Type Here to Get Search Results !

Situs Cagar Budaya Surau Gadang Syekh Burhanuddin: Antara Pengakuan, Evidensi, dan Rekognisi

Oleh: Duski Samad

Abstrak

Artikel ini membahas Surau Gadang Syekh Burhanuddin Tanjung Medan, Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, sebagai situs cagar budaya yang ditetapkan pada tahun 2014. Dengan pendekatan historis-sosiologis, tulisan ini menguraikan tiga dimensi utama: pengakuan formal negara, evidensi tradisi ritual Basapa setiap Rabu kedua bulan Safar, dan rekognisi masyarakat lokal maupun regional.

Kajian ini menekankan bahwa pelestarian Surau Gadang tidak hanya berupa konservasi fisik, tetapi juga rekonstruksi narasi, edukasi publik, dan rekonsiliasi genealogis. Analisis menggunakan teori lieu de mémoire (Pierre Nora), solidaritas mekanik (Durkheim), serta cultural recognition (Charles Taylor).

Kata kunci: Surau Gadang, Syekh Burhanuddin, Cagar Budaya, Minangkabau, Basapa.

Pendahuluan

Surau Gadang Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan Tapakis merupakan salah satu pusat penting dalam sejarah Islamisasi Minangkabau. Surau ini didirikan oleh Syekh Burhanuddin (1646–1704 M / 1056–1116 H), murid Syekh Abdurrauf as-Singkili dari Aceh, dan menjadi pusat penyebaran tarekat Syattariyah.

Fungsinya tidak sebatas tempat ibadah, melainkan juga lembaga pendidikan, pusat tarekat, serta arena pembentukan identitas kolektif masyarakat Minangkabau (Azra, 1994; Yunus, 1984).

Tahun 2014, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat menetapkan Surau Gadang sebagai situs cagar budaya.

Penetapan ini bukan hanya pengakuan administratif, tetapi juga bentuk legitimasi negara terhadap pentingnya warisan budaya Islam Nusantara.

Tulisan ini menyoroti tiga aspek penting:

Pengakuan formal (state recognition).

Evidensi ritual Basapa (living heritage).

Rekognisi masyarakat (cultural recognition).

Kerangka Teori

Cagar Budaya dan Warisan Memori

Menurut UU No. 11/2010, cagar budaya adalah warisan kebendaan yang bernilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan agama. Pierre Nora (1989) menyebutnya sebagai lieu de mémoire (tempat memori) yang menyimpan identitas kolektif.

Sosiologi Agama dan Solidaritas

Durkheim (1912) menegaskan bahwa ritual kolektif memperkuat solidaritas sosial. Tradisi Basapa dapat dibaca sebagai ekspresi solidaritas mekanik yang memperkuat ikatan masyarakat Minangkabau.

Rekognisi Budaya

Charles Taylor (1994) menekankan pentingnya cultural recognition dalam menjaga identitas komunitas. Rekognisi masyarakat terhadap Surau Gadang memperkuat legitimasi tradisi keagamaan lokal di tengah modernitas.

Pembahasan

1. Pengakuan sebagai Cagar Budaya (2014)

Penetapan Surau Gadang sebagai cagar budaya dilakukan oleh BPCB Sumatera Barat pada 2014. Hal ini menandai transisi dari warisan lokal menuju heritage nasional. Menurut Taufiq Abdullah (1987), sejarah lokal hanya bisa bertahan jika memperoleh legitimasi dalam narasi besar bangsa. Pengakuan ini penting untuk menjamin perlindungan hukum dan anggaran pelestarian.

2. Evidensi Tradisi Basapa

Basapa, ritual ziarah tahunan setiap Rabu kedua bulan Safar, dimulai dari Surau Gadang sebelum menyebar ke situs-situs lain. Tradisi ini membuktikan kesinambungan spiritual dari abad ke-17 hingga kini. Menurut Azra (1994), tarekat Syattariyah yang diajarkan Syekh Burhanuddin menjadi fondasi tradisi ini. Secara sosiologis, Basapa adalah mekanisme reproduksi sosial yang memperkuat identitas kolektif umat Minangkabau.

3. Rekognisi Masyarakat

Masyarakat Minangkabau merekognisi Surau Gadang sebagai pusat spiritual dan keilmuan. Mahmud Yunus (1984) menegaskan bahwa “surau bukan sekadar tempat ibadah, melainkan pusat peradaban Minangkabau.” Rekognisi ini terlihat dalam loyalitas jamaah Syattariyah, penghormatan genealogis terhadap murid-murid Syekh Burhanuddin, dan partisipasi massal dalam Basapa.

4. Strategi Pelestarian

Narasi Bulat dan Utuh: Perlu penyusunan historiografi terpadu yang memadukan versi akademik (Azra, Taufiq Abdullah, Yunus) dengan tradisi lisan.

Edukasi Publikasi dan Viralitas: Surau Gadang harus diposisikan sebagai pusat edukasi publik. Digitalisasi manuskrip, konten edukasi, dan media sosial dapat menjadikannya ikon global Islam Nusantara.

Rekonsiliasi Silsilah: Perbedaan versi genealogis murid Syekh Burhanuddin perlu direkonsiliasi untuk mencegah fragmentasi sosial. Rekonsiliasi ini dapat dilakukan melalui forum ulama, akademisi, dan ninik mamak.

Kesimpulan

Surau Gadang Syekh Burhanuddin adalah situs cagar budaya dengan nilai historis, religius, dan sosiologis tinggi. Tiga dimensi penting—pengakuan formal, evidensi ritual, dan rekognisi masyarakat—menunjukkan bahwa pelestarian tidak cukup hanya dengan menjaga bangunan, tetapi juga harus merawat memori kolektif, tradisi hidup, dan kesepakatan sosial.

Dengan strategi narasi bulat, edukasi publik, dan rekonsiliasi silsilah, Surau Gadang dapat terus menjadi simbol Islam Nusantara yang inklusif, moderat, dan berakar pada budaya Minangkabau.

ds.23082025.observasi dan wawancara dengan Sulyahril Kuthan Tuanku

Kuning khalifah ke 15. Ahad 24082024.

Daftar Pustaka 

• Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII–XVIII. Bandung: Mizan, 1994.

• Durkheim, Emile. The Elementary Forms of Religious Life. New York: Free Press, 1912.

• Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1984.

• Nora, Pierre. Between Memory and History: Les Lieux de Mémoire. Representations, No. 26 (1989).

• Taylor, Charles. Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Princeton: Princeton University Press, 1994.

• Taufiq Abdullah. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987.

• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

*Guru Besar UIN Imam Bonjol san Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin 



Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.