Type Here to Get Search Results !

ARS Aromatum (di) Tubuh Perempuan

oleh ReO Fiksiwan

„Ia tahu bahwa aroma adalah jiwa dari segala sesuatu. Tanpa aroma, dunia ini hampa.” — Patrick Süskind(76), Parfum: Kisah Seorang Pembunuh(2006).

Tubuh perempuan telah lama menjadi medan tafsir, arena simbolik, dan objek konsumsi dalam sejarah budaya modern. 

Dalam artikel Amelia Fitriani tentang parfum custom dan identitas, aroma tubuh perempuan diposisikan sebagai ruang ekspresi personal sekaligus pernyataan keberlanjutan. 

Namun, di balik narasi tentang kebebasan memilih aroma, tersimpan jejak panjang tentang bagaimana tubuh perempuan dikonstruksi, dikontrol, dan dikomodifikasi melalui wangi-wangian. 

Aroma bukan sekadar pilihan estetik, melainkan ars—seni dan strategi—yang menyentuh lapisan terdalam dari politik tubuh.

Patrick Süskind dalam novel Das Parfum: Die Geschichte eines Mörders(1985) menghadirkan karakter Jean-Baptiste Grenouille, seorang pembuat parfum yang terobsesi menciptakan aroma sempurna dari tubuh perempuan. Ia tidak mencintai perempuan, tetapi mencintai wangi mereka. 

Dalam dunia Grenouille, tubuh perempuan bukan subjek, melainkan sumber aroma yang bisa diekstrak, disuling, dan dijadikan objek estetika. 

Süskind menyingkap bagaimana aroma bisa menjadi alat kekuasaan, bahkan pembunuhan, ketika tubuh perempuan direduksi menjadi esensi yang bisa dikendalikan. 

Parfum, dalam konteks ini, bukan sekadar kosmetik, tetapi senjata epistemik yang mengaburkan batas antara cinta dan kekuasaan, antara sensualitas dan kekerasan.

Naomi Wolf(62) dalam The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women(1990; Mitos Kecantikan: Bagaimana Citra Kecantikan Digunakan Melawan Perempuan, YOI, 2002) dan Vagina: A New Biography(2012) melanjutkan kritik ini dengan menunjukkan bahwa tubuh perempuan telah lama dijadikan ladang industri yang mengaburkan antara kebebasan dan penaklukan. 

Parfum, seperti kosmetik lainnya, sering kali dijual sebagai simbol otonomi, padahal ia bekerja dalam sistem yang menuntut perempuan untuk tampil, untuk menyenangkan, untuk menjadi “layak cium.” 

Aroma tubuh bukan lagi milik perempuan itu sendiri, melainkan milik pasar, milik pasangan, milik norma sosial yang tak kasat mata.  

Dalam Vagina: Sebuah Biografi Baru(2021), Wolf menulis bahwa “the female body is not just a site of pleasure, but a battlefield of meaning.” 

Dengan kata lain, ketika perempuan memilih aroma, apakah ia benar-benar memilih, atau sedang menyesuaikan diri dengan harapan yang telah ditanamkan sejak kecil?

Hikmat Budiman(62) menulis esai pengantar Ke Timur Haluan Menuju dalam Ke Timur Arah Bergerak(YOI, 2019) mengajak kita untuk membaca tubuh sebagai teks yang bergerak, yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah dan politik. 

Tubuh perempuan, dalam konteks Indonesia, tidak hanya berurusan dengan parfum dan kosmetik, tetapi juga dengan tafsir agama, adat, dan negara. 

Ketika aroma tubuh perempuan menjadi “custom,” kita perlu bertanya: sejauh mana custom itu benar-benar personal, dan sejauh mana ia merupakan hasil dari konstruksi sosial yang telah lama bekerja dalam diam?

Michel Foucault dalam bab Scientia Sexualis dari Sejarah Seksualitas(1977; 1997) menunjukkan bahwa tubuh dan seksualitas manusia tidak pernah lepas dari wacana. 

Parfum, sebagai bagian dari estetika tubuh, adalah bagian dari wacana yang mengatur bagaimana tubuh harus tampil, harus berbau, harus diinginkan. 

Foucault menulis bahwa kekuasaan modern tidak bekerja melalui larangan, tetapi melalui produksi wacana: kita diajak bicara tentang aroma, tentang pilihan, tentang identitas, tetapi dalam pembicaraan itu, tubuh kita sedang diatur, sedang diarahkan, sedang dibentuk. 

Maka, ketika perempuan memilih aroma tubuhnya, ia tidak hanya sedang menyatakan diri, tetapi juga sedang bernegosiasi dengan sistem yang telah lama mengatur bagaimana tubuh perempuan harus hadir di ruang publik.

Dalam konteks ini, artikel Amelia Fitriani membuka ruang penting untuk membicarakan parfum sebagai identitas dan keberlanjutan. 

Namun, kita perlu melangkah lebih jauh: dari aroma sebagai ekspresi, menuju aroma sebagai ars kekuasaan. 

Tubuh perempuan bukan sekadar kanvas untuk parfum, tetapi medan tafsir yang kompleks, tempat di mana estetika, etika, dan politik bertemu. 

Ars aromatum bukan hanya soal wangi, tetapi soal siapa yang berhak menentukan wangi itu, dan untuk siapa tubuh itu harus berbau. 

Karena di balik setiap semprotan parfum, ada sejarah panjang tentang bagaimana tubuh perempuan telah dijadikan objek, dan bagaimana perempuan terus berjuang untuk merebut kembali tubuhnya sebagai subjek.

*Tanggapan reflektif atas esai "Parfum Custom,

Identitas dan Sustainability" dari Amelia Fitriani.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.