![]() |
Oleh: Duski Samad
Khutbah Masjid Kantor Gubernur Sumatera Barat, Jumat, 12 September 2025.
Klimaks kerusakan moral pemimpin adalah titik puncak ketika seorang pemimpin kehilangan seluruh integritasnya: Tidak lagi berpegang pada nilai agama & etika.Menggunakan kekuasaan demi syahwat pribadi. Menjadi teladan buruk bagi masyarakat.
Dalam istilah Qur’an: zulm (kezaliman), fasiq (melanggar hukum Allah), dan khianat (tidak amanah).
Tanda-Tanda Klimaks Kerusakan Moral.
Penyalahgunaan Kekuasaan jabatan dijadikan alat memperkaya diri/kelompok. Korupsi Struktural melibatkan jaringan elite, merusak sistem hukum dan ekonomi. Kebohongan Publik pemimpin yang gemar berbohong, menipu rakyat dengan janji palsu. Hilangnya Rasa Malu (haya’) maksiat dipamerkan, hedonisme dipertontonkan. Mengabaikan Rakyat, abai terhadap keadilan, kesejahteraan, dan hak-hak rakyat kecil. Membiarkan Kezaliman, diam atau mendukung praktik zalim di lingkar kekuasaan.
Analisis Qur’ani dan Kisah Nabi.
Firaun, simbol kekuasaan absolut yang menolak kebenaran dan menindas rakyat. Kaum Nabi Hūd, Nūh, dan Syu‘aib hancur karena pemimpin mereka membiarkan kesombongan, penindasan, dan kecurangan ekonomi. QS. Hūd: 113 larangan condong kepada orang zalim, karena kezaliman pemimpin menjerumuskan seluruh umat.
Analisis Politik dan Ilmiah
Politik, pemimpin rusak moralnya akan menciptakan state failure, negara gagal melindungi rakyat. Sosiologi, masyarakat kehilangan role model; rakyat pun ikut permisif terhadap korupsi dan penyimpangan. Psikologi Politik, pemimpin yang rusak moral cenderung narsistik, otoriter, dan manipulatif.
Ilmu Tata Negara, krisis legitimasi, rakyat kehilangan kepercayaan, potensi konflik sosial dan instabilitas.
Akibat bagi Negara
1Krisis Kepercayaan Publik, rakyat apatis, tidak percaya pada negara. Polarisasi Sosial, pecahnya masyarakat karena manipulasi politik. Stagnasi Pembangunan, kebijakan hanya menguntungkan elite.
Keruntuhan Peradaban, seperti bangsa-bangsa terdahulu yang hancur akibat pemimpin zalim.
Klimaks kerusakan moral pemimpin tidak datang tiba-tiba, tapi akumulasi: lemahnya pendidikan moral, budaya permisif, dan sistem politik yang korup.
Solusi: etika kepemimpinan, kontrol publik, dan integrasi nilai agama dalam tata kelola negara.
Ketika pemimpin sampai pada klimaks kerusakan moral, kehancuran negara hanya menunggu waktu. Karena rusaknya pemimpin adalah rusaknya umat, sebagaimana sabda Nabi: “Dua golongan dari umatku, bila baik keduanya maka baiklah manusia; bila rusak keduanya maka rusaklah manusia, yaitu pemimpin dan ulama.” (HR. Abu Nu‘aim).
Analisis Surat Hūd Ayat 112–113
QS. Hūd: 112...Maka tetaplah engkau (Muhammad) pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan orang yang telah bertaubat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
QS. Hūd: 113...Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.
Konteks Kisah Para Nabi dalam Surat Hūd
Surat Hūd sarat dengan kisah nabi-nabi terdahulu, yang berfungsi sebagai penguat hati Rasulullah ﷺ dalam menghadapi tantangan dakwah.
Nabi Hūd: menghadapi kaum ‘Ād yang angkuh dengan kekuatan fisik dan peradaban, tapi ingkar terhadap tauhid.
Nabi Nūh: menghadapi penolakan kaumnya yang mengejek, bahkan mendustakan meski sudah diberi peringatan panjang.
Nabi Syu‘aib: melawan praktik ekonomi zalim (curang dalam takaran & timbangan) yang merusak keadilan sosial.
Ayat 112–113 adalah klimaks moral dari seluruh kisah itu: meski nabi-nabi menghadapi penolakan, mereka tetap teguh pada kebenaran dan tidak condong pada kezaliman.
Analisis Tafsir Klasik
Tafsir al-Ṭabarī: Ayat 112 adalah perintah istiqāmah; konsisten dalam ketaatan adalah perintah yang paling berat, sehingga membuat rambut Rasulullah beruban.
Tafsir Ibn Kathīr: Ayat 113 melarang condong pada orang zalim, bahkan sekadar simpati, karena bisa menyeret pada azab bersama mereka.
Tafsir al-Qurṭubī: Kezaliman yang dimaksud mencakup kezaliman struktural (pemimpin lalim) maupun kezaliman sosial (korupsi, eksploitasi).
Analisis Kontemporer
Ayat ini mengandung pesan besar bagi umat di era modern:
a. Politik dan Kepemimpinan
Menjadi pengingat agar umat tidak ikut melanggengkan kekuasaan zalim, baik melalui dukungan politik, sikap permisif, maupun apatisme.
Relevan dengan prinsip good governance dan demokrasi: teguh pada keadilan, jangan kompromi dengan penyalahgunaan kekuasaan.
b. Ekonomi dan Sosial
Mengingatkan agar tidak mendukung sistem ekonomi curang, kapitalisme eksploitatif, atau praktik koruptif.
Sama seperti kaum Nabi Syu‘aib, masyarakat kontemporer juga dihadapkan pada ketidakadilan ekonomi: monopoli, inflasi buatan, korupsi.
c. Spiritual dan Moral
Istiqāmah adalah kunci. Umat dituntut tidak hanya berislam secara ritual, tapi juga konsisten dalam moral dan etika publik.
Menghindari condong pada budaya zalim: hedonisme, sekularisme ekstrem, politik uang.
d. Ekologi dan Kemanusiaan
Nabi Nūh dan Hūd menghadapi umat yang lalai menjaga amanah bumi. Ayat ini relevan dengan krisis ekologis saat ini: perubahan iklim, eksploitasi alam.
Menjadi peringatan bahwa kerusakan alam adalah akibat ketidakadilan struktural dan kolektif.
Pelajaran untuk Umat Kontemporer
1. Istiqāmah → konsistensi dalam tauhid, akhlak, dan perjuangan sosial.
2. Anti-Zalim → jangan sekadar tidak berbuat zalim, tapi juga jangan mendukung dan menikmati hasil kezaliman.
3. Keteguhan Moral Publik → politik, ekonomi, hukum, media, dan pendidikan harus berpihak pada kebenaran.
4. Keadilan Sosial → membangun sistem yang melindungi yang lemah, bukan menguntungkan segelintir orang.
5.Kesimpulan
QS. Hūd 112–113 adalah perintah istiqāmah dan larangan kompromi dengan kezaliman, yang ditegaskan melalui kisah para nabi. Relevansinya di era kontemporer: umat Islam harus tegas menolak segala bentuk kezaliman, baik dalam politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Jika umat condong pada kezaliman, mereka akan ikut terseret dalam akibatnya.ds.12092025.

