![]() |
oleh ReO Fiksiwan
„Das Symbol ist nicht bloß ein Zeichen oder ein Ersatz für die Wirklichkeit; es ist das eigentliche Medium, durch das die Wirklichkeit von menschlichem Bewusstsein konstituiert und erfasst wird.“
Alihbasa: „Simbol bukan sekadar tanda atau pengganti realitas; simbol merupakan media yang melaluinya realitas dibentuk dan dipahami oleh kesadaran manusia." — Erenst Cassirer(1874-1945), Philosophie der symbolischen Formen: Volume III Phänomenologie der Erkenntnis(1929).
Manusia bukan sekadar makhluk rasional, melainkan makhluk simbolik—animal symbolicum—seperti yang ditegaskan oleh Ernst Cassirer, filsuf asal Jerman bermahzab: Neokantian.
Dan pernyataan, animal symvolicum, sejauh ini telah ia kemukakan dalam ringkasan filsafat kebudayaannya: An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture(1944), khusus ditulis dalam bahasa Inggris dan baru alihbasa pada 1990 oleh A. Nugroho terbitan Gramedia.
Makhluk manusia tidak hidup langsung dalam dunia benda, melainkan dalam dunia simbol yang ia ciptakan dan tafsirkan.
Simbol adalah medium utama manusia memahami dirinya, orang lain, dan semesta. Dalam era digital yang dipenuhi oleh citra, meme, flexing, hoax, slogan, kemampuan manusia menafsirkan simbol menjadi semakin genting dan gampang tergelincing.
Ketika manusia gagal membaca makna di balik simbol-simbol yang beredar masif dalam komunikasi daring, maka yang terjadi bukan hanya miskomunikasi dan diskomunasi, tetapi juga keretakan sosial dan hilangnya orientasi eksistensial.
Cassirer dalam trilogi Philosophy of Symbolic Forms menyusun kerangka filsafat simbol yang mencakup tiga tema besar: bahasa, pikiran mitos, dan fenomena pengetahuan.
Dalam volume pertama: Language (1923), Cassirer menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan bentuk simbolik yang membentuk cara manusia memahami dunia.
Kata-kata bukan cermin realitas, melainkan konstruksi makna. Dalam dunia digital, bahasa mengalami pergeseran: dari ekspresi makna menjadi performa sosial.
Emoji, singkatan, dan jargon daring menjadi simbol baru yang sering kali kehilangan kedalaman semantik.
Ketika bahasa direduksi menjadi sinyal instan, manusia kehilangan kemampuan untuk menyusun makna yang reflektif dan berlapis.
Volume kedua: Mythical Thought(1925), Cassirer mengungkap bahwa pikiran mitos adalah bentuk awal dari simbolisasi manusia.
Mitos bukan dongeng, melainkan cara manusia mengorganisasi pengalaman dan memberi makna pada dunia yang kompleks.
Dalam konteks digital, mitos muncul kembali dalam bentuk narasi viral, teori konspirasi, dan kultus algoritmik.
Platform seperti TikTok, X, IG dan Facebook menjadi medan baru bagi mitos-mitos modern yang tidak selalu rasional, tetapi sangat memengaruhi perilaku dan persepsi kolektif publik.
Ketika manusia gagal membedakan antara mitos reflektif dan mitos manipulatif, maka simbol menjadi alat dominasi, bukan pembebasan.
Terakhir, volume ketiga: Phenomenology of Knowledge(1929) membawa kita pada pemahaman bahwa pengetahuan manusia selalu dimediasi oleh simbol.
Sekedar tambahan, dari tiga volume buku, Filsafat Bentuk Simbolik ini, edisi Jerman(Meiner Verlag) 1200 halaman dan edisi Inggris(Yale University Press/Routledge) 1220 halaman hampir setara Puisi-Puisi Remy Sylado: Kerygma & Martyria (Gramedia,2004): 1056).
