![]() |
Oleh: Duski Samad
Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang dan Anak Siak 1973-1981
Sebutan santri aslinya dikenal luss di Pulau Jawa dan daerah lain yang pegembangan Islam berawal dari Jawa atau memiliki hubungan etnis dengan masyarakat Jawa. Sedangkan di daerah lain, sebutan Santri untuk mereka yang belajar di lembaga sejenis Pesantren berbeda sebutannya. Di Minangkabau (baca Sumatera Barat sebahagian wilayah Jambi, Riau dan Sumatera Utara) Santri dipanggil dengan Anak Siak.
Beragam sebutan itu, sejak era orde baru, kata Santri seolahnya sudah menjadi nomeklatur satu-satunya untuk merepresentasikan mereka yang belajar di pendidikan agama selain Madrasah. Sepertinya juga terma Pondok Pesantreren sudah menutupi semua bentuk pendidikan Islam menengah selali Madrasah dan Sekolah.
Alasan nomeklatur resmi yang ditetapkan ini Santri dan Pondok Pesantren ini telah meredupkan terma Surau Mangaji, di Sumatera Barat, Dayah, Meunasah, di Aceh dan istilah lain. Ketika bantuan Kemetenrian Agama hanya diperuntukkan bagi Pondok Pesantren, nama-nama lain menyesuaikan diri. Lebih cepat lagi perubahan itu terjadi ketika Hari Santri ditetapkan oleh Pemerintah.
Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia yang memadukan antara dimensi sakral (transendensi, spiritualitas, dan nilai-nilai keulamaan) dengan dimensi profan (praktik sosial, budaya, dan politik). Peringatan Hari Santri setiap 22 Oktober menjadi ruang refleksi atas transformasi pesantren dan peran santri di tengah modernitas. Artikel ini menganalisis dialektika antara sakral dan profan dalam konteks pesantren menggunakan pendekatan sosiologi agama Émile Durkheim, teori fungsionalisme Talcott Parsons, serta pendekatan Islam profetik menurut Kuntowijoyo.
Pondok pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga pusat spiritual dan moral masyarakat Muslim Nusantara. Ia lahir dari kebutuhan umat untuk tafaqquh fiddin (memahami agama) dan berfungsi sebagai institusi pewaris nilai keulamaan. Hari Santri Nasional yang diperingati sejak 22 Oktober 2015 oleh Presiden Joko Widodo melalui Keppres No. 22 Tahun 2015 merupakan pengakuan negara terhadap kontribusi historis dan spiritual pesantren dalam membentuk bangsa Indonesia.
Makna dan Hakikat Santri
Mencermati kata santri berasal dari akar kata “cantrik” dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti murid yang mengabdi kepada guru, dan dalam konteks Islam diidentikkan dengan penuntut ilmu agama yang hidup dalam sistem pesantren. Namun, esensi santri jauh melampaui status belajar agama. Ia adalah manusia pencari kebenaran yang hidup dengan nilai-nilai wahyu, berdisiplin ilmu, dan berakhlak mulia. Santri bukan sekadar pelajar agama, tetapi manusia profetik (berwatak kenabian) yang meneladani Nabi Muhammad ﷺ dalam pikiran, sikap, dan tindakan.
Pilar Hakikat Santri
a. Iman sebagai fondasi sacral. Santri hidup dalam keyakinan bahwa seluruh aktivitasnya adalah ibadah. Ia menata kehidupan dengan prinsip: “Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin” (Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam) — QS. Al-An‘am [6]: 162. Iman adalah energi batin santri yang membuatnya teguh menghadapi cobaan hidup, tidak tergoda oleh dunia, dan selalu sadar akan makna hidup sebagai hamba Allah.
b. Ilmu sebagai jalan hidup. Santri adalah pencinta ilmu. Ia belajar bukan untuk kebesaran diri, tetapi untuk kemuliaan akal dan manfaat bagi umat. Ilmu bukan milik dunia atau akhirat semata, tetapi jembatan menuju kebenaran dan kebijaksanaan. “Barangsiapa dikehendaki Allah menjadi baik, maka Allah memahamkannya tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Santri meneladani tradisi tafaqquh fiddin (pendalaman agama) sekaligus terbuka terhadap ilmu modern: teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya — dengan tetap menjaga ruh ilahiah di dalamnya.
c. Akhlak sebagai mahkota. Hakikat santri berpuncak pada akhlak. Ilmu tanpa akhlak hanyalah kesombongan intelektual. Karena itu, pesantren mendidik santri bukan hanya berpikir benar, tetapi juga bersikap benar, berjiwa tawadhu, dan beradab kepada guru serta sesama. “Innamā bu‘itstu li utammima makarimal akhlāq” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia) — HR. Malik.
