Type Here to Get Search Results !

Living Heritage (Warisan) Syekh Burhanuddin: (2) Tarekat, Khalifah, dan Rekognisi Masyarakat Minangkabau

Oleh: Duski Samad

Ahad, 24 Agustus 2025 penulis ditemani dua orang sahabat peneliti mengunjungi Cagar Budaya Surau Gadang Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan dengan tujuan utama bersilaturahim dengan Buya Syahril Luthan Tuanku Kuning dalam figura yang dibetonkan di halaman cagar budaya itu dicatat sebagai khalifah ke XV lengkap dengan urutan satu sampai lima belas dalam tulisan Arab dan Indonesia. 

Dalam diskusi dengan beberapa tokoh yang menjaga dan menerima penziarah ke tempat ini kemudian dilanjutkan kunjungan ke kediaman Tuanku Khalifah ke XV ini juga didampingi beberapa tokoh dan wali nagari Sandi Ulakan ditemukan banyak mutiara berharga yang berkaitan dengan warisan Syekh Burhanuddin. Saat ini cagar budaya yang sudah ditetapkan pemerintah sejak tahun 2014 lalu masih ada pihak yang membelokkan sejarahnya dan sering terjadi kesalahan persepsi antara sesame pengikut Syekh Burhanuddin. Berita media juga sudah ditetapkan makam Syekh Burhanuddin di Ulakan sebagai Cagar Budaya. 

Harus diakui meluasnya dinamika social dan keilmuan tentang Syekh Burhanuddin ini telah menimbulkan pertanyaan “Ada apa sebenarnya dengan keberadaan Syekh Burhanuddin Ulakan?”Jawabannya paling sederhana adalah begitulah mulianya ulama, setelah wafatpun ia memberi kehidupan bagi orang sekitarnya. Artinya adanya dinamika dan persepsi yang berbeda dapat dimaklumi karena lemahnya pewarisan nilai, sejarah dan kualitas pelanjut yang mudah distorsi di era media social ini.

Dalam pandangan penulis keberadaan warisan ini dapat diuraikan dalam beberapa dimensi yakni sejarah, agama, sosial, dan budaya, karena figur beliau bukan sekadar ulama, tapi juga ikon transformasi peradaban di Minangkabau.

1. Dimensi Sejarah

Syekh Burhanuddin Ulakan (1646–1704 M) adalah murid utama Syekh Abdurrauf as-Singkili (ulama besar Aceh). Dari gurunya, beliau memperoleh ijazah Tarekat Syattariyah dan ilmu agama yang lengkap. Sekembalinya ke Minangkabau, beliau mendirikan Surau Gadang Tanjung Medan Ulakan sekitar 1680. Surau ini menjadi pusat pendidikan, dakwah, dan kaderisasi ulama di Minangkabau.

Dengan kehadiran beliau, Minangkabau memasuki fase penting islamisasi: dari Islam yang masih bercampur dengan adat dan tradisi lokal menjadi Islam yang lebih mapan, berbasis tafaqquh fiddin.

2. Dimensi Agama (Tarekat dan Syariat)

Syekh Burhanuddin menekankan pentingnya menggabungkan syariat (fiqih) dengan tasawuf (tarekat). Beliau mendidik murid-muridnya agar: Berpegang teguh pada hukum Allah (syariat). Menghidupkan dzikir, wirid, dan pembersihan hati (tasawuf). Pesan ini dalam memenuhi maksud al-Quran surat. Al-Jumu’ah:2: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka dan mengajarkan Kitab dan Hikmah...” Hadis: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Ahmad). Syekh Burhanuddin meneruskan misi kenabian: menyucikan jiwa, memperdalam ilmu, dan membangun akhlak mulia.

3. Dimensi Sosial dan Kultural

Keberadaan Syekh Burhanuddin membawa dampak social. Harmonisasi Adat dan Islam. Beliau dikenal sebagai tokoh yang berhasil mengikat falsafah Minangkabau: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Surau sebagai Pusat Pendidikan. Surau Gadang Ulakan menjadi model pendidikan Islam tradisional yang kemudian meluas ke nagari-nagari. Pembentukan Identitas Kolektif. Beliau menjadi simbol persatuan masyarakat Minang melalui tarekat, khalifah, dan tradisi basapa (ziarah Safar). Secara sosiologi agama, beliau menjadi contoh otoritas karismatik (Weber) yang kemudian dilembagakan dalam tradisi surau dan tarekat.

4. Dimensi Rekognisi Masyarakat

Masyarakat Minangkabau menaruh penghormatan tinggi pada Syekh Burhanuddin. Basapa di Ulakan. Ribuan orang hadir setiap Safar sebagai wujud penghormatan ruhani. Cagar Budaya (2014). Surau Gadang Ulakan ditetapkan pemerintah sebagai situs cagar budaya nasional. Penerimaan Kolektif. Beliau dipandang sebagai wali Allah yang membawa berkah (barakah) bagi masyarakat.

