![]() |
oleh ReO Fiksiwan
“Apa yang Anda alami sepanjang waktu adalah denyut perasaan yang berfluktuasi sebagai respons terhadap pergerakan Anda di dunia, saat Anda memeriksa apakah semuanya sesuai dengan harapan Anda – dan saat Anda mencoba menutup celah tersebut, entah bagaimana caranya, padahal kenyataannya tidak demikian.” — Mark Solms(64), The Hidden Spring: A Journey to the Source of Consciousness(2021).
Politik neurokultur adalah cermin retak dari kebudayaan mutakhir yang tak hanya menggambarkan krisis identitas manusia, tetapi juga memperlihatkan keterjeratan mendalam antara kesadaran, kekuasaan, dan kehancuran ekologis.
Dalam laju pertumbuhan kebudayaan kontemporer, politik neurokultur muncul sebagai medan tarik-menarik antara teknologi, psikoanalisis, dan krisis ekologis yang tak kunjung reda.
Mark Solms, profesor neuropsikologi di University of Cape Town, melalui The Hidden Spring: A Journey to the Source of Consciousness, mengusulkan bahwa kesadaran bukanlah produk rasionalitas semata, melainkan hasil evolusi biologis yang telah berlangsung sejak 28.000 tahun silam.
Otak, sebagai substrat neurobiologis dari “mind”, bukan sekadar mesin berpikir, melainkan medan afektif yang mengatur dorongan, rasa takut, dan harapan.
Dalam konteks ini, revolusi kognitif yang disebut Harari bukanlah titik awal, melainkan titik balik dari kesadaran yang telah lama bermukim dalam tatanan kosmis.
Namun, kesadaran manusia modern justru terjebak dalam paradoks: semakin sadar, semakin teralienasi.
Solms mengusulkan bahwa kesadaran bukanlah produk rasionalitas semata, melainkan berakar pada emosi dan afek yang bersumber dari sistem otak primitif.
Politik kebudayaan hari ini tidak lagi berangkat dari nilai-nilai kolektif, melainkan dari performativitas individu dalam ruang-ruang privatsfer yang dipenuhi oleh flexing, eksibisionisme, dan krisis identitas.
Fenomena kriminalisasi di institusi publik, gangguan mental para pejabat, hingga utang kereta cepat Whoosh bukan sekadar anomali sosial, melainkan manifestasi dari keretakan neurokultural yang dalam.
Di sinilah Todd Dufresne(59), Ketua Departemen Filsafat serta Direktur The Advanced Institute for Globalization and Culture di Lakehead University, dalam Killing Freud: Twentieth Century Culture and the Death of Psychoanalysis(2003; Kanisius 2010), mengingatkan bahwa psikoanalisis telah mati bukan karena usang, tetapi karena digantikan oleh algoritma dan kalkulasi yang menyingkirkan afek dan trauma sebagai pusat kebudayaan.
Krisis ekologi global tidak bisa dilepaskan dari krisis kesadaran ini. Seperti yang ditegaskan oleh WALHI dan Institut Hijau Indonesia, kerusakan lingkungan bukan sekadar akibat overpopulasi, melainkan hasil dari distribusi kuasa yang timpang dan sistem ekonomi-politik yang gagal mengurus alam.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam laporan Environmental Outlook 2025 menyampaikan bahwa kondisi lingkungan hidup Indonesia saat ini “tidak sedang baik-baik saja.”
Beberapa indikator utama yang menunjukkan tingkat kerusakan antara lain:
1/Lonjakan deforestasi hingga 600.000 hektar sepanjang tahun 2025, terutama akibat proyek-proyek seperti food estate dan ekspansi industri ekstraktif.
2/Pencemaran akibat pertambangan dan industri, yang memperparah kualitas air dan tanah di berbagai wilayah.
3/Konflik agraria dan kriminalisasi warga, sebagai dampak dari kebijakan pembangunan yang mengabaikan hak atas lingkungan hidup yang sehat.
4/Bencana ekologis yang semakin sering terjadi, seperti banjir, kekeringan, dan badai, yang menunjukkan ketidakseimbangan sistem alam akibat eksploitasi berlebihan.
WALHI juga menyoroti bahwa arah pembangunan nasional yang ambisius telah mengorbankan hak rakyat atas lingkungan hidup.
Peraturan seperti Perpres No. 109/2020 tentang Proyek Strategis Nasional dinilai mempercepat kerusakan ekologis karena memprioritaskan investasi tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan
Ketika kesadaran manusia direduksi menjadi kalkulasi konsumsi dan performa, maka bumi pun kehilangan tempatnya sebagai entitas hidup.
Politik neurokultur, dalam hal ini, bukan hanya soal bagaimana otak bekerja, tetapi bagaimana kebudayaan mengatur cara kita merasa, berpikir, dan bertindak terhadap dunia. Lebenswelt, kata Husserl.
Dalam refleksi ini, kita melihat bahwa masa depan bukanlah soal teknologi atau kemajuan, melainkan soal bagaimana kita mengembalikan kesadaran sebagai ruang etis dan ekologis.
Serabut saraf di cortex bukan hanya memproyeksikan masa depan, tetapi juga menyimpan trauma masa lalu yang belum selesai.
Politik neurokultur adalah panggilan untuk menyelami kembali kedalaman jiwa, bukan untuk menguasai, tetapi untuk merawat dunia yang sedang sekarat.
#covermusic: Berasal dari buku The Limits to Growth - Toad — dirilis pada tahun 1972 oleh tim peneliti MIT untuk Club of Rome.
Istilah “Toad” secara harfiah berarti katak, tetapi maknanya bisa beragam tergantung konteks—dari simbol dalam budaya hingga karakter dalam video game.
Ditulis oleh Donella Meadows, Dennis Meadows, Jørgen Randers, dan William Behrens III. dan merupakan hasil simulasi komputer World3 yang memproyeksikan dampak pertumbuhan ekonomi dan populasi terhadap sumber daya alam yang terbatas.

