![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol
Inisiatif Bupati Padang Pariaman JKA-Rahmat mensponsori tradisi Maulid, Maulud dan orang Piaman menyebutnya Mauluik adalah ide kreatif untuk mengingatkan kesadaran kolektif masyarakat Padang Pariaman bahwa tradisi tetap perlu dilestarikan bersamaan itu diberi makna subtantifnya.
Peringatan Maulid Nabi ï·º bukan sekadar seremonial tahunan, tetapi momentum spiritual untuk menghidupkan kembali marwah kemuliaan umat di tengah krisis akhlak yang melanda. Dalam suasana sosial yang diwarnai hedonisme, kekerasan, dan lemahnya rasa malu, Maulid menjadi ruang refleksi untuk meneladani akhlak Rasulullah — sosok yang Allah utus sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Maulid mengajarkan bahwa kemuliaan bukan diukur dari pangkat dan harta, melainkan dari akhlak dan kasih sayang.
Menghidupkan tradisi Syarafal Anam, badikie, dan makan bajamba, umat diingatkan akan pentingnya ukhuwah, kasih sayang, dan kesantunan sosial.
Di tengah krisis moral, Maulid adalah panggilan untuk kembali kepada nurani, memperbaiki diri, dan menegakkan kembali martabat kemanusiaan yang berakar pada cinta Rasul dan nilai Ilahi. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
KEBANGKITAN MORAL
Peringatan Maulid Nabi Muhammad ï·º bukan sekadar seremonial tahunan yang diisi dengan syair dan jamuan, tetapi momentum strategis untuk menjaga marwah umat Islam—kehormatan, akhlak, dan jati dirinya di tengah arus krisis moral zaman modern.
Tradisi Maulid Badikie dan pembacaan Syarafal Anam yang hidup di Padang Pariaman dan surau-surau pengikut Tarekat Syathariyah, merupakan ekspresi cinta umat kepada Rasulullah ï·º. Dalam lantunan marhaban dan taranum, tersimpan nilai spiritual yang meneguhkan tauhid, membangkitkan rindu kepada Rasul, serta memperkuat ikatan sosial masyarakat.
Esensi maulid tidak boleh berhenti pada upacara badikia, makan bajamba, lamang dan kegembiraan belaka. Ia mesti menjadi gerakan kebangkitan moral umat. Di tengah derasnya hedonisme dan krisis keteladanan, Maulid harus menjadi ruang untuk meneladani kepemimpinan Rasulullah: shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Nabi menjadi model kesempurnaan karakter—pemimpin yang lembut hatinya, tegas dalam prinsip, dan peduli terhadap keadilan sosial.
Maulid untuk marwah umat berarti menghidupkan kembali ruh kenabian dalam kehidupan sosial—menjadikan masjid, surau, dan keluarga sebagai tempat menanam akhlak mulia; menjadikan cinta Rasul sebagai energi peradaban; dan menjadikan dakwah sebagai jalan pemulihan kemanusiaan.
Dalam konteks Sumatera Barat yang berfalsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Maulid bukan hanya perayaan, tetapi juga manifestasi dari kesadaran kultural dan spiritual bahwa kemuliaan bangsa terletak pada kemuliaan akhlaknya. Maka, menjaga marwah umat berarti menjaga warisan Rasul: iman, ilmu, dan amal saleh yang menuntun manusia menuju rahmat semesta alam.
KRISIS ADAB DAN ADAT
Padang Pariaman dikenal sebagai daerah yang sarat nilai-nilai luhur adat dan syarak. Dari sinilah Syekh Burhanuddin Ulakan memancarkan cahaya tafaquh fiddin yang menata kehidupan masyarakat berdasarkan falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.” Namun, dalam beberapa dekade terakhir, denyut nilai itu kian melemah. Tradisi luhur mulai kehilangan makna karena diterpa gelombang modernisasi yang tanpa kendali nilai.
Krisis adab tampak nyata dalam kehidupan sosial. Generasi muda semakin jauh dari surau, tutur sapa kehilangan sopan santun, dan rasa hormat kepada guru, orang tua, serta pemimpin semakin memudar. Media sosial mempercepat arus budaya instan—membentuk pola pikir cepat viral namun miskin moral.
Akibatnya, tatanan sosial yang dulu berakar pada rasa malu, santun, dan hormat kini digantikan oleh budaya saling menjatuhkan dan mencari sensasi.
Di sisi lain, krisis adat juga melanda. Lembaga-lembaga adat kehilangan wibawa, penghulu kehilangan pengaruh moral, dan fungsi surau sebagai pusat pendidikan akhlak serta pembinaan generasi kian terpinggirkan. Padahal, adat di Padang Pariaman bukan sekadar simbol upacara, tetapi sistem sosial yang menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara manusia dengan Allah, sesama, dan alam.
Krisis adab dan adat ini sejatinya adalah krisis jiwa kolektif. Bila adab hancur, adat pun kehilangan ruh. Maka, pemulihan harus dimulai dari pendidikan dan dakwah—menghidupkan kembali fungsi surau, memperkuat peran ulama dan ninik mamak, serta menanamkan kembali prinsip “alam takambang jadi guru.”
