Type Here to Get Search Results !

Menjaga Revival (Kekentalan) Jamaah: Perti di Abad 21

Oleh: Duski Samad

Guru Besar UIN Imam Bonjol dan Wakil Ketua Umum PP PERTI

Tulisan ini hadir mencermati pergerakkan Perti menyongsong usia satu abad 1928-2028 yang harus diakui secara organisasi masih dalam proses pendewasaan, namun dari segi jamaah justru identitas aswajanya bertambah kuat dan meluas cakupannya. Dapat dikatakan daya tahan (revival) menyongsong abad 21 Perti optimis.

Artikel ini juga dimaksudkan menyongsong Pelantikan Pengurus Daerah Perti Sumatera Barat masa khidmat 2025-2030. Perti yang lahir dari rahim Bundo Kandung Minangkabau nyata berkelindan kuat dengan living philosophy masyarakat Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. 

Sejarah menunjukkan Inyiak Candung adalah tokoh yang merevitalisasi Piagam Bukik Marapalam tempat ABSSBK disepakati. Tulisan Syekh Sulaiman Arrasuli tentang relasi Islam dan adat Minangkabau tidak satu dan cukup kuat narasi dan argumennya. 

Jamaah Sebagai Warisan Iman dan Identitas. PERTI bukan sekadar organisasi keagamaan; ia adalah jamaah — persekutuan iman, ilmu, dan amal yang tumbuh dari rahim sejarah panjang ulama Minangkabau.

Jamaah ini mewarisi ruh perjuangan Syekh Burhanuddin Ulakan dan ulama Candung yang mengajarkan tafaqquh fiddin, membangun madrasah, dan memadukan syarak dengan adat.

Kata revival dapat disebut “kental” menggambarkan keteguhan dan keutuhan ikatan batin antaranggota jamaah yang berlandaskan sanad keilmuan, nilai kebersamaan, dan tanggung jawab moral terhadap umat.

Kekentalan jamaah bukan hanya soal struktur, tetapi soal jiwa — sebagaimana darah dalam tubuh, ia menghidupkan seluruh gerak PERTI di zaman modern.

Abad 21: Arus Global dan Krisis Identitas

Kita hidup dalam era yang disebut oleh banyak sosiolog sebagai pasca abad 21 — sebuah masa ketika dunia menjadi datar, nilai menjadi cair, dan batas agama maupun budaya menjadi kabur.

Arus globalisasi, digitalisasi, dan hedonisme menciptakan gelombang yang mengguncang sendi-sendi jamaah tradisional seperti PERTI.

1. Globalisasi ideologi dan ekonomi menembus ruang sosial umat tanpa batas.

2. Digitalisasi keagamaan menumbuhkan “jamaah virtual” yang sering tidak berakar pada sanad keilmuan.

3. Individualisme dan urbanisasi menggerus basis sosial surau dan kebersamaan.

Dalam suasana seperti ini, kekentalan jamaah PERTI diuji: mampukah ia bertahan sebagai jamaah ilmu, amal, dan akhlak — ataukah terlarut dalam arus massa tanpa arah?

Fondasi Teologis dan Kultural Jamaah PERTI. Kekuatan jamaah PERTI terletak pada tiga pilar utama: tafaqquh fiddin, sanad keilmuan, dan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Bagi jamaah PERTI bahwa kebersamaan bukan pilihan, melainkan perintah iman. Dalam adat Minangkabau disebutkan pula: “Nan sabarih satitiak, nan satitiak jadi lautan; nan sakato jadi kekuatan.”

Artinya, satu kata dalam iman melahirkan kekuatan yang tak tergoyahkan.

Kekentalan jamaah ini mewujud dalam bentuk: Madrasah dan pesantren PERTI sebagai lokus tafaqquh fiddin.

Surau dan majelis taklim sebagai ruang silaturrahmi keimanan. Tradisi mamakai syarak sebagai sistem sosial yang meneguhkan moral publik.

Tanda Kekentalan Jamaah di Era Baru

Meski menghadapi gelombang globalisasi, jamaah PERTI justru menunjukkan tanda-tanda revival — kebangkitan kembali ruh keulamaan dalam wajah baru:

1. Regenerasi Ilmiah dan Spiritual.

Lahirnya generasi muda ulama dan akademisi PERTI — dari kampus, pesantren, dan surau digital — menjadi tanda kesinambungan sanad keilmuan.

2. Digitalisasi Dakwah dan Surau Cerdas. Gerakan Smart Surau dan TV Syekh Burhanuddin menunjukkan bahwa PERTI tidak menolak teknologi, tetapi menundukkannya untuk dakwah.

3. Rekonstruksi Lembaga Pendidikan

Pendirian dan transformasi STIT Syekh Burhanuddin menjadi Institut Agama Islam Syekh Burhanuddin, serta revitalisasi LP3N, memperkuat posisi PERTI dalam sistem pendidikan Islam nasional.

