![]() |
Minggu pagi yang malas. Matahari masih malu-malu naik, dan jalanan Jakarta baru saja bernapas lega dari kepadatan semalam. Anak saya menghampiri dengan wajah setengah mengantuk, sepatu lari barunya masih tampak kaku.
“Pa, anterin ke CFD, ya. Disuruh guru lari dua putaran, terus direkam pakai Strava.”
Saya mengangguk. Dunia memang sudah berubah. Kalau dulu anak sekolah membawa buku tugas, sekarang cukup membawa aplikasi.
Sedikit catatan: Strava adalah aplikasi yang merekam aktivitas olahraga seperti lari atau bersepeda, lengkap dengan data jarak tempuh, kecepatan (pace), kalori yang terbakar, hingga rute yang ditempuh. Semuanya bisa dibagikan ke media sosial. Bahkan keringat kini bisa jadi laporan resmi.
Tapi tak lama setelah saya menepi di pinggir jalan, menyeruput kopi plastik dari kedai kaki lima, telinga saya menangkap obrolan sekelompok remaja.
“Lo tau nggak sih, sekarang ada joki Strava?”
Saya menoleh. Joki Strava? Serius?
Kita sudah lama akrab dengan istilah joki. Ada joki 3 in 1: penumpang bayaran agar mobil bisa lewat aturan. Ada juga joki ujian, yang membantu kita mendapat nilai tanpa harus belajar keras. Mereka hadir sebagai jalan pintas di sistem yang sering kali terasa timpang.
Tapi sekarang, yang disewa bukan lagi tempat duduk atau otak. Yang disewa adalah napas. Yang dibayar adalah langkah kaki.
Joki Strava adalah orang yang berlari atas nama kita, agar terlihat aktif dan bugar di dunia maya.
Bukan untuk menipu guru atau sistem pendidikan. Tapi demi memoles citra pribadi.
Bukan demi kelulusan, tapi demi likes dan story yang bisa dibanggakan.
Aplikasi lari seperti Strava atau Nike Run Club sejatinya dibuat untuk melacak kebugaran. Tapi kini, fungsinya bergeser menjadi semacam panggung digital.
Pace bukan lagi soal napas, tapi soal gengsi.
Jarak bukan lagi tentang daya tahan, tapi soal jumlah komentar.
Stamina bukan lagi urusan otot, tapi soal sorotan kamera.
Kita hidup di era ketika angka-angka digital menjadi aksesori harga diri, dan eksistensi bisa dibuktikan lewat tangkapan layar. Di zaman ini, bahkan keringat pun bisa diwakilkan, asal datanya bisa diposting.
“Temen gue bisa posting half marathon, masa gue enggak?”
“Dia pace-nya 5:30, masa gue cuma jalan cepat?”
Tanpa sadar, kita semua sudah ikut lomba. Tapi ini bukan lomba biasa. Ini lomba eksistensi.
Garis start-nya kabur. Tujuannya tak jelas.
Wasitnya? Opini orang lain.
Dan hadiahnya? Validasi… yang cepat basi.
Kita tak lagi bergerak karena cinta pada tubuh. Kita bergerak karena takut kalah dari bayangan orang lain.
Sedikit belok dari topik—tapi tetap relevan.
Kalau warga biasa bisa menyewa pelari demi pencitraan, para tokoh publik, terutama politisi, tentu punya versinya sendiri.
Ada yang mendadak suka jogging. Ada yang tiba-tiba blusukan pagi-pagi. Semua tampak natural… sampai kita lihat ada drone, kameramen, dan angle yang sempurna.
Keringat hari ini tak selalu hasil lari atau kerja keras. Tapi bisa juga hasil skenario.
Karena di negeri ini, kadang yang lebih penting bukan keberpihakan, tapi kesan.
Bukan langkah nyata, tapi langkah yang kelihatan.
Lari, seharusnya, adalah ruang intim antara tubuh dan jiwa. Langkah demi langkah yang kadang seperti doa dalam diam.
Keringat mestinya jadi bukti hidup, bukan konten yang dijadwalkan. Tapi jika semua itu bisa dipesan seperti kopi di aplikasi, apa yang tersisa dari kejujuran?
Mungkin sekarang kita perlu bertanya, bukan hanya:
“Seberapa jauh kamu berlari?”
Tapi juga:
“Apakah itu benar-benar kamu yang berlari? Atau hanya menyewa ilusi untuk terlihat hidup?”
Dan di tengah panasnya tahun-tahun politik, pertanyaan itu makin relevan:
Siapa yang benar-benar berlari untuk rakyat—dan siapa yang hanya jago tampil di kamera?
Akhirnya, saya menutup tulisan ini dengan satu pertanyaan:
Siapa yang benar-benar bisa kita percaya hari ini?
(Dwi Sutarjantono, Penulis, Mind Programmer, Sekretaris Umum Satupena DKI Jakarta)

