Type Here to Get Search Results !

Rp10.000 dan Martabat yang Terluka

Oleh: Duski Samad 

BENTENGSUMBAR.COM -

Jum'at 19 Desember 2025

memuat berita.....

Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul bakal memberikan jaminan hidup Rp10.000 per hari bagi korban bencana banjir Sumatera. Namun jumlah atau besaran nilai tersebut menuai kritik di media sosial. 

Para netizen menilai uang Rp10.000 tak layak untuk membantu korban banjir yang saat ini sedang berjuang pulih kembali. 

"Setelah nanti ada huntara (hunian sementara) atau huntap (hunian tetap), ada jadup jaminan untuk hidup sementara selama 3 bulan, di mana setiap keluarga, setiap individu mendapat kan dukungan Rp 10.000 per harinya," kata Gus Ipul kepada wartawan di kantor Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Rabu 17 Desember 2025.

MENGAPA DIKRITIK?

Pagi itu, di sebuah nagari yang masih berlumpur di Sumatera, seorang ibu berdiri lama di depan puing rumahnya. Dapur tempat ia biasa memasak telah rata dengan tanah. Perabot hanyut. Kebun kecil yang selama ini menjadi penyangga hidupnya tertimbun pasir dan kayu. Ia tidak menangis. Ia hanya berkata lirih, “Kami tidak minta dikasihani. Kami hanya ingin hidup kembali.”

Kalimat sederhana itu terasa menghantam ketika negara berbicara tentang jaminan hidup Rp10.000 per orang per hari bagi korban bencana banjir. Bagi sebagian orang, angka itu mungkin terlihat sebagai “bantuan”. Namun bagi korban yang kehilangan rumah, pekerjaan, dan kepastian hidup, angka itu justru terasa sebagai jarak emosional antara kebijakan dan kenyataan.

Korban bencana bukanlah orang miskin dalam pengertian lazim. Mereka bukan kelompok yang sejak awal hidup dalam ketergantungan struktural. Banyak dari mereka adalah petani, pedagang kecil, buruh harian, dan perantau yang pulang kampung. Mereka hidup dari kerja keras dan harga diri. Bencana datang bukan karena pilihan yang keliru, tetapi karena kejadian luar biasa yang merobek tatanan hidup secara tiba-tiba.

Di sinilah Rp10.000 menjadi simbol. Bukan sekadar nominal, tetapi cara negara memandang warganya yang sedang jatuh. Ketika korban bencana diperlakukan dengan standar bantuan minimal seperti kemiskinan reguler, yang terjadi bukan hanya kekeliruan kebijakan, tetapi pengaburan makna bencana sebagai krisis kemanusiaan.

Padahal Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dengan tegas menempatkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab melindungi, memenuhi hak, dan memulihkan kehidupan korban secara layak. Undang-undang ini tidak berbicara tentang sekadar bertahan hidup, tetapi tentang rehabilitasi dan rekonstruksi—tentang bagaimana manusia dipulihkan sebagai manusia, bukan sekadar diselamatkan secara biologis.

Dalam konteks Sumatera, persoalan ini menjadi lebih dalam. Masyarakat Sumatera—khususnya Minangkabau—dibesarkan dengan etos kemandirian dan marwah. Hidup bukan sekadar makan hari ini, tetapi bermakna dan bermartabat. Hiduik baraso, mati bajaso. Karena itu, bantuan yang terlalu kecil di tengah kehilangan total bukan hanya dianggap “kurang”, tetapi tidak patut secara rasa.

Antropologi kebencanaan mengajarkan bahwa pemulihan sosial tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya. Bantuan yang tidak peka pada nilai lokal sering kali gagal memulihkan kepercayaan dan justru memperpanjang luka psikologis. Orang Sumatera tidak menolak bantuan, tetapi mereka menolak perlakuan yang merendahkan daya hidup dan harga diri.

Islam memberi arah yang sangat jelas. Allah memerintahkan ihsan—berbuat baik dengan kualitas terbaik, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Rasulullah SAW menegaskan bahwa sedekah terbaik adalah yang membuat penerimanya cukup. Cukup bukan berarti berlebih, tetapi layak dan memulihkan. Bantuan yang hanya menjaga hidup di batas terendah, apalagi dalam situasi darurat, sulit disebut sebagai ihsan.

Lebih jauh, korban bencana sesungguhnya tidak menunggu belas kasihan. Mereka menunggu kesempatan untuk bangkit. Banyak kajian kebencanaan menunjukkan bahwa bantuan pasif jangka panjang justru melahirkan ketergantungan baru. Sebaliknya, program kerja sementara, padat karya, dan pemulihan ekonomi lokal terbukti mengembalikan kepercayaan diri, kemandirian, dan kohesi sosial. Inilah makna sesungguhnya dari memberi kail, bukan ikan.

Pendekatan semacam ini justru paling sejalan dengan amanat UU No. 24 Tahun 2007: memulihkan fungsi sosial-ekonomi masyarakat terdampak. Memberi kerja berarti mengembalikan peran sosial, bukan sekadar menyisakan korban sebagai penerima bantuan.

Penutup

Bencana telah merenggut rumah, harta, dan rasa aman korban. Jangan tambah luka itu dengan kebijakan yang mengecilkan martabat mereka.

Angka bantuan boleh dihitung secara fiskal, tetapi martabat manusia tidak boleh dikalkulasi secara minimal.

Korban bencana bukan angka statistik. Mereka adalah manusia yang sedang diuji—dan pada saat yang sama, negara sedang diuji oleh mereka. Apakah negara hadir sekadar sebagai pencatat anggaran, atau sebagai pelindung kemanusiaan?

Jika negara ingin benar-benar hadir, maka hadirlah dengan kebijakan yang memulihkan daya hidup: taat pada undang-undang, peka pada budaya, sejalan dengan nilai agama, dan berani melampaui logika karitas minimal.

Sebab di hadapan bencana, yang paling diingat rakyat bukan berapa rupiah yang diberikan, tetapi apakah mereka dimuliakan atau dikecilkan saat sedang paling rapuh.19122025.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.