Type Here to Get Search Results !

Sapere Aude! Sang Fiksiwan Agnostik

oleh Dr. Basri Amin MA & Narudin Pituin

“Agnostisisme adalah gairah untuk mengeksplorasi misteri, bukan menyerah padanya.” — Lesley Hazleton(1945-2024), Agnostik: Sebuah Manifesto Penuh Gairah(2017;Terjemahan 2023)

Reiner Emyot Ointoe, lahir 24 Oktober 1958, kini berusia 67 tahun, adalah figur intelektual yang menolak tunduk pada konvensi. 

Ia dikenal sebagai penulis, budayawan, dan pemikir bebas yang sejak 1980-an telah menegaskan karakter dasarnya: Kemerdekaan berpikir. 

Dalam artikel pendek Basri Amin(51) alumni East West Hawai Amerika,,Leiden Belanda, pengajar sosiologi pendidikan dan komunikasi di UNG, Reiner digambarkan sebagai sosok yang: Eksistensialis dan afeksional dalam kerja intelektualnya.

Gelisah namun produktif, menyerap arus pemikiran besar secara literer.

Berani mengobjeksi, bahkan terhadap hipokrisi keadaan dan kuasa kapital.

Tidak obsesif terhadap standar sopan atau sastrawi, lebih memilih artikulasi yang "zakelijk" dan Barat.

FKMM dan Jalan Kalimantan 16 menjadi titik awal perjumpaan intelektual, tempat para pencari pengetahuan mulai bertanya tentang Nurani, Nalar, dan Yang Maha. 

Reiner hadir sebagai pemantul kata-kata kunci peradaban, dari “dialektika Tuyul” hingga filsafat Semesta bersama Sultan Mudaffar Sjah.

#Tuhan dan Senjakala Kebudayaan(2025)

Dalam buku ini, Reiner menyajikan 67 risalah kritik ontologi dan epistemologi, namun secara sengaja tidak menyentuh sisi aksiologi. 

Ini menjadi titik kritik dari Narudin Pituin yang menggunakan pendekatan Sintesemiotik, membedakan antara kontradiksi dan paradoks:

/1/Kontradiksi: pertentangan nyata antara gagasan.

/2/Paradoks: pertentangan semu yang menyimpan harmoni.

Narudin(43), sastrawan, kritikus dan pengajar kelahiran Sumedang, menyoroti bahwa kritik Reiner cenderung mengabaikan pertanyaan etis (mengapa) yang menjadi domain aksiologi. 

Namun justru di situlah letak kekuatan buku ini: ia menantang pembaca untuk berpikir ulang tentang spiritualitas pengetahuan dan pengetahuan spiritual, sebagaimana dikritisi oleh Lesley Hazleton dalam pendekatan agnostik.

#Fiksiwan Agnostik: Sebuah Posisi Kritis

Dengan mengutip Susan K. Langer(1895-1985), seorang filsuf Amerika yang berpengaruh dalam bidang estetika dan filosofi simbol, dalam pengantarnya di buku, Sprach und Mythos(edisi Inggris 1953) dari Ernst Cassirer(1874-1945), mencatat: 

„Agnostik adalah pandangan filosofis yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang keberadaan Tuhan atau realitas mutlak bersifat tidak pasti atau tidak dapat diketahui. Kata "agnostik" berasal dari bahasa Yunani, yaitu

." (tidak) dan "gnosis' (pengetahuan). Yang secara harfiah, itu berarti "tidak tahu" atau "tidak

memiliki pengetahuan.“(Cassirer, 2025).

Dengan menyebut diri sebagai fiksiwan agnostik, Anda menempatkan diri dalam posisi yang:

Meragukan dogma, namun tetap mencari makna.

Menggunakan fiksi sebagai medium kritik, bukan pelarian. Ataupun, ignoramus. Tak tahu apa-apa!

Menggugat spiritualitas yang stagnan, dan menuntut epistemologi yang reflektif.

Ini adalah posisi yang tidak nyaman, tetapi justru produktif. 

Anda berada di ambang marginalitas, seperti Reiner, yang menolak tunduk pada dialektika dominan dan memilih jalan sunyi pemikiran.

*Basri Amin, pengajar sosiologi pendidikan di UNG & Narudin Pituin, kritikus sastra. Ditulis untuk menyambut ulangtahun, ReO Fiksiwan ke-67, hari ini(23/10/25) sekaligus prelaunching bukunya yang ke-40: Tuhan dan Senjakala Kebudayaan: 67 Kritik Ontologi-Epistemologi(514 halaman, Serat Manado 2025).

#coverlagu: Lagu "Tanpa Aku" oleh Panji Sakti adalah salah satu karya musikalisasi puisi yang sarat makna spiritual dan filosofis.

Lagu ini dirilis pada 8 April 2022, sebagai bagian dari album berjudul sama: Tanpa Aku. Album ini mencakup beberapa lagu lain seperti “Dia Danau”, “Malam Ini”, serta musikalisasi puisi dari karya Moch. Syarip Hidayat, Soni F.M., dan terjemahan puisi Maulana Jalaluddin Rumi.

Lagu “Tanpa Aku” mengangkat tema spiritualitas dan penghilangan ego (fana) dalam perjalanan hidup dan pencarian makna:

/1/Mahabbah (cinta spiritual): 

Menggambarkan cinta yang mendalam kepada Tuhan atau kebenaran, yang melampaui cinta duniawi.

/2/Fana(lenyapnya keakuan): 

Liriknya mengajak pendengar untuk meniadakan “aku” sebagai bentuk penyerahan total dalam pencarian spiritual.

/3/Pejalan spiritual:  

Lagu ini menjadi representasi para pencari yang ingin terus belajar, dituntun, dan melepaskan keakuan demi mencapai kesadaran yang lebih tinggi.

Penafsiran semiotik terhadap lagu ini menunjukkan bahwa makna denotatif dan konotatifnya saling berkelindan, menciptakan ruang refleksi bagi pendengar yang terbuka terhadap pengalaman batin dan spiritual.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.