![]() |
Oleh : Duski Samad
Sejak Agustus 2025 jagad media sosial menyuguhkan berita viral, bukan saja di Jakarta pusat pemerintah, tetapi juga di daerah misalnya tantangan Bupati Pati yang dijawab masyarakat dengan demo yang ujungnya ricuh. Demo 25 sampai 31 Agustus 2025 juga tidak sedikit meninggalkan efek yang di luar tidak sehat. Penjarahan rumah pribadi pejabat dan anggota DPR RI tidak mudah menjelaskannya kok sejauh itu, apa yang terjadi?
Kasus tak jauh beda sore ini penulis dikirimi pula berita viral di medsos vidio tentang pengusiran Wakil Bupati Padang Pariaman yang akan melakukan dialog dengan masyarakat dalam penyelesaian tanah. Sebelumnya juga ada kegaduhan di medsos, perang media antara tokoh masyarakat dengan Bupati terkait pembatalan festival budaya.
Fenomena ini dapat dipahami sebagai gejala pergeseran relasi pejabat publik–rakyat, dari hubungan hierarkis-tradisional menuju relasi kritis-transaksional. Kajian ini menggunakan pendekatan politik, sosiologis, dan tata kelola pemerintahan (governance) untuk memahami akar masalah dan dampaknya bagi stabilitas demokrasi lokal.
Konflik antara pejabat publik dengan masyarakat bukan fenomena baru di daerah. Namun kasus Padang Pariaman 2025 menarik untuk dicermati karena memperlihatkan keterkaitan antara krisis internal elite, kegagalan komunikasi publik, dan mobilisasi massa.
Data dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2024 menunjukkan tren menurunnya kualitas demokrasi di Sumatera Barat pada indikator partisipasi politik dan peran birokrasi (BPS, 2024). Fenomena ini paralel dengan meningkatnya demonstrasi di tingkat lokal di Padang Pariaman.
Latar Peristiwa
Perang Media. Tokoh masyarakat Padang Pariaman menentang keputusan Bupati yang membatalkan festival budaya tahunan. Festival tersebut selama ini dianggap sebagai ajang konsolidasi budaya dan ekonomi lokal.
Pengusiran Wakil Bupati. Konflik internal elite mengemuka saat Wakil Bupati diusir dari forum resmi pemerintahan. Media lokal (Padang Ekspres, Haluan) mencatat bahwa peristiwa ini menimbulkan preseden buruk dalam tata kelola politik daerah.
Polarisasi Elite vs Publik. Konflik Bupati–Wakil Bupati memperlihatkan lemahnya mekanisme internal pemerintahan. Ketika konflik melebar ke publik, rakyat kehilangan figur pemersatu. Krisis Kepemimpinan Lokal. Pembatalan festival tanpa partisipasi publik dipersepsikan sebagai sikap otoriter. Menurut teori political legitimacy (Weber, 1978), legitimasi kekuasaan yang hanya berbasis formal-legal tanpa dukungan moral dan kultural akan rapuh.
Analisis Sosiologis
Budaya Minangkabau. Minangkabau menjunjung musyawarah mufakat dan prinsip ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah). Kebijakan tanpa konsultasi publik, apalagi menyangkut festival budaya, dianggap mengabaikan falsafah lokal.
Peran Media Sosial. Media sosial mempercepat eskalasi konflik. Survei Katadata Insight (2023) menyebut 68% masyarakat Sumbar mendapatkan informasi politik dari media sosial, bukan dari kanal resmi pemerintah.
Relasi Baru Rakyat–Pejabat. Dahulu pejabat publik dipandang sebagai pangulu yang dihormati, kini rakyat lebih kritis. Demonstrasi adalah wujud pergeseran relasi menuju model horizontal, di mana rakyat menuntut akuntabilitas, bukan sekadar kepatuhan.
Analisis Governance
Prinsip Good Governance (UNDP, 1997): transparansi, akuntabilitas, partisipasi → absen dalam kasus ini. Kegagalan Partisipasi pembatalan festival tanpa musyawarah.
Kegagalan Transparansi: konflik elite dipertontonkan ke publik, bukan diselesaikan internal. Kegagalan Akuntabilitas: demo besar terjadi karena saluran formal tidak dipercaya.