Santri sebagai Manusia Profetik
Mengacu pada gagasan Kuntowijoyo, santri adalah manusia profetik yang menjalankan tiga misi utama: Humanisasi (Amar Ma’ruf): Menebar kasih sayang dan nilai kemanusiaan. Liberasi (Nahi Munkar): Melawan kebodohan, kemiskinan, dan kezaliman. Transendensi (Iman kepada Allah): Menghubungkan seluruh aktivitas sosial dengan nilai ilahiah. Santri tidak sekadar taat beragama, tetapi beragama secara cerdas dan berkeadaban — menjadi agen moral di tengah masyarakat.
Santri dalam Konteks Modern
Dalam konteks kekinian, esensi santri tidak berubah, hanya wadah dan bentuk pengabdiannya yang berkembang: Santri bisa menjadi akademisi, pejabat, pengusaha, atau aktivis sosial, selama ruh kesantriannya tetap hidup: sederhana, jujur, berilmu, dan berakhlak. Hari Santri mengingatkan bahwa menjadi santri bukan hanya status masa lalu, tapi identitas seumur hidup. Santri sejati tidak diukur dari tempat ia belajar, tetapi dari cara ia menebarkan cahaya ilmu dan akhlak di mana pun ia berada.
hakikat santri adalah keseimbangan antara iman, ilmu, dan amal. Santri hidup untuk beribadah, belajar untuk memahami, dan beramal untuk memanusiakan sesama. Ia adalah simbol keberlanjutan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. “Santri itu bukan sekadar orang yang mondok, tetapi orang yang memondokkan hidupnya untuk Allah dan kemaslahatan manusia.”
Namun, dalam konteks modern, pesantren menghadapi dialektika antara sakralitas tradisi keulamaan dan profanitas kehidupan sosial-politik kontemporer. Santri kini bukan hanya penjaga kitab kuning, tetapi juga aktor perubahan sosial.
1. Pesantren Sebagai Ruang Sakral: Warisan Spiritualitas Islam Nusantara
Sakralitas pesantren terletak pada tiga unsur pokok: kyai (ulama), santri (anak didik), dan kitab kuning (turast berbahasa arab). Ketiganya membentuk habitus religius yang merepresentasikan dunia spiritual Islam di Nusantara. Dalam perspektif teologis, pesantren adalah realisasi dari firman Allah: “Yarfa‘illāhu alladzīna āmanū minkum walladzīna ūtul-‘ilma darajāt” (Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu) – QS. Al-Mujadilah [58]: 11.
Ayat ini menegaskan kedudukan pesantren sebagai medan pendidikan ruhani yang membentuk insan kamil. Relasi antara kyai dan santri bersifat transendental pedagogis — kyai sebagai mursyid, santri sebagai salik yang menempuh jalan ilmu dan akhlak. Dalam kerangka ini, pesantren menjadi locus sakralisasi ilmu. Aktivitas mengaji, wirid, dan khidmat kepada guru tidak hanya bernilai kognitif tetapi juga spiritual. Menurut tradisi sufistik menuntut ilmu adalah ziarah jiwa kepada sumber cahaya ilahi.
2. Santri dan Kehidupan Profan: Transformasi Sosial Pesantren
Di sisi lain, realitas modern menuntut pesantren untuk bertransformasi menjadi lembaga sosial yang adaptif. Santri kini aktif dalam berbagai ranah profan — pendidikan umum, teknologi, ekonomi kreatif, bahkan politik kebangsaan. Menurut Kuntowijoyo, Islam profetik menuntut keberagamaan yang tidak hanya bersifat transendental tetapi juga transformasional. Santri bukan sekadar subjek sakral, tetapi agen perubahan sosial.
