Type Here to Get Search Results !

Rorty dan Cermin Puisi Esai oleh ReO Fiksiwan

"Robek nuraninya dengan penamu,

bagi dukamu dengan untaian kata,

karena kata adalah senjata

terakhirmu!" -- Ester Haluk

Pulanglah ke pangkuan sastra, di mana peradaban bak cermin retak. Kembali utuh sebagai mosaik dan memadukan cinta dan luka, marah dan sayang bisa sembuh mengatup.

Pulanglah ke pangkuan sastra, di mana bahasa akan menemukan cermin berkilau untuk menerangi kabut dari realitas yang memekak dan pekat.

Sastra, pada akhirnya, puisi esai pada dentumannya bisa menemukan apa yang diutarakan seorang filsuf, Richard Rorty(1931-2007), sebagai cermin keutuhan realitas(mirror of nature) dan bahasa(linguistic turn).

Dengan kata lain, ketika puisi esai disodorkan Denny JA dengan fasilitas dan format „linguistic turn“ sebagai cermin realitas, perspektif filsafat bahasa Rorty ikut menerangi kekaburan makna yang tak mudah ditampung oleh bahasa realitas biasa.

Karena itu, Richard Rorty, seorang filsuf Amerika yang terkenal dengan kritiknya terhadap tradisi filsafat Barat, menawarkan perspektif unik tentang hubungan antara bahasa, pengetahuan, dan realitas. 

Dan, saya tambahkan: pengalaman dan makna!

Lewat bacaan penyintas, Philosophy and the Mirror of Nature(1979) dan The Linguistic Turn(1967), Rorty dengan sukacita harus meninggalkan upayanya untuk mencari kebenaran obyektif dan berbalik pada filsafat deskripsi dan reinterpretasi bahasa.

Dalam konteks reinterpretasi bahasa, di mana bahasa dikungkung pada atmosfir ontologi kaum strukturalisme, produksi bahasa puisi esai jadi satu alternatif yang relevan dengan gagasan Rorty. 

Reproduksi dan reinterpretasi bahasa, pikiran dan perasaan, yang bebas dan kreatif — tanpa harus terikat oleh struktur logis atau argumentatif yang ketat ala Wittgenstein — pun deskripsi cacatan kaki sebagai „sujet“ — gagasan dasar dan utama puisi esai menegaskan „cermin kebenaran“ di balik „kabut kepalsuan“ realitas, ontologis maupun epistemologis.

Rorty, dari perspektifnya, melalui reproduksi dan reinterpretasi bahasa, hendak melontarkan hulu ledak kebenaran di balik penyamaran realitas atomistik.

Menolak kritik dan tafsir filsafat tradisional Barat via linguistik strukturalis Sassaureian, Rorty hendak memulangkan atavistik konsep-konsep filsafat bahasa dengan cara yang lebih intuitif dan emosional. 

Tentu, tanpa harus menolak rasionalisme ketat dari cogitans Cartesian, pikiran murni Kantian dan tunduk tafakur pada gerundelan Wittgenstein: 

"Where of one cannot speak, thereof one must

be silent! — Tractatus Logico- Philosophicus, 1918), proposisi 7.

Mengacu pada "Philosophy and the Mirror of Nature", bahasa dapat merepresentasikan realitas secara akurat bukanlah cermin yang memantulkan kemaruk realitas.

Bahasa, jika itu puisi esai, akan meluluhkan semua peralatan dan fasilitas bahasa dan realitas — metafora, simbolisme, figurasi, asosiasi, aliterasi, alusi hingga sublimadi — menjelma jadi pangkalan lengkap realitas paling vital: makna dan pengalaman.

Sebagai „pasar linguistik“, menyadap filsafat bahasa Bourdieuian, realitas vital bahasa: makna dan pengalaman sebagai pengiringan sekaligus pergiliran, the linguistic turn, bagi Rorty, salah satu syarat untuk membentuk pemahaman utuh tentang realitas dunia. 

Untuk membentuk pemahaman utuh realitas dunia dengan juga kreativitas subyektif realitas, para kreator puisi esai difasilitasi oleh pemenuhan makna dan pengalaman melalui catatan kaki.

Sebagai metodologi deskriptif, cacatan kaki puisi esai diibaratkan top up premium dalam menjelajahi labirin pengalaman dan makna di dalam „deontologi“ kemajemukan realitas dunia apapun.

Untuk lebih mendukung cermin puisi esai via filsafat Richard Rorty, pantas dikutip sekeping kritiknya agar ditimbang ulang:

„Gagasan bahwa tugas intelektual utama kita adalah membuat representasi kita 'akurat' sesuai dengan 'fakta' atau 'sesuatu sebagaimana adanya' atau 'realitas' - adalah gagasan yang telah menjadi pusat pemikiran filsafat Barat sejak zaman Yunani."

Selebihnya, ketika cermin puisi esai ide utama Denny JA sedang lontarkan bagai rudal-rudal Iran dan Israel, bersama Richard Rorty, yang tentu dibayangi Frege dan Wittgenstein, para kreator puisi esai dengan dan tanpa AI pun, terus memultiplikasi bentuk-bentuk ekspresi dan impresi bahasa, pengetahuan, dan realitas. 

Dan dari situ, Rorty menabalkan:

"Gambar-gambar membuat kita terpikat. Dan kita tidak bisa melewatinya, karena gambar-gambar itu ada dalam bahasa kita dan bahasa tampaknya terus-menerus mengulanginya kepada kita."

*Menyeru Deklarasi Puisi Esai Mendunia.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.