Keberadaan Syekh Burhanuddin Ulakan adalah simbol pertemuan antara Islam dan Minangkabau. Beliau bukan sekadar ulama, tapi juga reformer yang: Menyebarkan tarekat bersanad sahih. Melahirkan jaringan khalifah dan surau. Membawa Islam ke jantung adat Minangkabau. Diakui masyarakat sebagai pewaris spiritual, bahkan hingga kini. 

Dengan kata lain, ada apa dengan Syekh Burhanuddin? Ada warisan peradaban Islam Nusantara yang terus hidup dalam hati, budaya, dan identitas masyarakat Minangkabau.

Syekh Burhanuddin Ulakan (1646–1704 M) adalah ulama besar yang menandai fase penting islamisasi Minangkabau. Sebagai murid utama Syekh Abdurrauf as-Singkili (1615–1693 M) di Aceh, beliau memperoleh ijazah Tarekat Syattariyah yang kemudian dibawa ke tanah Minang. Ajaran Syekh Burhanuddin tidak hanya sebatas ritual spiritual, melainkan juga meletakkan fondasi harmonisasi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Kehadiran beliau membentuk tiga warisan utama: (1) silsilah tarekat yang menjadi landasan spiritualitas, (2) khalifah sebagai jaringan penyebaran ilmu dan tarekat, serta (3) rekognisi masyarakat melalui tradisi, institusionalisasi, dan penghormatan sosial. Artikel ini berupaya menganalisis ketiga aspek tersebut dengan pendekatan nash keagamaan, kajian ilmiah, dan perspektif sosiologis.

Landasan Teoretis

Dalil Nash tentang Pewarisan Ilmu dan Spiritualitas. Islam menekankan pentingnya pewarisan ilmu dan sanad. Al-Qur’an (QS. An-Nahl: 43): “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Al-Qur’an (QS. At-Taubah: 122): “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya...” Hadis Nabi SAW: “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR. Abu Dawud). Ayat dan hadis ini menegaskan pentingnya jalur transmisi ilmu (sanad), yang kemudian diwujudkan dalam institusi tarekat.

2. Perspektif Ilmiah

Menurut Azyumardi Azra (1994), transmisi keilmuan Islam di Nusantara berjalan melalui jaringan ulama dan tarekat yang bersanad hingga Timur Tengah. Syekh Burhanuddin merupakan salah satu simpul utama jaringan tersebut. Mahmud Yunus (1979) menyebut bahwa surau di Minangkabau berkembang menjadi pusat pendidikan Islam tradisional yang berfungsi ganda: tempat ibadah, pendidikan, sekaligus pusat kaderisasi ulama.

3. Perspektif Sosiologis

Dalam teori Max Weber, otoritas kharismatik dapat berubah menjadi otoritas tradisional jika diwariskan dan dilembagakan. Dalam konteks Minangkabau, karisma Syekh Burhanuddin diwariskan melalui khalifah dan dilembagakan dalam surau, sehingga melahirkan rekognisi sosial yang kuat.

Analisis

A. Tarekat: Silsilah Ruhani yang Mengakar

Syekh Burhanuddin mendapat ijazah Tarekat Syattariyah dari Syekh Abdurrauf Singkil. Sanad ini bersambung hingga Rasulullah ï·º, menjadikan tarekat bukan sekadar amalan spiritual, tetapi juga otoritas ruhani yang sahih.

Secara empiris, tarekat ini menumbuhkan tradisi tafaqquh fiddin di Minangkabau. Santri yang menimba ilmu di surau tidak hanya diajarkan fikih, tetapi juga dilatih zikir, wirid, dan disiplin spiritual. Hal ini membentuk corak religius masyarakat yang khas: berpegang pada syariat, sekaligus mendalami dimensi tasawuf.

B. Khalifah: Jaringan Ilmu dan Kepemimpinan

Syekh Burhanuddin menunjuk sejumlah muridnya sebagai khalifah yang bertugas menyebarkan tarekat. Dari sini lahirlah jaringan ulama di berbagai nagari. Dimensi ilmiah: sistem khalifah merupakan bentuk decentralized learning, di mana ilmu tersebar secara merata melalui surau di tiap nagari. Dimensi sosiologis: khalifah berperan sebagai pengikat sosial. Mereka menjadi figur karismatik yang memelihara kohesi masyarakat dan menjadi rujukan moral. Dimensi historis: dari Ulakan, tarekat Syattariyah menyebar ke Sumatera Barat, Riau, Jambi, hingga Semenanjung Malaya dan Thailand.

C. Rekognisi Masyarakat: Legitimasi Sosial dan Budaya

Warisan Syekh Burhanuddin diakui melalui berbagai bentuk rekognisi: 

(1). Tradisi Basapa (Ritual Safar di Ulakan). Ribuan masyarakat Minangkabau dan rantau setiap tahun berziarah ke Ulakan. Tradisi ini menjadi ruang silaturahim ruhani sekaligus bentuk legitimasi sosial terhadap warisan beliau.

