![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol
Tulisan ketiga tentang Mauluik Badikie ini hadir sebagai bentuk penjelasan ( tabayyun) terhadap pertanyaan langsung dan tertutup (tidak terkatakan) banyak kalangan tentang ide kreatif Bupati Padang Pariaman JKA-Rahmat mengangkat acara MAULUIK GADANG.
Mauluik yang sudah tumbuh dan mentradisi pada Masjid dan Surau di Korong dan Nagari selama 4 (empat) bulan dilingkungan kaum modernis dan lebih lagi milinial dipahami saatnya makan bajamba. Bahkan ada yang bersuara miring dan membully yang tak produktif.
Realitasnya kuat dan kerasnya suara negatif terhadap Mauluik, sejak diperkenalkan Syekh Muhammad Hatta (Wafat 1921) Kapalo Koto Pauhkamba justru Mauluik tetap eksis, tak surut dan seringkali lebih meriah.
RELIGIO-KULTURAL MAULUIK
Tradisi Maulud Badikie merupakan fenomena religio-kultural yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, khususnya di Padang Pariaman. Ia tidak sekadar perayaan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, tetapi juga media dakwah, solidaritas sosial, dan penguatan identitas keislaman lokal. Tradisi ini menunjukkan bagaimana Islam berakulturasi secara damai dengan budaya Minangkabau tanpa kehilangan substansinya.
Dalam istilah lokal, Mauluik adalah perayaan yang penuh dengan barakah, yang diisi dengan pembacaan Syarafal Anam, badikie, berdoa bersama, makan bajamba, badoncek, serta berbagai bentuk sedekah seperti bungo lado. Semua aktivitas ini tidak hanya religius, tetapi juga sosial dan kultural — menjadi wadah untuk meneguhkan prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Konteks Historis
Tradisi Maulud Badikie berakar dari gerakan dakwah tarekat Syathariyah yang disebarkan oleh Syekh Burhanuddin Ulakan (1646–1704 M), ulama Minangkabau yang belajar ke Aceh dan membawa pulang semangat Islam sufistik yang moderat. Dalam konteks dakwahnya, Syekh Burhanuddin menempuh pendekatan kultural — mengislamkan adat tanpa menghapus tradisi lokal, tetapi menyuntikinya dengan nilai-nilai tauhid dan akhlak Rasulullah ﷺ.
Ulama generasi setelahnya seperti Syekh Kapalo Koto Pauh Kambar, Muhammad Hatta (w. 1921 M), kemudian melanjutkan tradisi Maulud Badikie sebagai bentuk perayaan maulid bergaya lokal, yang diisi dengan irama taranum bersahutan dalam pembacaan Syarafal Anam, pembuatan lamang dan jamba, serta sedekah sosial melalui badoncek.
Sejarawan Azyumardi Azra (2004) menegaskan bahwa Islam di Nusantara tumbuh dalam dialektika kreatif antara syariat dan budaya lokal, membentuk "Islam Nusantara" atau Indigenized Islam yang khas. Di Minangkabau, proses itu dikenal sebagai Islamisasi adat yang menghasilkan formula “ABS-SBK” (Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, 2004).
Dakwah Kultural dan Solidaritas Sosial
Dari perspektif sosiologi agama, Maulud Badikie adalah manifestasi dakwah kultural, di mana pesan-pesan Islam disampaikan melalui simbol dan tradisi lokal. Menurut Clifford Geertz (1973), agama tidak dapat dilepaskan dari simbol-simbol budaya yang memberi makna pada kehidupan masyarakat. Pembacaan Syarafal Anam dalam irama taranum bukan hanya ekspresi cinta pada Rasul, tetapi juga ritual kolektif yang memperkuat kohesi sosial dan identitas keumatan.
Selain itu, tradisi jamba, bungo lado, dan badoncek menjadi mekanisme sosial untuk redistribusi ekonomi dan solidaritas umat. Mereka yang memiliki kelebihan harta memberi sedekah kepada masyarakat melalui bentuk makanan dan dana masjid.
Dalam pandangan Émile Durkheim (1912), praktik-praktik kolektif seperti ini memperkuat solidaritas mekanik, yakni rasa kebersamaan dan kesetaraan dalam komunitas yang diikat oleh nilai dan kepercayaan bersama.
Makan bajamba di penghujung acara juga memiliki makna simbolis, meniadakan sekat sosial antara kaya-miskin, ulama-umara, dan rakyat biasa. Semua duduk sama rendah, berdiri sama tinggi — selaras dengan prinsip Islam bahwa kemuliaan seseorang diukur bukan oleh harta atau status, tetapi oleh takwa dan akhlaknya (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Makna Dakwah dan Strategi Kebudayaan
Tradisi Maulud Badikie membuktikan bahwa dakwah tidak harus konfrontatif terhadap budaya, tetapi bisa mengakomodasi nilai-nilai lokal tanpa mengorbankan akidah. Islam hadir bukan untuk meniadakan adat, tetapi menyucikan dan menuntunnya agar selaras dengan ajaran wahyu. Inilah inti dari falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Syekh Daud al-Fatani dalam Munir al-Thullab, bahwa dakwah yang efektif adalah yang mampu menyesuaikan diri dengan 'urf (kebiasaan) masyarakat selama tidak bertentangan dengan syariat. Begitu pula Buya Hamka (1982) menulis bahwa Islam di Minangkabau tidak mematikan adat, tetapi memberinya jiwa tauhid (Hamka, Islam dan Adat Minangkabau).
Maulud Badikie adalah arena pendidikan moral dan sosial yang memperkuat spiritualitas dan solidaritas komunitas. Nilai-nilai seperti ukhuwah, ta’awun (tolong-menolong), dan syukur diajarkan tidak hanya lewat ceramah, tetapi melalui pengalaman kultural yang hidup dan menyentuh rasa.
KESIMPULAN
Maulud Badikie merupakan strategi dakwah kultural yang berakar dalam sejarah Islam Minangkabau. Ia bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan instrumen pembentukan moral, solidaritas, dan identitas umat. Tradisi ini membuktikan bahwa Islam di Minangkabau hadir secara kreatif — menyatu dengan adat tanpa kehilangan ruh syariat, menjadi kekuatan kultural yang memelihara marwah keislaman, kebersamaan sosial, dan ketahanan budaya lokal.
Memahami Maulud Badikie secara historis dan sosiologis, dapat dilihat bahwa kebangkitan Islam di Minangkabau selalu berakar pada budaya, adat, dan solidaritas sosial — sebagaimana yang diwariskan oleh Syekh Burhanuddin dan para tuanku pewaris ilmunya.ds. 14102025.
Daftar Referensi
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana, 2004.
Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, 1973.
Durkheim, Émile. The Elementary Forms of the Religious Life. London: Allen & Unwin, 1912.
Daud al-Fatani. Munir al-Thullab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah. Mekah: al-Matba‘ah al-Miriyyah, 1883.
Naim, Mochtar. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1979.
Syafri, Edi. Islam dan Budaya Lokal Minangkabau. Padang: IAIN IB Press, 2020.

