang tak lelah menyala. Walau kecil dan walau tak terlihat, asal cahayanya sampai ke hati yang membutuhkan.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.