(2). Penetapan Surau Gadang Ulakan sebagai Cagar Budaya (2014). Pengakuan formal negara menegaskan bahwa warisan Syekh Burhanuddin bukan sekadar spiritual, tetapi juga heritage kultural-historis.

(3). Legitimasi Adat dan Syarak. Masyarakat menempatkan beliau sebagai tokoh yang berhasil menyelaraskan adat Minangkabau dengan syariat Islam. Inilah yang melahirkan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Diskusi

Fenomena Syekh Burhanuddin dapat dipahami sebagai sintesis antara dimensi teologis, historis, dan sosiologis: Secara teologis, beliau mewariskan tarekat dengan sanad yang jelas dan amalan berdalil. Secara ilmiah, beliau adalah agen transmisi keilmuan Islam global ke Minangkabau. Secara sosiologis, beliau menjadi simbol kolektif masyarakat yang memperkuat identitas Islam Minangkabau.

Dengan demikian, warisan Syekh Burhanuddin adalah contoh living heritage: warisan yang tidak mati, tetapi hidup dalam tradisi, pendidikan, dan kesadaran kolektif masyarakat.

Warisan Syekh Burhanuddin terdiri atas tarekat, khalifah, dan rekognisi masyarakat. Tarekat memberikan fondasi spiritual; khalifah membangun jaringan pendidikan dan otoritas religius; sementara rekognisi masyarakat menegaskan legitimasi sosial dan budaya.

Dari sudut pandang nash, tarekat dan sanad memiliki dasar yang kokoh dalam Al-Qur’an dan hadis. Dari aspek ilmiah, Syekh Burhanuddin adalah simpul penting jaringan ulama Nusantara. Dari sisi sosiologis, beliau menjadi simbol persatuan masyarakat Minangkabau.

Dengan demikian, menjaga warisan Syekh Burhanuddin berarti merawat identitas keagamaan, kultural, dan sosial Minangkabau sekaligus mengokohkan peradaban Islam Nusantara.

Penguatan

Warisan Syekh Burhanuddin Ulakan jelas menunjukkan bahwa keberadaan beliau tidak berhenti pada tataran sejarah, tetapi terus hidup (living heritage). Ada tiga penguatan yang penting:

Pertama: Penguatan Teologis (Nash dan Spiritualitas).

Dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis menegaskan pentingnya pewarisan ilmu, bimbingan ruhani, dan pembentukan akhlak mulia. Syekh Burhanuddin telah mewarisi sanad Syattariyah yang sahih, yang menjadi landasan kuat bagi legitimasi spiritual beliau. Dengan demikian, warisan tarekat bukanlah praktik kultural belaka, tetapi bagian dari amanah profetik.

Kedua: Penguatan Ilmiah dan Historis.

Literatur akademik (Azyumardi Azra, Mahmud Yunus, Taufik Abdullah, dan lainnya) menunjukkan bahwa jaringan ulama Nusantara—termasuk Syekh Burhanuddin dan Surau Gadang Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan membentuk pusat transmisi keilmuan Islam. Surau-surau yang dibina khalifah adalah bukti sistem pendidikan Islam tradisional yang mampu melahirkan generasi ulama dan pemimpin masyarakat.

Keriga: Penguatan Sosiologis dan Budaya.

Tradisi basapa, penetapan Surau Gadang Ulakan sebagai cagar budaya, serta penerimaan masyarakat Minangkabau membuktikan bahwa warisan Syekh Burhanuddin adalah identitas kolektif. Dalam kerangka sosiologi agama, hal ini merupakan wujud transformasi otoritas karismatik menjadi otoritas tradisional yang terinstitusionalisasi.

Konklusi

Keberadaan Syekh Burhanuddin Ulakan adalah manifestasi warisan hidup (living heritage) yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan Minangkabau.

Dari sisi tarekat, beliau memberi fondasi ruhani yang mengakar melalui sanad Syattariyah. Dari sisi khalifah, beliau membangun jaringan ulama dan surau yang menyebarkan ilmu, moralitas, dan kohesi sosial. Dari sisi rekognisi masyarakat, beliau telah menjadi simbol bersama, yang dihormati melalui ritual, cagar budaya, dan falsafah ABS-SBK.

Dengan demikian, menjaga warisan Syekh Burhanuddin sama artinya dengan menjaga jati diri Islam Minangkabau. Ia adalah titik temu antara agama dan adat, antara spiritualitas dan budaya, antara lokalitas Minang dan universalitas Islam.

Sebagaimana ulama pewaris nabi, Syekh Burhanuddin tetap hidup meskipun telah wafat: melalui ilmu, tarekat, murid-muridnya, dan pengakuan masyarakat. Inilah warisan yang mesti terus dipelihara, diperkuat, dan disebarluaskan sebagai bagian dari peradaban Islam Nusantara yang berakar kuat dan berpandangan global. DS.24082025.

*Guru Besar UIN Imam Bonjol dan Ketua Yayasan Islamic Centre Syekh Burhanuddin Pariaman

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.