Type Here to Get Search Results !

INYIAK CANDUNG PAHLAWAN NASIONAL: Energi PERTI–MTI dari Surau Candung ke Sejarah Bangsa

Oleh: Duski Samad

Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang 

Perjalanan panjang PERTI dan jaringan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) tidak dapat dilepaskan dari sosok Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Inyiak Candung) ulama besar Minangkabau yang memadukan ilmu, adat, dan perjuangan kebangsaan dalam satu tarikan napas.

Dari surau kecil di Candung, lahir gagasan besar tentang pendidikan Islam yang membumi dan berperadaban, yang kelak menjadi fondasi berdirinya PERTI tahun 1928, sejajar dengan lahirnya Sumpah Pemuda.

Kini, seabad kemudian, muncul kesadaran kolektif bahwa jasa Inyiak Candung tidak hanya terbatas pada dunia keulamaan dan pendidikan, tetapi juga pada pembentukan karakter bangsa dan perjuangan kemerdekaan. Ia adalah figur yang menolak kolonialisme, membangun sistem madrasah berkarakter Qur’ani, dan menanamkan ideologi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” sebagai filosofi kebangsaan Islam Nusantara.

Karena itu, pengajuan Inyiak Candung sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar penghormatan simbolik, melainkan pengakuan negara atas kontribusi ulama dalam pembangunan moral dan pendidikan bangsa.

Semangat dan visi Inyiak Candung itulah yang menjadi roh gerakan PERTI–MTI Reborn hari ini: sebuah ikhtiar untuk kembali ke akar perjuangan, menghidupkan kembali surau sebagai pusat tafaqquh, dan menjadikan pendidikan sebagai jihad utama umat.

Dari nilai-nilai yang diwariskan beliau keikhlasan, ilmu yang amali, dan keberanian moral. PERTI menemukan kembali orientasi sejatinya: mendidik manusia yang beriman, beradab, dan berdaulat.

Tulisan ini mengkaji transformasi historis dan ideologis organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dan jaringan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) sebagai bagian dari dinamika sosial-keagamaan umat Islam di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat.

Awalnya berdiri sebagai gerakan pendidikan keagamaan pada 1928, PERTI beralih ke politik pasca kemerdekaan, kemudian berubah menjadi ormas sosial-keagamaan pasca fusi dengan PPP, dan kini menegaskan kembali orientasinya pada pendidikan.

Dengan pendekatan historis-sosiologis dan analisis keagamaan, tulisan ini menjelaskan mengapa pendidikan kembali menjadi locus perjuangan, apa peluang dan tantangan yang dihadapi, serta bagaimana arah revitalisasi PERTI–MTI ke depan sebagai gerakan keilmuan, dakwah, dan kebangsaan.

Sejarah gerakan Islam di Indonesia menunjukkan bahwa pendidikan selalu menjadi basis perubahan sosial dan spiritual. Dari pesantren di Jawa hingga surau di Minangkabau, pendidikan berperan sebagai locus peradaban dan sarana melahirkan ulama, intelektual, serta pemimpin umat.

PERTI lahir tahun 1928 bukan sekadar organisasi ulama, melainkan gerakan pendidikan yang ingin menegakkan Islam kaffah melalui tafaqquh fi al-din. Para pendiri seperti Syekh Sulaiman ar-Rasuli (Inyiak Candung), Syekh Abbas Padang Japang, dan Syekh Muhammad Jamil Jaho mendirikan MTI sebagai lembaga yang mengintegrasikan tradisi surau dengan sistem madrasah modern, menjadikan pendidikan sebagai instrumen dakwah dan pemberdayaan umat.

Namun dalam lintasan sejarah, PERTI mengalami transformasi: dari pendidikan ke politik, lalu ke ormas, dan kini mencoba kembali ke akar awalnya. Pergeseran ini bukan sekadar strategi organisatoris, tetapi refleksi atas dialektika antara idealisme keulamaan dan realitas sosial politik bangsa.

PERTI: Dari Pendidikan ke Politik

Pada dekade 1940–1970-an, PERTI menjelma menjadi kekuatan politik Islam yang signifikan. Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1946 mendorong ormas Islam untuk ikut mengisi kemerdekaan melalui jalur politik. Bagi PERTI, masuk politik dianggap sebagai bentuk jihad siyasah untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik.

Namun orientasi politik ini perlahan menggeser locus pendidikannya. Lembaga-lembaga MTI banyak yang stagnan, terbelah, atau kehilangan daya saing di tengah dinamika modernisasi pendidikan Islam. Konflik internal, terutama setelah fusi ke dalam PPP pada 1973, menimbulkan perpecahan ideologis dan melemahkan kohesi ulama pendidik.

Analisis sosiologisnya menunjukkan bahwa ketika organisasi keagamaan masuk ke arena politik kekuasaan, terjadi displacement of mission — misi keumatan bergeser menjadi misi kekuasaan (Weber, 1947). PERTI mengalami dilema klasik: antara mempertahankan idealisme keulamaan atau mengikuti pragmatisme politik. Akibatnya, pendidikan yang dulu menjadi sumber otoritas ulama berubah menjadi sektor pelengkap, bukan prioritas utama.