4. Integrasi Budaya dan Agama

PERTI menjaga ciri khasnya: Islam yang berakar pada budaya lokal tanpa kehilangan universalitas ajaran.

Ini adalah wajah Islam beradat — bukan Islam Arabisasi, melainkan Islam Nusantara dengan nilai Minang.

Kritik Sosial: Bahaya Fragmentasi Jamaah.

Namun, tidak dapat disangkal bahwa sebagian kalangan jamaah menghadapi tantangan internal:

Perbedaan generasi dalam cara berpikir dan berorganisasi.

Persaingan kepemimpinan dan orientasi yang kadang lebih politis daripada dakwah.

Lemahnya koordinasi antara lembaga pendidikan dan jamaah surau di akar rumput. Jika tidak diatasi, persoalan ini bisa melunturkan kekentalan jamaah yang menjadi kekuatan sejarah PERTI.

Pepatah adat mengingatkan: “Kayu nan basimpang di hulu, air indak janiah ka muaro.” (Jika pemimpin tidak sejalan, umat akan kehilangan arah.)

Oleh karena itu, diperlukan ijtihad jama’i — upaya kolektif untuk memperbarui cara berpikir dan berorganisasi tanpa meninggalkan ruh lama.

Ijtihad Kontemporer dan Jalan Baru PERTI. PERTI memasuki babak baru sebagai gerakan sosial-keagamaan yang mesti adaptif, dengan tiga arah pembaruan utama:

1.Ijtihad Kontemporer dalam Fiqh dan Sosial.

PERTI perlu melahirkan fatwa dan pemikiran baru yang menjawab isu-isu modern: ekonomi digital, lingkungan (fiqh ekologi), hak minoritas, dan pendidikan moral pasca-modern.

2. Reintegrasi Ulama dan Intelektual.

Membangun jejaring antara surau, pesantren, dan kampus — agar tafaqquh fiddin bersanding dengan riset dan inovasi.

3. Reorganisasi Jamaah Melalui Dakwah Digital dan Sosial. Jamaah kini tidak hanya berada di masjid atau surau, tetapi juga di ruang maya: platform YouTube, podcast, dan komunitas daring.

PERTI harus hadir di sana dengan konten yang cerdas, berakhlak, dan berakar pada adat.

Adat, Syarak, dan Kemandirian Sosial Umat

Salah satu keunikan jamaah PERTI adalah kekuatannya membangun ekosistem sosial berbasis keimanan dan adat.

Konsep “Syarak mangato, adat mamakai” bukan slogan, tetapi sistem sosial yang menjaga keseimbangan antara hukum Tuhan dan kearifan lokal.

Di Minangkabau, PERTI berperan ganda: Sebagai institusi keagamaan yang mendidik dan menuntun umat.

Sebagai penjaga identitas budaya yang menolak sekularisasi nilai.

Gerakan zakat, surau produktif, dan lembaga pendidikan PERTI bisa menjadi model ekonomi moral Islam Nusantara di tengah kapitalisme modern.

ANALISIS REVIVAL

PERTI telah melintasi satu abad, namun ruhnya tetap muda — karena kekentalan jamaahnya bukan pada usia, tetapi pada iman yang hidup, ilmu yang berbuah, dan amal yang menyatu.

Kini, tantangan zaman hanya bisa dijawab dengan jamaah yang berilmu, bersanad, dan beradat — sebagaimana pesan para ulama kita. “Baliak ka surau, baliak ka asal, baliak ka Allah — sebagai jalan pulang nan hakiki.”

PERTI bukan sekadar organisasi keagamaan, tetapi jamaah iman, ilmu, dan amal yang tumbuh dari rahim sejarah panjang ulama Minangkabau. Ia memadukan spiritualitas Islam dan kearifan lokal Minang dalam bingkai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Warisan ini menjadikan jamaah PERTI sebagai penjaga sanad keilmuan, penggerak dakwah, dan benteng moral di tengah masyarakat modern yang cenderung individualistik.

Kebersamaan adalah perintah iman, bukan sekadar strategi sosial.

Dalam adat Minangkabau disebutkan: “Nan sabarih satitiak, nan satitiak jadi lautan; nan sakato jadi kekuatan.” Artinya, satu kata dalam iman melahirkan kekuatan yang tak tergoyahkan.

2. Landasan Ilmiah dan Teologis Kekentalan Jamaah.

Dalam perspektif sosiologi agama, kekentalan jamaah adalah manifestasi dari apa yang disebut Émile Durkheim sebagai “solidaritas mekanik” — kohesi sosial berbasis nilai dan tradisi yang sama.

Dalam Islam, solidaritas ini dikenal sebagai ukhuwah imaniyah yang bersumber dari tauhid. Nabi SAW bersabda: Hadis:

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kasih sayang dan empati mereka bagaikan satu tubuh; apabila satu bagian sakit, seluruh tubuh merasakan panas dan demam.”

(HR. Muslim)

Dengan demikian, jamaah adalah energi spiritual yang menumbuhkan rasa saling memiliki dan tanggung jawab moral. Ia bukan sekadar perkumpulan administratif, tetapi bentuk hidup dari iman yang bergerak.

