Type Here to Get Search Results !

Sekolah Puluhan Juta Demi Gaji Tiga Juta Oleh: Ririe Aiko

Di negeri ini, pendidikan telah lama dipuja sebagai tangga menuju kesejahteraan. Namun, tangga itu kini semakin mahal dan licin. Mulai dari jenjang dasar hingga universitas, biaya pendidikan bisa menguras kantong hingga puluhan juta rupiah. Ironisnya, mahalnya biaya pendidikan tidak sejalan dengan kesejahteraan para pendidik dan tidak selalu menjamin masa depan cerah bagi para lulusannya.

Mari kita tengok sekolah dasar swasta. Untuk memasukkan anak ke SD swasta bergengsi, orang tua harus merogoh kocek belasan hingga puluhan juta rupiah hanya untuk uang masuk. Belum termasuk SPP bulanan, seragam, kegiatan ekstrakurikuler, dan biaya-biaya tambahan lainnya. Tentu saja, ini pilihan yang dianggap “lebih baik” oleh banyak orang tua karena keterbatasan kualitas di sekolah negeri. Namun, siapa sangka, di balik megahnya fasilitas dan mahalnya tarif, masih banyak guru di sekolah-sekolah ini yang digaji berdasarkan standar Upah Minimum Kabupaten (UMK), atau bahkan di bawahnya.

Ini realitas menyakitkan: guru sebagai pilar pendidikan, justru menjadi profesi yang jauh dari kata sejahtera. Dengan tanggung jawab besar dalam mencerdaskan generasi bangsa, banyak dari mereka harus bertahan hidup dengan penghasilan yang nyaris tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sebuah ironi: sekolah mahal, guru tak makmur.

Lalu bagaimana dengan sekolah negeri yang katanya “gratis”? Nyatanya, tidak ada sekolah yang benar-benar bebas biaya. Meski tidak ada SPP, orang tua tetap harus menyiapkan biaya untuk buku tulis, seragam, transportasi, hingga uang kas kelas atau hadiah guru saat kenaikan kelas. Bagi keluarga dengan penghasilan tetap, mungkin ini tak terasa memberatkan. Tapi bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, setiap lembar rupiah adalah soal makan atau tidak hari ini. Maka tak heran, banyak anak-anak dari keluarga miskin yang akhirnya terpaksa turun ke jalan, bekerja lebih awal, dan menggantung cita-cita di langit yang tak lagi tergapai.

Setelah lulus 12 tahun pendidikan dasar dan menengah, tantangan biaya belum selesai. Di tingkat universitas, angka biaya pendidikan kembali melonjak. Uang pangkal masuk perguruan tinggi swasta bisa setara dengan modal membuka minimarket. Biaya semesteran yang jutaan rupiah per enam bulan, biaya praktikum, skripsi, dan wisuda, menjadikan gelar sarjana sebagai simbol perjuangan finansial, bukan hanya intelektual.

Sayangnya, selebrasi kelulusan hanya bertahan sehari. Setelah itu, para lulusan menghadapi kenyataan: sulitnya mencari pekerjaan yang layak. Persaingan kerja semakin ketat, lapangan kerja menyempit, dan gaji yang ditawarkan kadang tidak sepadan dengan investasi biaya dan waktu semasa kuliah. Harapan gaji dua digit saat lulus harus ditebus dengan realita: digaji tiga juta rupiah saja sudah patut bersyukur. Tak sedikit yang akhirnya menerima pekerjaan apa pun demi sekadar bertahan hidup dan menjaga gengsi sebagai seorang sarjana.

Lebih ironis lagi, jika kita membandingkan penghasilan lulusan perguruan tinggi dengan tukang parkir atau pedagang kaki lima yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Tak jarang, mereka justru punya tabungan lebih besar, hidup lebih stabil, bahkan sudah berangkat umroh berkali-kali. Ini bukan untuk merendahkan profesi apa pun, tapi untuk membuka mata bahwa sistem pendidikan kita tak cukup adil bagi mereka yang menggantungkan harapan besar padanya.

Pendidikan seharusnya menjadi jalan pembebas, bukan beban yang membelenggu. Saat ini, sistem pendidikan kita lebih mirip investasi jangka panjang dengan imbal hasil yang tidak pasti. Di tengah semangat belajar yang masih tinggi di kalangan masyarakat, negara harus hadir lebih serius: memperjuangkan kesejahteraan guru, memperluas akses pendidikan bermutu, dan memastikan bahwa sekolah bukan hanya mesin pencetak ijazah, tetapi juga alat untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Jika tidak, maka akan terus lahir generasi baru yang sekolah mahal hanya untuk akhirnya rela digaji murah. Dan itu, adalah kegagalan bersama.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.