Type Here to Get Search Results !

Paradox Pemimpin Spiritual dan Tokoh Agama Dalam Tata Pemerintahan Indonesia

Jacob Ereste 

Jika pemimpin politik dan pemimpin spiritual yang mampu melakukan perubahan, maka kekuasaan formal -- politik -- untuk membuat kebijakan pengelolaan sumber daya dan menggerakkan sistem negara agar tidak terbentur pada kepentingan politik, birokrasi atau kekuatan ekonomi pengusaha yang telah mengendalikan para penguasa, sebaiknya bergandeng dengan pemimpin spiritual bersama tokoh agama yang orientasinya tetap berpihak pada kemaslahatan dan kesejahteraan umat.

Kekuatan moral dan kesadaran sosial bagi masyarakat yang berbasis spiritual bisa membangun nilai etika dan budaya, kendati pemimpin spiritual dan tokoh agama tidak memiliki otoritas untuk mengatur sistem ketatanegaraan. Tapi bila pemimpin politik dan pemimpin spiritual dan keagamaan dapat disinergikan, maka integritas moral dan realitas sosio politik dapat dihadapi serta diselesaikan secara bersama untuk kemaslahatan bangsa dan negara untuk maju dan berkembang sesuai dengan cita-cita proklamasi yang telah disepakati seluruh elemen bangsa melalui penyelenggaraan negara. Karena itu diperlukan mediasi yang dapat dipercaya untuk mengintegrasikan dua kekuatan yang saling melengkapi dan menggenapkan itu.

Kepercayaan terhadap sosok guru bangsa -- bukan hanya politisi, bukan hanya sekedar pemuka agama -- dapat mendorong kesadaran kolektif semua pihak berperan maksimal untuk memperbaiki, menjaga dan terus memajukan dan meningkatkan kualitas bangsa dan kapasitas negara untuk mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat.

Paradoxnya Indonesia seperti yang digambarkan oleh Prabowo Subianto jauh sebelum menjabat Presiden Indonesia ke-8, bukan hanya ditandai oleh kekayaan negara Indonesia yang melimpah yang tidak dapat dinikmati oleh seluruh rakyat, karena kekuasaan ekonomi Indonesia dikuasai oleh segelintir orang, tapi ketimpangan itu juga terjadi dalam komposisi penasehat Presiden yang tidak diikutsertakan. Meski sistem pemerintah sekuler-plutalis jelas memisahkan agama dari struktur negara meski masih menghargai nilai-nilai religius. Sehingga penasehat presiden hanya berasal dari bidang politik, ekonomi, hukum atau dari kalangan akademis.

Ketimpangan atau paradox ini akibat ketimpangan ekonomi, kelemahan tata kelola negara, kedaulatan yang tergadai sehingga menjadi ancaman disintegrasi bangsa. Oleh karena itu solusinya diperlukan pemimpin yang kuat -- komprehensif -- idealis, nasionalis dan berani melakukan keputusan yang tidak populer, namun mau membalikan kondisi dan situasi yang paradox, tidak cuma sekedar retorika dan omong-omonh belaka.

Pondok Indah, 7 Juli 2025

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.