Type Here to Get Search Results !

Guru Sastra Itu Telah Tiada

oleh ReO Fiksiwan

„Kita tidak membaca dan menulis puisi karena puisi itu lucu. Kita membaca dan menulis puisi karena kita adalah anggota umat manusia. Dan umat manusia dipenuhi dengan gairah.“ — John Keating(Robin Williams), Dead Poets Society(1989).

Kami kehilangan seorang penjaga api kata, seorang pembisik makna di lorong-lorong sunyi fakultas: Drs. Paul Nebath, atau yang kami panggil dengan takzim dan hangat, Mener Nebath. Ia bukan sekadar dosen sastra Indonesia di Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi. 

Ia adalah penjaga gerbang dunia yang tak kasat mata, tempat kata-kata menjelma jiwa, dan puisi menjadi doa. 

Sejak angkatan sastra 78, seperti saya, mengenal dunia sastra bukan dari buku semata, melainkan dari cara Mener Nebath memandang teks sebagai tubuh hidup yang harus dibaca dengan hati, bukan sekadar akal.

Dalam ruang kelas yang sederhana, Mener Nebath menghidupkan teks-teks Chairil Anwar, Pramoedya, dan Rendra seperti mereka duduk bersama kami. Ia tidak mengajar, ia mengajak. Mengajak kami untuk tidak hanya membaca, tetapi merasakan. 

Ia mengajarkan bahwa kritik sastra bukanlah pisau bedah yang dingin, melainkan pelukan hangat yang menuntun pembaca memahami luka dan cinta dalam karya. 

Seperti tokoh John Keating dalam film Dead Poets Society, yang diperankan dengan gemilang oleh mendiang Robin Williams(1951-2014), Mener Nebath mengajak kami berdiri di atas meja—secara harfiah dan batiniah—untuk melihat dunia dari sudut pandang yang lain.  

Ia percaya bahwa sastra adalah jalan spiritual, bukan sekadar akademik.

Sebagai Pembantu Rektor Tiga di era Prof. Drs. Ronny Tangkudung(?), Mener Nebath tetap membawa semangat sastra ke dalam birokrasi. 

Ia tidak pernah kehilangan kelembutan seorang penyair, bahkan ketika harus berhadapan dengan angka dan laporan. Ia adalah bukti bahwa sastra tidak hanya hidup di buku, tetapi juga di ruang-ruang keputusan.

Kini, ketika ia telah tiada, kami mengenangnya seperti mengenang sajak Chairil Anwar: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” 

Mener Nebath mungkin telah pergi, tetapi kata-katanya, caranya memandang puisi, dan semangatnya untuk membebaskan pikiran mahasiswa dari belenggu literalitas akan hidup seribu tahun lagi dalam ingatan kami. 

Ia adalah bagian dari tradisi kritik sastra yang diwariskan HB. Jassin, Paus Sastra Indonesia, yang percaya bahwa sastra adalah cermin jiwa bangsa.

Kepergian Mener Nebath bukan hanya kehilangan seorang akademisi. Ia adalah kehilangan seorang penjaga cahaya. 

Dan kami, murid-muridnya, adalah lilin-lilin kecil yang akan terus menyala, membawa api yang ia nyalakan dalam setiap kelas, dalam setiap diskusi, dalam setiap puisi yang kami tulis dan baca.

Selamat jalan, Mener. Sastra telah kehilangan salah satu penjaganya. Tapi kami akan terus menulis, membaca, dan menghidupkan kata-kata, seperti yang kau ajarkan. Karena dalam setiap bait, kau masih ada.

#coversongs: Carpe Diem adalah salah satu komposisi instrumental karya Maurice Jarre(1924-2009) yang dirilis pada tahun 1990 sebagai bagian dari album soundtrack film Dead Poets Society.

Carpe Diem berasal dari bahasa Latin yang berarti "Petiklah Hari Ini" atau "Manfaatkan Waktu yang Ada". 

Dalam konteks film, musik ini menjadi pengiring spiritual dari pesan utama yang disampaikan oleh tokoh John Keating(Robin Williams): bahwa hidup harus dijalani dengan penuh kesadaran, keberanian, dan semangat untuk mengejar makna.

Komposisi Maurice Jarre yang lembut dan kontemplatif mencerminkan suasana batin para siswa yang mulai melihat dunia dengan cara baru—melampaui aturan dan tradisi, menuju kebebasan berpikir dan merasakan. Musik ini bukan sekadar latar, melainkan jiwa dari transformasi karakter dalam film.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.