![]() |
Oleh: Duski Samad
Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat
Kedamaian dan kerukunan umat beragama merupakan prasyarat utama stabilitas sosial, keamanan, dan pembangunan nasional. Dua provinsi dengan keragaman lanskap sosiologis—Bangka Belitung (Babel) dan Sumatera Barat (Sumbar)—menjadi contoh menarik bagaimana harmoni sosial dapat bertumbuh dari fondasi budaya dan kebijakan publik yang berbeda.
Pada 14 November 2025, FKUB Babel melakukan kunjungan kerja ke FKUB Sumbar. Pertemuan ini membuka ruang refleksi, pembelajaran, dan benchmarking dua model kerukunan yang sama-sama produktif namun memiliki karakteristik tersendiri.
1.Fondasi Kerukunan: Babel dan Sumbar
1.1. Bangka Belitung: Rukun dalam Kemajemukan
Babel dikenal memiliki keragaman demografis tinggi: Islam, Buddha, Konghucu, Kristen, Katolik, dan Hindu hidup dalam struktur sosial yang relatif setara. Karakter masyarakat pesisir dan tradisi dagang melahirkan budaya keterbukaan.
Ciri utama kerukunan Babel:
1. Pengelolaan hubungan lintas agama bersifat institusional.
Pemerintah melibatkan semua pemuka agama dalam proses kebijakan strategis.
2. Komunikasi lintas iman berjalan intensif dan reguler.
3. Kerja sama antar-etnis (Melayu, Tionghoa, dan pendatang) sudah menjadi norma sosial.
4. Kebijakan inklusif Pemprov Babel, ditandai dengan dibangunnya Sekolah Tinggi Konghucu Negeri pada 2025—hasil diskusi panjang dengan stakeholder lintas agama melalui mekanisme FKUB.
Babel menjadi representasi pluralisme yang dikelola melalui dialog dan kebijakan publik.
1.2. Sumatera Barat: Harmoni yang Tertanam dalam Budaya
Sumbar memiliki lanskap keagamaan yang relatif homogen (mayoritas Muslim), tetapi sejak lama dikenal sebagai etnis yang kosmopolit, perantau, moderat, dan terbuka pada interaksi global.
Fondasi kerukunan Sumbar bersumber dari:
Falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)
Sejarah perantauan Minangkabau sebagai modal sosial global
Pelapisan struktur sosial egaliter (surau, nagari, kaum)
Sumbar tampak homogen secara agama, tetapi plural secara:
ekonomi, politik, budaya, arus migrasi perantau, jaringan relasi global
Hal ini melahirkan moderasi kultural khas Minangkabau: santun, terbuka, dialogis, dan menghindari konflik.
2. Stigma Intoleransi Sumbar: Kesalahan Metodologis dan Bias Perangkat Ukur
Dalam beberapa survei nasional, Sumbar kerap mendapatkan stigma “kurang toleran”. Padahal realitas sosial menunjukkan sebaliknya. Penelitian kritis menyimpulkan:
2.1. Masalah Metodologi Penelitian
Survei kerap menggunakan indikator normatif, bukan data empirik lapangan.
Instrumen pengukuran kurang sensitif terhadap budaya lokal—terutama masyarakat yang religius dan menjunjung simbol keagamaan.
Sampling masyarakat kota disamaratakan dengan masyarakat nagari.
Kadang terdapat bias persepsi terhadap identitas religius yang kuat = intoleransi, padahal tidak terbukti.
2.2. Adanya Misi Orientalistik Baru
Analisis sosiologi agama menunjukkan adanya kecenderungan:
menjadikan masyarakat Muslim yang religius sebagai “objek problematik”,
mengabaikan bukti kerukunan faktual dalam kehidupan sehari-hari.
Indeks toleransi yang tidak berbasis realita sosial menjadi instrumen pembentukan persepsi, bukan data ilmiah.
3. Bukti Sosiologis Kerukunan Sumbar: Perantauan dan Rumah Makan Minang
Perantau Minang di seluruh dunia adalah fenomena kerukunan global.
Sosiolog menyebutnya sebagai “diaspora harmonis” karena:
Mereka diterima luas di negara lain,
Mendirikan rumah makan Minang dalam skala massal,
Berinteraksi dengan komunitas global secara damai,
Tidak membawa konflik identitas.