Padang Pariaman memerlukan gerakan kebangkitan baru: “Gerakan Basamo Mambangkik Batang Tarandam”—gerakan moral, sosial, dan budaya untuk menegakkan kembali marwah masyarakat yang beradat dan beradab. Inilah saatnya adat dan syarak kembali bersatu menata manusia, agar krisis tidak meluas menjadi kehilangan arah.
Membangkik Batang Tarandam menegakkan marwah, menguatkan akhlak, adab dan adat ini adalah tugas semua pihak.
BASAMO MAMBANGUN NAGARI
Bupati JKA - Rahmat beberapa bulan saja memegang amanah mengundang cendikiawan (Professor dan akademisi) berdiskusi menemukan solusi krisis adab dan adat ini.
Kesimpulan diskusi itu merumuskan ada 4 (empat) krisis masyarakat saat ini. 1. Krisis adab (akhlak dan moral) yang ditandai massifnya kejahatan dan kebejatan. 2. Pemahaman dan Pengamalan Islam lemah, faktanya masjid dan surau sepi kegiatan. 3. Pergeseran adat dan budaya luhur ke arah transaksional, orgen maksiat dalam baralek, "uang hilang" melampaui kepatutan dan 4. Integritas pemimpin, tokoh adat dan tokoh masyarakat sulit menemukannya.
Kerisauan di atas sudah pula disampaikan kepada semua pihak melalui diskusi publik. Hasilnya diyakini pasti tidak akan cepat. Dukungan, keterlibatan dan kemauan penentu kebijakan pada semua level adalah keniscayaan yang mestinya tak boleh diperdebatkan lagi, ayo tindak lanjuti.
Melalui kegiatan Mauluik Gadang ini tersentaklah hendaknya hati "pamaciak buek" untuk meneladani akhlak Rasul. Pasti tidak ada artinya kemajuan fisik, ketika jiwa, akhlak, adat dan moral runtuh.
Bahaya Runtuhnya Adab dan Adat:
1. Surau sepi tiada jamaah,
Anak nagari jarang bersantun;
Adab runtuh, adat pun parah,
Rusaklah marwah di tengah kampung.
2. Gunung Tandikek diselimuti kabut,Batang Ulakan beriak di muara;
Kalau adab sudah tak terbentuk,
Adat hanyut tak berharga lagi di mata dunia.
3. Dari Pauhkamba sampai Sikumbang,
Lurah mengering, sawah terbakar;
Adat hilang, adab pun hilang,
Budi terbuang, hidup pun bubar.
4. Bajalan ka pasa baramu-ramu,
Disambuang lidah tanpa malu;
Kalau lidah tajam tak tahu malu,
Tanda adab sudah berpecah di kalbu.
5. Tegak rumah di tanah pusako,
Tiangnya goyah dimakan rayap;
Begitu pula hidup nan luko,
Bila adat dan adab tak lagi dipegang rapat.
6. Tali budi umpamo benang,
Putuih sakali sukar disambuang;
Kalau adab sudah tak dipandang,
Negeri berpecah, hati pun goncang.
7. Bajalan ka surau indak manyambah,
Bertemu guru indak manyapa;
Bila hilang adab nan indah,
Musnah pusaka ninik jo mamak kita.
8. Aie Batang Anai mulai surut,
Kabut turun di subuh pagi;
Kalau adat jo adab diruntuh,
Siapo nan manjadi penopang negeri?
PENUTUP
Mauluik Gadang di Padang Pariaman tahun ini bukan sekadar pesta keagamaan, tetapi momentum kebangkitan moral dan adat. Inisiatif Bupati JKA-Rahmat menjadikannya gerakan budaya bernilai spiritual adalah langkah strategis mengembalikan marwah masyarakat yang mulai luntur oleh arus modernitas.
Tradisi Syarafal Anam, badikie, malamang, dan makan bajamba adalah simbol kebersamaan, kasih sayang, dan kesantunan sosial yang perlu disinari kembali dengan nilai-nilai akhlak Rasulullah ï·º. Dalam suasana krisis moral yang ditandai hilangnya rasa malu, lemahnya kepedulian, serta merebaknya gaya hidup hedonistik, Maulid menjadi cermin untuk memperbaiki nurani umat.
Krisis adab dan adat di Padang Pariaman bukan sekadar persoalan budaya, melainkan krisis jiwa kolektif. Adab runtuh karena kehilangan teladan, adat pudar karena melemahnya lembaga moral masyarakat. Maka, Maulid ini menjadi seruan agar surau, masjid, dan rumah tangga kembali menjadi pusat pembentukan akhlak, tempat berseminya nilai syarak dan adat yang berpadu.
Gerakan “Basamo Mambangkik Batang Tarandam” adalah panggilan moral bersama. Ia mengajak ulama, cendekia, ninik mamak, dan pemerintah untuk bahu membahu memulihkan marwah nagari, menegakkan kembali akhlak, dan menghidupkan adat bersendi syarak. Sebab, sebagaimana sabda Nabi ï·º:
>“Innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq” Sesungguh nya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR. Ahmad).
Kemajuan fisik tiada berarti bila jiwa dan moral runtuh. Maka, kebangkitan moral melalui Mauluik Gadang adalah jalan kembali menuju cahaya Rasulullah ï·º — menegakkan marwah, memuliakan adat, dan membangun nagari dengan ruh kasih sayang dan keadaban. DS..14102025.