Tidak ada akses langsung ke realitas; yang ada adalah konstruksi simbolik yang membentuk pengalaman dan pemahaman. Dalam dunia digital, fenomena pengetahuan berubah menjadi arus data yang tak terbendung. „Dataisme, bentuk agama baru,“ tulis Harari.
Informasi menjadi limbah(infodemik) ketika tidak ditafsirkan, dan pengetahuan menjadi ilusi ketika tidak dikontekstualisasi.
Media sosial menciptakan ilusi kedekatan dan pemahaman, padahal yang terjadi adalah fragmentasi makna dan distorsi simbolik.
Tanpa kemampuan untuk menavigasi simbol secara kritis, manusia menjadi korban dari banjir informasi yang tidak bermakna. Tak perlu contoh, tiap detik sejak mata melek — apalagi otak belum belum berfungsi — selalu ada „blenk-blink“ informasi.
Carl G. Jung(1875-1961) dalam Man and His Symbols(2018) menegaskan bahwa simbol adalah jembatan antara kesadaran dan ketidaksadaran. Ia membuka ruang bagi pemahaman diri yang lebih dalam.
Namun dalam fenomena pengetahuan digital, simbol sering kali hanya menjadi citra kosong yang diproduksi untuk konsumsi cepat. Ibarat susu dan kopi instan saset dengan simbol: 1 + 3 sekali sedu.
Ketika manusia tidak lagi mampu membaca simbol sebagai ekspresi jiwa, maka ia kehilangan kontak dengan kedalaman dirinya sendiri.
Dalam dunia yang dipenuhi oleh platform digital, manusia dituntut untuk kembali menjadi animal symbolicum yang sadar akan kekuatan dan bahaya simbol.
Ia harus belajar menafsirkan, bukan hanya bereaksi. Ia harus membangun makna, bukan hanya membagikan konten.
Tanpa kemampuan simbolik yang reflektif, manusia bukan hanya kehilangan arah, tetapi juga kehilangan dirinya sendiri akibat D4M: Disorientasi, Delusi, Disosiasi, Diskomunikasi, Miskomunikasi. Dan seluruh patologi simbol ini harus jadi urusan, psikolog dan psikiatri.
Filosofi simbol Cassirer dan Jung mengingatkan kita bahwa dalam setiap kata, gambar, dan narasi, tersembunyi dunia yang menunggu untuk ditafsirkan.
Dunia digital bukanlah akhir dari simbol, tetapi medan baru yang menuntut kecerdasan budaya dan spiritual yang lebih tajam.
#Coversongs: Heaven & Earth adalah album soundtrack karya Kitarō(73) atau Masanori Takahashi, dirilis pada 7 Desember 1993 oleh Domo Records.
Album ini merupakan musik latar resmi untuk film Heaven & Earth karya sutradara Oliver Stone(79), yang mengisahkan perjalanan hidup Le Ly Hayslip(75), seorang perempuan Vietnam yang mengalami trauma perang dan berjuang membangun hidup baru di Amerika Serikat dalam bukunya: When Heaven and Earth Changed Places: A Vietnamese Woman’s Journey from War to Peace(1989).
Album ini bukan sekadar ilustrasi musik, melainkan refleksi spiritual dan emosional atas konflik, penderitaan, dan pencarian kedamaian.
Kitarō memadukan instrumen tradisional Asia seperti huqin, gong, dan flute, dengan synthesizer dan orkestra Barat, menciptakan lanskap sonik yang menggambarkan:
Pertarungan antara langit dan bumi: simbol konflik batin antara harapan dan kenyataan, spiritualitas dan kekerasan, perdamaian dan perang.
Perjalanan jiwa: dari trauma menuju penyembuhan, dari keterasingan menuju penerimaan.
Dialog budaya Timur dan Barat: melalui musik, Kitarō menjembatani dua dunia yang bertabrakan dalam sejarah perang Vietnam.