Beberapa indikator transformasi tersebut: 1. Pesantren mengembangkan unit usaha ekonomi dan koperasi umat.2. Santri terlibat dalam advokasi sosial dan politik kebangsaan.3. Pendidikan pesantren memasukkan sains, teknologi, dan kewirausahaan. Hari Santri mobilisasi sosial dan ekspresi kebanggaan identitas nasional. Transformasi ini menegaskan bahwa profanitas tidak meniadakan kesakralan, melainkan memperluas manifestasinya dalam ruang sosial modern.
3. Dialektika Sakral–Profan dalam Perspektif Sosiologi Agama
Dalam pandangan Émile Durkheim, agama membedakan antara hal-hal sakral (suci, spiritual) dan profan (duniawi, biasa). Namun, keduanya saling membutuhkan: yang sakral memberi makna pada yang profan, dan yang profan menghidupkan yang sakral dalam tindakan sosial.
Pesantren menjadi contoh konkret institusionalisasi kesakralan dalam bentuk lembaga sosial. Sakralitasnya: nilai, ajaran, dan ritual yang dijaga. Profanitasnya: aktivitas ekonomi, pendidikan umum, dan relasi politik yang diadaptasi.
Keduanya berpadu membentuk fungsi integratif dalam masyarakat sebagaimana digambarkan oleh Talcott Parsons: lembaga keagamaan berfungsi mempertahankan sistem nilai, mengontrol perilaku sosial, dan menyesuaikan diri dengan perubahan sosial.
4. Hari Santri: Simbolisasi Negara atas Kesakralan Kolektif
Penetapan Hari Santri oleh negara merupakan upaya sekularisasi yang bermartabat, yakni mengangkat nilai sakral ke ruang publik tanpa menguranginya. Dalam bahasa Durkheim, ini adalah bentuk collective effervescence — ledakan emosi keagamaan kolektif yang memperkuat solidaritas sosial.
Namun, di sisi lain, muncul risiko banalitas: ketika Hari Santri dirayakan sebatas seremonial, tanpa kesadaran spiritual dan historis. Karena itu, momentum ini harus diorientasikan kepada: Penguatan karakter santri sebagai kader ulama dan intelektual bangsa. Konsolidasi pesantren sebagai basis peradaban moral dan kebangsaan. Integrasi nilai sakral dalam ranah profan: pendidikan, ekonomi, dan politik beretika.
5. Sintesis: Islam Profetik sebagai Jembatan Sakral dan Profan
Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) menegaskan tiga pilar Islam profetik: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ketiganya menjelaskan posisi santri sebagai jembatan antara dunia sakral (iman dan ilmu) dengan dunia profan (amal dan perubahan sosial).
Humanisasi: Santri membela nilai kemanusiaan, bukan hanya golongan. Liberasi: Santri memerdekakan umat dari kebodohan dan kemiskinan. Transendensi: Santri menjaga hubungan vertikal dengan Allah dalam setiap aksi sosial. Dengan paradigma ini, pesantren menjadi wadah lahirnya “manusia profetik”, sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ menjadi teladan spiritual dan transformasional.
Kesimpulan
Pondok pesantren dan santri hidup dalam dialektika antara sakral dan profan. Sakralitasnya terletak pada kesetiaan terhadap nilai-nilai wahyu dan tradisi ulama. Profanitasnya hadir dalam keterlibatan aktif dalam masyarakat modern. Hari Santri harus dimaknai sebagai ruang refleksi untuk mempertemukan keduanya — menjaga spiritualitas di tengah modernitas.
Santri bukan sekadar simbol masa lalu, tetapi pionir peradaban masa depan. “Dari pesantren lahir santri, dari santri lahir ulama, dari ulama lahir peradaban. ”DS.19102025.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim.
Durkheim, Émile. The Elementary Forms of Religious Life. New York: Free Press, 1995.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994.
Nurcholish Madjid. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.
Haedari, Azyumardi Azra. Pesantren dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2002.
Samsul Ma’arif. Santri dan Politik Kebangsaan. Yogyakarta: LKIS, 2019.