PERTI Sebagai Ormas: Pencarian Identitas Baru

Pasca reformasi, dan terutama setelah Ishlah (rekonsiliasi) tahun 2016, PERTI menegaskan diri kembali sebagai Persatuan Tarbiyah Islamiyah berbasis ormas keagamaan. Transformasi ini menandai pergeseran dari politik praktis menuju pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan.

Sebagai ormas, PERTI berupaya memperkuat kembali jaringan madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi. Namun tantangan baru muncul dalam bentuk krisis regenerasi ulama, lemahnya manajemen modern, dan keterbatasan kapasitas kelembagaan. Di tengah persaingan dengan ormas besar lain seperti NU dan Muhammadiyah, PERTI harus menegaskan keunikan epistemologinya: tafaqquh fi al-din berbasis kitab, tarekat, dan adat Minangkabau.

Fenomena ini dapat dibaca melalui teori revitalisasi keagamaan (Turner, 1974), di mana lembaga keagamaan cenderung melakukan “reorientasi misi” ketika menghadapi krisis legitimasi sosial. PERTI mengalami kebangkitan kesadaran bahwa kekuatan sejatinya bukan pada politik, tetapi pada pendidikan moral dan intelektual.

Pulang ke Akar: Pendidikan Sebagai Locus Umat

Kembalinya PERTI–MTI ke dunia pendidikan memiliki dimensi teologis, sosial, dan strategis:

1. Dimensi Teologis:

Pendidikan adalah jihad yang paling berkelanjutan. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak Adam meninggal dunia, terputus amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan.” (HR. Muslim).

Maka, mengajar dan membangun sistem pendidikan merupakan bentuk ibadah berantai yang menghidupkan amal ulama lintas generasi.

2. Dimensi Sosiologis:

Masyarakat Minangkabau kini mengalami dislokasi nilai. Surau kehilangan peran sosialnya, generasi muda tercerabut dari akar budaya ABS–SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah). PERTI hadir untuk mengembalikan keseimbangan antara agama dan adat melalui pendidikan berkarakter Qur’ani dan budaya lokal.

Dimensi Strategis:

Regulasi nasional seperti UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan UU No. 17 Tahun 2022 tentang Keistimewaan Sumatera Barat membuka ruang bagi PERTI untuk memperluas jaringan pendidikan berbasis keulamaan dan kearifan lokal.

Pendidikan menjadi medium strategis bagi kebangkitan kembali ormas keagamaan yang berakar pada tradisi, namun terbuka terhadap inovasi digital dan ekonomi umat.

Peluang dan Tantangan Revitalisasi

Peluang:

Dukungan kebijakan pemerintah terhadap pesantren dan madrasah;

Jaringan alumni MTI di berbagai bidang pemerintahan dan pendidikan tinggi;

Potensi digitalisasi pendidikan dan dakwah (e-learning, literasi kitab digital);

Tradisi ABS–SBK sebagai filosofi pendidikan khas Minangkabau.

Tantangan:

Krisis guru dan ulama muda;

Lemahnya integrasi kurikulum tradisional dengan kebutuhan zaman;

Keterbatasan sumber dana dan manajemen kelembagaan;

Persaingan lembaga pendidikan Islam modern yang lebih adaptif.

PERTI harus memadukan tradisi dan transformasi — menjaga warisan surau, tetapi menyesuaikan diri dengan era digital. Pendidikan berbasis nilai dan adab harus disandingkan dengan inovasi teknologi dan ekonomi umat.

Harapan: 

Reposisi PERTI di Abad Kedua

Kembali ke pendidikan bukanlah nostalgia, melainkan reposisi strategis. PERTI perlu tampil sebagai gerakan pendidikan profetik yang menegakkan integrasi iman, ilmu, dan amal. Melalui penguatan lembaga seperti LP3N (Lembaga Penyelenggaraan Pendidikan PERTI Nasional), jaringan MTI dan perguruan tinggi Islamiyah dapat disinergikan dalam satu sistem mutu dan kurikulum khas Tarbiyah Islamiyah.

Dengan demikian, PERTI di abad kedua dapat menjadi:

Gerakan Ulama Cendekia: yang berilmu, berakhlak, dan berdaya saing global.

Ormas Penggerak Pendidikan Umat: yang menanamkan nilai-nilai Qur’ani dalam kebijakan publik dan sosial.

Model Integrasi Adat dan Syariat: yang membuktikan bahwa Islam Nusantara memiliki fondasi intelektual dan kultural kuat.

Penutup

Sejarah membuktikan bahwa kekuatan PERTI bukan pada politik, melainkan pada pendidikan yang membangun jiwa bangsa. Politik bisa memerintah sesaat, tetapi pendidikan menanamkan nilai selamanya.

Kini, ketika PERTI kembali mengurus pendidikan, sejatinya ia sedang pulang ke surau, pulang ke akar peradaban.

Kebangkitan PERTI–MTI Reborn bukan hanya kebangkitan lembaga, melainkan kebangkitan ruh keulamaan yang ingin kembali memberi rasa, seperti garam dalam masyarakat — tak terlihat, tapi menghidupkan.ds.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.