![]() |
Jacob Ereste
Pengertian Bid'ah dalam Islam yang berati mengadakan hal yang baru terkait dengan agama memang tidak ada contohnya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Secara harfiah, bid'ah berasal dari kata Arab yang disebut "bada'a" yang membuat atau melakukan sesuatu tanpa ada contohnya. Namun dalam konteks syariat, bid'ah dimaknai oleh para ulama dalam dua katagori, yaitu bid'ah hasanah (yang baik) dan bid'ah dhalalah (buruk atau sesat). Namun kebanyakan orang selalu mengartikannya kepada hal yang buruk atau sesat. Sehingga menjadi hal yang terlarang.
Padahal, sesuatu yang baru dibuat atau diciptakan tidak pasti sesuatu yang buruk hanya karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang menjadi contoh dari semua perilaku dan apa yang telah dilakukan. Karena Nabi dan Rasulullah memang menjadi contoh serta tauladan bagi umat Islam menjalankan ajaran dan tuntunan agama Islam sebagai agama yang sempurna. Karena di dalam Islam pun mengakui agama Abrahamik -- yang berasal dari langit, Yahudi, Kristen dan Islam -- diakui oleh masing-masing kitab suci yang menerangkan hal tersebut.
Bid'ah Hasanah -- hal yang baru tanpa ada contoh sebelumnya, sehingga tidak pernah dilakukan oleh Nabi -- tidak bertentangan dengan ajaran dan tuntunan Islam. Sedangkan bid'ah Dhalalah yang buruk atau sesat karena merupakan sesuatu yang baru yang bertentangan dengan ajaran dan tuntunan Nabi yang telah ada contohnya.
Sebagian ulama memang ada yang membedakan bid'ah Hasanah dan bid'ah dhalalah secara tegas, namun ada juga yang menolak semua bid'ah adalah buruk dan sesat. Namun dalam urusan agama yang terkait dengan kehidupan sehari-hari -- apalagi sejak peradaban manusia semakin maju dan melakukan lompatan jauh ke depan lewat ilmu dan pengetahuan serta teknologi -- semakin banyak hal-hal yang baru yang tidak mungkin dihindari dan diperlukan untuk memenuhi tuntutan jaman yang terkait dengan muamalah dan ibadah.
Karena kalau harus mengacu kepada apa yang dilakukan para Nabi khususnya Muhammad SAW ketika jalan menuju ke Tanah Suci -- Mekkah -- dengan menggunakan onta, tidak mungkin harus dilakukan dengan cara yang sama oleh umat Islam lain yang berasal dari Sumatra.
Amsal yang cukup saklek seperti tersebut diatas, sering diungkapkan Emha Ainun Nadjib dalam berbagai kesempatan dialog secara terbuka bersama jemaahnya bahkan dalam diskusi terbatas dalam kelompok kecil sejak masih tinggal di Kampung Bugisan, Yogyakarta pada tahun 1980-an silam.
Perlunya memahami adanya dua bentuk bid'ah hasanah dan bid'ah dhalalah ini agar tidak sampai terjebak dalam memberi stempel yang tidak memiliki dasar logika dan pemikiran yang sehat, serta gampang tersulut untuk menyalahkan orang lain secara membabi buta yang dapat menyulut perpecahan sesama umat, keluarga hingga dengan saudara sendiri yang tidak perlu terjadi dan merugikan banyak pihak.
Kecuali itu, cara berpikir dan berpendapat yang terlalu saklek atau dilakukan secara spontan tanpa dicerna oleh akal dan pikiran yang jernih, perlu dilakukan untuk kemudian dapat dibudayakan guna membangun tatanan yang harmoni tanpa perlu menimbulkan kegaduhan sesama umat -- supaya pada giliran berikutnya -- bisa memperluas cakrawala pandang dalam memahami adanya perbedaan yang lebih mencolok dari perspektif agama yang lain. Sehingga sikap toleran dapat memperoleh tempat yang pantas serta wajar porsinya. Tak berlebihan, pun tidak perlu dikurangi demi kerukunan bersama umat beragama di negeri kita, atau bahkan di dunia.
Agaknya, begitulah perlunya membuka jendela cakrawala pandang yang lebih luas dan luwes, agar tidak terbelenggu pada pemikiran yang sempit dan cupet, sehingga bisa menimbulkan kerugian bagi diri sendiri maupun untuk orang lain. Karena sikap dan sifat yang lebih bijak senantiasa perlu untuk terus ditingkatkan, agar kualitas dan nilai-nilai kemanusiaan tetap terjaga dan lestari.
Jatinegara, 8 Juli 2025