Dampak bagi Daerah
Krisis Kepercayaan Publik: legitimasi pemerintah daerah melemah. Polarisasi Sosial-Politik: rakyat terbelah mendukung atau menolak Bupati. Stagnasi Pembangunan: energi elite habis untuk konflik internal. Risiko Instabilitas: konflik berulang bisa mengundang intervensi pusat.
Relevansi Kontemporer.
Fenomena Padang Pariaman sejalan dengan pola krisis demokrasi lokal di banyak daerah di Indonesia: konflik elite, lemahnya transparansi, dan bangkitnya kontrol rakyat melalui demonstrasi serta media sosial. Ini menegaskan pentingnya rekonstruksi hubungan pejabat publik–rakyat berbasis trust, komunikasi partisipatif, dan penghormatan terhadap nilai budaya lokal.
Kasus Padang Pariaman pasca demo 31 Agustus 2025 menunjukkan adanya pergeseran relasi pejabat publik dengan rakyat, dari model hierarkis tradisional menuju model horizontal yang lebih kritis. Konflik elite, kebijakan tidak partisipatif, dan perang media mempercepat delegitimasi pemerintah daerah. Jika pola ini tidak diantisipasi dengan reformasi komunikasi publik, penguatan partisipasi, dan revitalisasi nilai ABS-SBK, maka daerah berisiko mengalami instabilitas politik dan stagnasi pembangunan.
Rakyat kini tidak hanya sebagai penerima kebijakan, melainkan aktor aktif dalam mengontrol kekuasaan. Demokrasi lokal hanya dapat bertahan jika pejabat publik memahami perubahan ini dan menata ulang relasi mereka dengan rakyat.
Kutipan Akademik
Max Weber (1978) menegaskan bahwa legitimasi politik tidak bisa bertahan hanya dengan otoritas legal-rasional, tetapi juga harus didukung oleh kepercayaan moral dan kultural masyarakat. Kasus Padang Pariaman menunjukkan rapuhnya legitimasi ketika aspek moral dan partisipasi diabaikan.
Robert Dahl (Polyarchy, 1971) menyebutkan partisipasi dan kompetisi adalah dua pilar demokrasi. Jika partisipasi publik dihambat, maka demokrasi lokal akan berubah menjadi sekadar formalisme tanpa substansi.
Samuel Huntington (Political Order in Changing Societies, 1968) menegaskan bahwa ketidakstabilan politik sering muncul bukan karena terlalu banyak partisipasi rakyat, tetapi karena lemahnya institusi politik dalam menyalurkan aspirasi.
Kutipan Al-Qur’an
QS. An-Nisā’ ayat 58“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” Ayat ini menegaskan, amanah dan keadilan adalah syarat mutlak pemimpin.
QS. Hūd ayat 113“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka...” Larangan keras bersekutu dengan kezaliman, termasuk dalam bentuk mendukung atau membiarkan pemimpin yang bertindak sewenang-wenang.
Kutipan Hadis
“Tidaklah seorang hamba yang Allah jadikan pemimpin atas rakyat, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Amanah kepemimpinan adalah tanggung jawab berat, dan penipuan politik adalah dosa besar.“Sesungguhnya manusia itu mengikuti agama pemimpinnya.” (HR. Baihaqi). Moral pemimpin akan langsung memengaruhi moral sosial rakyat.
“Pemimpin adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.” (HR. Bukhari-Muslim). Konsep accountability dalam hadis ini paralel dengan prinsip good governance.
Perspektif akademik dan normatif di atas jelaslah bahwa pergeseran relasi pejabat publik–rakyat tidak bisa dibendung dengan pendekatan otoritas semata. Demokrasi lokal membutuhkan institusi kuat, partisipasi rakyat yang sehat, dan pemimpin yang amanah.
Ketika elite gagal menjaga amanah dan keadilan, rakyat akan menuntut dengan cara baru: demonstrasi, media sosial, hingga mobilisasi kolektif. Inilah tanda bahwa rakyat semakin sadar peran sebagai khalifah fi al-ardh yang memiliki hak untuk mengontrol jalannya kekuasaan.
Pesan Final: Kekuasaan tanpa amanah hanya melahirkan krisis legitimasi. Kekuasaan yang amanah akan memperkuat stabilitas, kepercayaan, dan pembangunan yang berkeadilan. ds.13092025.