3. Abad 21 dan Krisis Identitas Jamaah.

Kita hidup dalam era post-modern yang ditandai oleh disrupsi nilai, globalisasi, dan digitalisasi keagamaan.

Fenomena jamaah virtual di media sosial seringkali menggantikan jamaah sanad di surau, padahal tidak memiliki akar pada guru, sanad, dan keilmuan otentik.

Dalam pandangan Bauman (2000) tentang liquid modernity, masyarakat modern ibarat cairan — tak lagi memiliki bentuk tetap. Di sinilah kekentalan jamaah PERTI menjadi “batu karang spiritual” di tengah arus deras relativisme moral dan komersialisasi agama. (QS. Al-Hujurat: 10)

Hadis:“Barang siapa yang tidak peduli terhadap urusan kaum Muslimin, maka ia bukan bagian dari mereka.”

(HR. Thabrani)

Maka, kekentalan jamaah adalah bukti kewaspadaan moral dan komitmen sosial umat Islam menghadapi krisis individualisme global.

4. Tanda-tanda Revival Jamaah PERTI di Abad Digital.

Meskipun dunia berubah, jamaah PERTI menunjukkan tanda-tanda kebangkitan baru:

1. Regenerasi Ulama dan Akademisi.

Munculnya generasi muda yang berilmu dan berakhlak melalui madrasah, kampus, dan surau digital.

Hal ini membuktikan teori continuity of tradition (Hobsbawm) — bahwa tradisi yang hidup selalu mampu menyesuaikan diri dengan zaman.

2. Transformasi Digital Dakwah.

Gerakan Smart Surau, TV Syekh Burhanuddin, dan Zakat Centre adalah contoh konkret dakwah berbasis teknologi yang tidak tercerabut dari akar adat dan syarak.

3. Kemandirian Pendidikan dan Sosial.Revitalisasi STIT menjadi Institut Agama Islam Syekh Burhanuddin adalah langkah strategis mengembalikan pendidikan Islam ke pusat peradaban masyarakat.

4. Integrasi Adat dan Agama. PERTI tetap menampilkan wajah Islam Nusantara — tidak kaku, tidak liberal — tetapi rahmatan lil ‘alamin yang membumi di tengah masyarakat Minang.

5. Tantangan dan Ijtihad Jama’i

Namun, jamaah juga menghadapi persoalan internal:

Pola pikir generasi muda yang lebih digital dan individual.

Fragmentasi kepemimpinan.

Lemahnya integrasi antara lembaga pendidikan dan surau.

Adat telah mengingatkan: “Kayu nan basimpang di hulu, air indak janiah ka muaro.” Jika pemimpin tak sejalan, umat kehilangan arah.

Diperlukan ijtihad jama’i, yaitu upaya kolektif untuk memperbarui organisasi dan strategi dakwah tanpa kehilangan ruh sanad dan akhlak. (QS. Ali Imran: 104)

Ayat ini menjadi dasar bagi PERTI untuk terus berijtihad sosial, melahirkan kebijakan, fatwa, dan pendidikan yang relevan bagi zaman.

6. Integrasi Adat, Syarak, dan Ekonomi Umat. Kemandirian jamaah PERTI tak hanya dalam bidang dakwah, tetapi juga ekonomi sosial.

Gerakan zakat produktif, wakaf pendidikan, dan surau enterpreneurial dapat menjadi model ekonomi moral Islam Nusantara.

Dalam konteks fiqh kontemporer, inilah yang disebut “Fiqh al-‘Umran” (Ibnu Khaldun) — membangun peradaban dengan landasan iman, ilmu, dan ekonomi bermoral.

Adat menyatakan, “Syarak mangato, adat mamakai.”

Bukan dualisme, tetapi sintesis — antara wahyu dan realitas lokal yang menegakkan keseimbangan sosial.

Kekentalan jamaah PERTI di abad 21 bukan sekadar nostalgia sejarah, tetapi energi peradaban Islam Nusantara.

Selama jamaah PERTI menjaga keseimbangan antara sanad dan sains, adat dan syarak, serta tradisi dan inovasi, maka jamaah ini akan tetap menjadi pelita di tengah kegelapan zaman. “Dari Candung cahayo barapi, ka nagari manjadi sinaran;

PERTI indak baranti di hati, mambangun umat jo peradaban.”

Kesimpulan 

Kekentalan jamaah adalah bentuk nyata dari iman yang hidup dan sosial yang beradab. Ia bukan sekadar jaringan organisatoris, melainkan jaringan ruhani yang menyatukan ulama, umat, dan budaya.

PERTI akan terus bertahan — karena ia bukan hanya sejarah, tetapi amanah peradaban.

Inilah saatnya membumikan pesan leluhur: “Baliak ka surau, baliak ka asal, baliak ka Allah — sabagai jalan pulang nan hakiki.”ds. 05102025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.