Rumah makan Minang menjadi:
laboratorium sosial harmoni,
pusat ekonomi multikultur,
ruang interaksi lintas agama dan ras.
Fenomena ini membantah stigma intoleran dan menunjukkan bahwa kerukunan adalah DNA kultural Minangkabau.
4. Tantangan Kerukunan Sumbar: Hoaks, Medsos, dan Minimnya Kebijakan Publik
4.1. Polusi Digital
Provokasi, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial menjadi variabel utama memicu gesekan.
Fenomena ini menegaskan bahwa persoalan kerukunan bukan pada masyarakat, tetapi pada: ekosistem digital yang tidak terkendali,
ketidaksiapan literasi digital,
manipulasi politik identitas.
4.2. Minimnya Dukungan Pemerintah Daerah
Dibandingkan Babel, Sumbar menghadapi kendala struktural:
Anggaran FKUB terbatas, tidak proporsional dengan tugas strategis.
FKUB tidak selalu dilibatkan dalam penyusunan kebijakan kerukunan.
Koordinasi dengan Pemda kadang bersifat “pemadam kebakaran”, bukan pencegahan.
Tantangan pendirian rumah ibadah sering tidak dikawal sejak awal oleh Pemda.
Padahal UU No. 23/2014, PBM 9 dan 8/2006, dan UU No. 17/2022 tentang Provinsi Sumatera Barat mengamanatkan perlindungan hak tradisional dan harmoni sosial.
5. Benchmarking Babel – Sumbar: Pilar Kerukunan yang Efektif
5.1. Praktik Baik (Best Practices) Bangka Belitung
1. Pelibatan aktif lintas agama dalam kebijakan strategis.
2. Komunikasi intensif Pemprov – FKUB – tokoh agama.
3. Pendidikan multikultural di sekolah-sekolah
4. Kebijakan afirmatif: Sekolah Tinggi Konghucu Negeri.
5. APBD responsif terhadap kebutuhan kerukunan.
5. 2. Praktik Baik (Best Practices) Sumatera Barat
1. Moderasi kultural ABS-SBK sebagai modal harmoni.
2.Jaringan diaspora Minang sebagai bukti kerukunan global.
3. Struktur nagari dan surau yang mendorong dialog lokal.
4. Minangkabau kosmopolit: adat melindungi minoritas (minoritas tahu diri – mayoritas melindungi).
5. Sengketa rumah ibadah minim jika dibandingkan provinsi lain.
6. Pilar-Pilar Kerukunan yang Direkomendasikan
1. Penguatan Regulasi dan Kelembagaan
Optimalisasi PBM 9 & 8/2006.
Mendorong daerah membuat Perda Harmoni Sosial dan Kerukunan Umat Beragama.
Memperkuat FKUB sebagai mitra strategis Pemda.
2. Literasi Digital
Program anti-hoaks berbasis surau, sekolah, kampus, dan komunitas adat.
Pelatihan “Moderasi Digital” bagi generasi muda.
3. Kebijakan Inklusif Pemerintah
Melibatkan perwakilan agama dalam perencanaan pembangunan.
Menyediakan anggaran memadai untuk FKUB.
4. Edukasi Multikultural Berbasis Budaya Lokal.
Mengintegrasikan nilai ABS-SBK dan kearifan Babel dalam kurikulum lokal.
Menghidupkan forum-dialog lintas iman secara reguler.
5. Pemodelan Kerukunan Berbasis Komunitas. Surau cerdas (smart surau) sebagai pusat literasi kerukunan. Rumah ibadah lintas agama sebagai ruang dialog non-politis.
7. Penutup
Benchmarking Babel dan Sumbar menunjukkan bahwa kerukunan bukan kebetulan, melainkan hasil dari:
fondasi budaya,
kebijakan publik yang inklusif,
relasi sosial historis yang damai, dan kualitas kepemimpinan lintas agama.
Bangka Belitung memberi contoh penguatan kelembagaan, sementara Sumatera Barat memberi teladan kerukunan kultural yang mengakar.
Dua model ini saling melengkapi dan dapat menjadi referensi nasional dalam merawat toleransi, moderasi, dan harmoni Indonesia.ds.14112025.

