Type Here to Get Search Results !

Politik MBG dan Ironi di Meja Makan Anak-anak Bangsa

oleh ReO Fiksiwan

“Biaya sebenarnya dari mengonsumsi makanan cepat saji tidak pernah muncul di menu.” — Eric Schlosser(66), Fast Food Nation: The Dark Side of the All-American Meal(2001).

Di tengah sorotan dunia, ketika Presiden Prabowo Subianto berdiri gagah di mimbar sidang PBB, menyuarakan pidato yang menggema seperti gema pleidoi “Indonesia Menggugat” milik Soekarno di pengadilan kolonial Bandung, negeri yang ia pimpin justru sedang bergulat dengan tragedi yang tak kalah mengguncang: ribuan anak keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis(MBG). 

Sebuah ironi yang pahit, ketika retorika kemerdekaan dan martabat bangsa dikumandangkan di forum internasional, sementara tubuh-tubuh kecil anak negeri terkulai lemah di posko medis karena nasi basi, ikan hiu tak layak konsumsi, dan buah semangka setipis tisu.

Program MBG, yang digadang sebagai solusi revolusioner untuk mengatasi stunting dan malnutrisi, justru menjadi ladang eksperimen politik pangan yang gagal memahami esensi gizi dan budaya makan. 

Dalam buku Food Nation, Eric Schlosser mengingatkan bahwa kebijakan pangan bukan sekadar soal distribusi kalori, melainkan soal kontrol, identitas, dan strategi budaya. 

Ketika dapur MBG dikelola oleh mitra politik dan bukan ahli nutrisi, ketika sertifikat higienis hanya menjadi formalitas, dan ketika pengawasan bergantung pada semangat birokrasi, maka yang tersaji bukanlah nutrisi, melainkan risiko.

Statistik stunting di Indonesia masih mengkhawatirkan, dengan prevalensi di atas 20% di banyak provinsi. 

Namun, alih-alih memperkuat edukasi gizi berbasis lokal dan memperhatikan strategi budaya dalam penyusunan menu, MBG justru terjebak dalam logika kuantitas dan kecepatan. 

Padahal, seperti diuraikan dalam Nutrisi Surgawi: 7 Colors Garden(2019) oleh Tifauzia Tyassuma, tubuh manusia membutuhkan harmoni warna, tekstur, dan enzim hidup dari makanan segar, bukan sekadar nasi dan lauk yang memenuhi standar logistik. 

Gizi bukan hanya angka, melainkan pengalaman sensorik dan spiritual yang membentuk generasi sehat.

Ancaman lain yang mengintai adalah masuknya produk makanan sintesis yang dikemas sebagai solusi masa depan. 

Dalam buku Kodrat Alam: Gangguan Metabolik Perubahan Iklim(2025), Vandana Shiva mengungkap bagaimana industri pangan global menciptakan ilusi ketahanan pangan melalui pertanian industri dan pangan imitasi. 

Di bab “Distopia Pangan Imitasi dan Masa Depan Pangan,” Shiva memperingatkan bahwa makanan sintetis—yang diproduksi di laboratorium, jauh dari tanah dan musim—bukanlah jawaban atas krisis pangan, melainkan bentuk baru kolonialisme metabolik. 

Makanan yang kehilangan hubungan dengan alam, budaya, dan komunitas akan menggerus kesehatan dan kedaulatan pangan bangsa.

Sementara, Sabtu, 27 September 2025 pukul 19.15, pada konferensi pers setibanya Presiden Prabowo

Subianto dari lawatan keluar negeri di bandara Halim Perdanakusuma, seorang petugas dari Biro Pers, Media, dan Informasi(BPMI) Sekretariat Presiden mencabut kartu identitas Pers Istana milik jurnalis Diana Valencia. 

Pemimpin Redaksi CNN Indonesia, Titin Rosmasari, menyatakan bahwa pencabutan itu terjadi setelah Diana mengajukan pertanyaan kritis terkait kasus masif keracunan makanan MBG. Kini, telah ditangani Dewan Pers.

Tindakan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah kritik terhadap program MBG kini dianggap ancaman terhadap stabilitas politik?

Tentu, di luar tafsir stabilitas politik, solusi efektif bukan terletak pada skema makan gratis yang dipaksakan dari atas, melainkan pada penguatan ekosistem pangan lokal: pertanian agroekologis, pendidikan gizi berbasis komunitas, dan pelibatan petani serta ibu-ibu dapur dalam merancang menu bergizi. 

Ketahanan pangan bukan soal suplai, melainkan soal relasi: antara manusia dan tanah, antara budaya dan nutrisi, antara kebijakan dan kehidupan.

Ketika Prabowo dielu-elukan sebagai orator di panggung global, di tanah airnya, lebih dari 7.000 siswa menjadi korban keracunan makanan MBG. 

Pemerintah memang telah menggelar rapat darurat, menutup dapur-dapur bermasalah, dan menjanjikan evaluasi total. 

Namun, pertanyaannya bukan hanya soal teknis: apakah kita benar-benar memahami bahwa politik pangan adalah politik kehidupan? 

Bahwa memberi makan anak-anak bangsa bukan sekadar proyek gizi dan menu di atas meja makan mereka, melainkan pernyataan nilai dan cinta?

Ironi MBG bukan hanya soal menu dan gizi makanan yang meracuni, tetapi tentang sistem yang gagal merawat. Karena seperti ungkap Scholleser, „biaya real konsumsi MBG, mustahil tertera di menu.“

Di negeri yang katanya kaya rempah dan tradisi kuliner, anak-anak justru dicekoki menu yang tak layak, demi mengejar target dan citra. 

Dan ketika pidato heroik menggema di PBB, suara tangis anak-anak di posko medis seolah tenggelam dalam tepuk tangan diplomatik.

#coverlagu: Lagu: "Food for Life" oleh Keithus I

dari album Changes yang rilis 20 November 2015

Label: Jah Dynasty Productions / VPAL Music.

"Food for Life" adalah lagu reggae yang mengangkat tema ketahanan pangan, spiritualitas, dan keadilan sosial. 

Keithus I alias Milton Samuels(73) menyuarakan pentingnya makanan sebagai hak dasar manusia, bukan komoditas yang dikendalikan oleh sistem kapitalis atau industri pangan besar. 

Lagu ini menekankan bahwa makanan bukan hanya untuk mengenyangkan perut, tetapi juga untuk menyuburkan jiwa dan menjaga keseimbangan hidup.

Dalam semangat Rastafari dan akar reggae, Keithus I mengajak pendengar untuk kembali pada makanan alami, hasil bumi, dan gaya hidup berkesadaran. 

Lagu ini juga bisa dibaca sebagai kritik terhadap sistem pangan global yang sering mengeksploitasi petani kecil dan merusak lingkungan demi keuntungan.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.