![]() |
Beberapa hari lalu, saya bertemu kembali dengan seorang teman lama, sesama penulis, teman seperjuangan dalam berkarya. Kami berbincang hangat, membuka kembali kenangan saat kami sama-sama memulai karier menulis di blog yang dulu cukup punya nama. Kami bicara banyak hal: tentang tulisan, perjuangan, dan tentu saja, tentang buku-buku yang sudah kami hasilkan.
Ia sudah menulis banyak buku. Jauh lebih banyak dari saya yang masih bisa dibilang penulis amatir. Tapi dari obrolan itu, ada satu hal getir yang kami sepakati bersama: menulis buku di negeri ini bukan perkara mudah.
Mulai dari mengumpulkan data, menggabungkan ide, merangkai kata, hingga menyelesaikan naskah yang utuh, semuanya menguras tenaga dan emosi. Tapi itu baru awal. Tantangan sesungguhnya adalah ketika naskah itu kita kirimkan ke penerbit. Proses menunggu bisa memakan waktu berbulan-bulan. Bahkan ada yang tak kunjung dibalas. Dan andai pun diterbitkan, pertanyaannya: apakah lantas hidup penulis langsung sejahtera? Bisa beli mobil mewah, rumah megah? Tentu tidak.
Yang terjadi justru sering kali sebaliknya. Buku-buku yang sudah kita tulis dengan sepenuh hati itu, hanya tergeletak di toko buku, tak tersentuh pembaca. Beberapa bahkan tak sempat mejeng di rak karena langsung dikembalikan karena stok tak laku. Tak jarang, penulis merangkap jadi marketing dadakan. Berjualan lewat media sosial, menenteng bukunya sendiri dari komunitas ke komunitas, hanya demi mengais royalti yang sering kali tak seberapa.
Kenyataan pahitnya adalah: kita hidup di negeri yang tingkat literasinya masih sangat rendah. Masyarakat lebih antusias menonton joget viral di media sosial daripada membaca satu paragraf cerita. Buku kalah saing dengan hiburan visual. Di negeri yang “tak bisa membaca” secara kultural, bukan karena tak bisa mengeja huruf, tapi karena tak terbiasa memahami isi. Maka tak heran, penulis di negeri ini sulit sejahtera bukan karena karyanya buruk, tapi karena pembacanya minim.
Seorang tokoh literasi Indonesia, Denny JA, pernah mengatakan, “Hanya satu persen penulis yang bisa hidup sejahtera dari tulisannya.” Sisanya? Berprofesi ganda. Menulis sambil mengajar, jadi editor, atau kerja kantoran sembari menyisihkan waktu untuk terus menulis. Banyak juga yang akhirnya memilih berhenti—bukan karena tak cinta menulis, tapi karena realita tak seindah ekspektasi.
Karena itulah, saya mulai percaya: menulis bukan untuk panggung dan tepuk tangan. Bukan untuk popularitas atau angka royalti. Menulis adalah cara kita bertahan. Cara kita menjaga kewarasan dalam hidup yang makin kompleks dan rumit. Dalam sunyi dan sepi, menulis jadi ruang paling jujur untuk berdialog dengan diri sendiri. Di mana menulis bisa menjadi proses, mengungkapkan sesuatu yang ingin kita sampaikan, saat tak ada orang yang bersedia mendengarkan.
Tulisan menjadi terapi. Sebuah ruang di mana luka bisa sembuh perlahan, kegelisahan bisa dibungkus menjadi puisi, dan kesedihan menemukan rumah dalam cerita. Bagi saya, menulis adalah bentuk lain dari mengekspresikan diri melalui karya. Dengan tulisan kita bukan hanya bisa berbagi banyak hal, tapi juga menuangkan segala penat, emosi dan ekspresi diri dari berbagai hal yang sulit kita sampaikan secara lisan. Menulis adalah bentuk lain dari menjaga kesehatan mental, agar tetap waras, tetap hidup, dan tetap punya harapan.
Maka bila hari ini Anda menulis tapi tak mendapat tepuk tangan, jangan berkecil hati. Bila naskah Anda belum diterima penerbit, jangan buru-buru menyerah. Karena mungkin, seperti saya dan banyak penulis lainnya, Anda tidak sedang menulis untuk panggung. Anda sedang menulis untuk diri sendiri, untuk menebarkan kebaikan pada orang lain. Dan itu, menurut saya, adalah bentuk kemenangan yang tak bisa dihitung dengan angka.

